Mengapa How to Write Lebih Penting Ketimbang What to Write

by - Januari 15, 2016



Beberapa waktu yang lalu, barangkali ada yang sempat liat status update saya di Facebook. Di sana saya cerita tentang seorang klien yang mengatakan bahwa content writer ada banyak, tapi susah untuk mendapatkan seorang content writer yang "manusiawi".

Saya sempat bertanya-tanya, yang gimana sih content writer yang manusiawi itu? Makhluknya seperti apa? Tulisannya seperti apa?


Secara tidak langsung, si klien itu menjelaskan, bahwa dengan berbagai tuntutan keywords, SEO friendly, dan tidak menguasai materi, content writer hanya menulis tanpa jiwa. Keyword diulang-ulang, bold sana bold sini, warna pink sana warna hijau sini, taruh link di tengah artikel, dan kemudian bahasa yang mbulet-mbulet nggak bisa dimengerti.

Saat itu, saya masih menyimpan rasa penasaran saya. Akhirnya saya berkesempatan untuk berdiskusi dengan seorang teman lain mengenai hal ini. Dia bilang ke saya, "Coba aja kamu ke website-website penyedia artikel gratisan gitu. Pasti liat banyak artikel seperti yang klien kamu maksud."

Yah, saya nggak usah bawa ke sinilah ya, hasil penelusuran saya. Nggak penting. Hanya saja, saya kemudian menyimpulkan satu hal. Bahwa ternyata memang penting sekali untuk segera menemukan gaya menulis kita sendiri dan juga mengapa lebih penting "how" ketimbang "what".

Mengapa "How to Write" Lebih Penting Ketimbang "What to Write"?


Ini dia beberapa alasan.

1. There's nothing new under the sun


Fakta bahwa tak ada yang terlalu baru di muka bumi ini kadang membuat kita kehabisan kata dan ide dalam mengupas topik tertentu. Ide dasarnya sama, tetapi kadang hanya dibedakan oleh kondisi.

Taruhlah topik mengenai mom's war stay at home mom vs working mom. Topik ini barangkali sudah ada sejak zaman jahiliyah. Dan, siapa pun bisa memprediksi, topik ini akan terus hangat sepanjang waktu, karena hadirnya para ibu baru. Coba lihat, perdebatan seru selalu terjadi pada ibu baru. Ibu-ibu senior mah, udah so last year kalau masih memperdebatkan hal ini.

Tapi menulis tentang hal ini, rasa-rasanya kok ya basi banget ya. Udah dibahas di mana-mana lho. Ibaratnya di setiap forum ibu-ibu itu ada. Lalu, bagaimana kita bisa menuliskannya? Padahal ini hot banget.

Ya, tentu saja dengan cara yang berbeda. Dengan sudut pandang yang berbeda. How you write it, akan membuat konten hal yang membosankan ini menjadi terasa baru.

2. Kita harus sudah mengikat pembaca sejak kalimat pertama dimulai


Kalau di Flashfiction ada dalil, bahwa kalimat pertama harus sudah bisa memancing pembaca untuk penasaran lebih lanjut. Dan, begitu juga kalau menulis artikel. Bagaimana kita menulis, akan menentukan apakah pembaca tertarik atau enggak. Hmmmm, sepertinya bukan cuma dari kalimat pertama sih. Tapi sejak judul ya. Kan kalimat pertama dalam sebuah artikel itu berupa judul kan ya?

So, bagaimana menulis judul dan kalimat pertama itu penting banget.

Katakanlah begini.

Judul 1: Tips Dekat Dengan Anak untuk Ibu Bekerja
Judul 2: Dekat dengan Si Buah Hati Meski Mama Tetap Bekerja? Bisa Banget Dong!

Kira-kira lebih menarik yang mana? Tentu saja yang kedua. Karena lebih menekankan pada permasalahan, dan lalu pemancing. Padahal isinya sama, tips supaya dekat dengan anak.

3. Kita harus tell a story


Penulis adalah seorang story teller. Meski si penulis itu bukan penulis fiksi, dan lebih fokus ke nulis nonfiksi, tetap saja, penulis adalah story teller. Kalau tulisannya nggak bercerita, ya terus, nulisnya buat apa? Kan, menulis itu salah satu bentuk komunikasi? Penyampaian pesan?

Dan, bagaimana kita menulis itu menentukan seberapa banyak pesan yang bisa sampai kepada pembaca. Kalau kita nulisnya mbulet-mbulet, muter-muter, terlalu banyak pakai bahasa yang ketinggian, nggak komunikatif, pembaca jadi nggak mudeng, lalu ... salah siapa? Salah gue? Salah temen-temen gue? *Cinta mode on*

So, mau menulis apa? How to? Tutorial? Opini? Curhatan? Semua punya alur, dan plot. Iya, siapa bilang yang ada alurnya cuma cerpen dan novel? Bahkan kalau kita menulis tutorial atau step by step install software di laptop pun ada alurnya. Nggak bisa lompat-lompat kan? Alur yang mengalir secara runut, berurutan dan rapi, akan membuat tutorial yang kita tulis menjadi bisa diikuti dengan mudah dan pada akhirnya pesan yang dibawa sampai. Jadi berguna deh.



Kadang juga sering ditemui, banyak orang memang master dan expert dalam satu topik atau bidang tertentu. We have no doubt about it, pokoknya dia master banget deh. Kemudian dia menulis mengenai topiknya, dengan bahasa dewa, bahasa ilmiah, bahasa planet, yang nggak semua orang mengerti.
Orang kedua, nggak terlalu expert. Ya, katakanlah levelnya berada di bawah orang pertama. Tapi dia bisa mengolah kata-kata, sehingga tulisan yang dihasilkannya adalah tulisan sederhana, gampang dicerna, dan dimengerti oleh orang-orang yang paling awam. Padahal sebenarnya topik yang dibahas sama persis dengan topik si orang pertama.

Lalu, orang akan cenderung membaca tulisan siapa? Yang pertama atau kedua?
Ini adalah bukti, bahwa "How to Write" benar-benar lebih penting ketimbang "What to Write". Kita bisa saja membahas topik yang sama, yang sudah dibahas oleh semua orang. Tetapi, bagaimana kita memasak topik itu hingga penyajiannya, itulah yang membedakan.

Jadi, mau bahas topik yang sudah ada dan banyak ditulis? Ayo aja! Nggak perlu takut kehabisan ide. You can always cook the same thing everyday, hanya saja sajikan dengan caramu sendiri.

You May Also Like

27 comments

  1. Terus belajar
    Entah tulisan saya selama ini bagus apa nggak
    Nggak tahu harus minta tolong siapa menilainya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang baca dan berkunjung ke blog Mbak Amma dan lalu kasih komen, merekalah yang menilai, Mbak :) Lihat aja, apakah masih ada yang nggak mudeng? Atau gagal paham?
      Lalu kalau Mbak Amma ikut lomba/giveaway menang enggak? Kalau menang, berarti cara nulisnya udah bener. Kalau belum, berarti harus ada yang diperbaiki.

      Semangat, Mbak Amma :)

      Hapus
  2. Mau dong diajarin how to write. Ngerasa tulisan sendiri masih jauh dari enak dibaca. Nggak pinter bikin judul juga. Mungkin salah satu caranya adalah sering baca ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tulisan Mom Alfa udah bagus. Udah runtut, aku nggak terlalu banyak ngedit. Kalau soal judul, aku pun kadang masih salah milih. Jadi ya banyak-banyak trial error, dan ngamati tulisan-tulisan yang lain, yang lebih viral. Keliatan kok, polanya.

      Hapus
  3. Beneran mesti kreatif banget berarti ya mbaak buat cari sudut pandang yang menarik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, betul :)
      Banyak baca saja, dan makin sering nulis kita makin peka.

      Hapus
  4. Sama seperti drama Korea mal. Dasar ceritanya bisa aja sama tapi plotnya itu loh.. bisa bikin betah 16 episode.

    BalasHapus
  5. Kuncinya latihan sama banyak baca ya mba?:)

    BalasHapus
  6. Nah, Cinta (((Cinta))), yuk kita terus belajar menulis yang baik dan manusiawi.

    Thanks for sharing, Mbak Ra. :D

    BalasHapus
  7. Waduh smoga tulisanku nggak mbulet-mbulet hihihi.
    Masih terus belajar nih, termasuk kasih judul masih belum bisa menarik.

    BalasHapus
  8. Tulisanku masih suka mbulet-mbulet...hehe *ngaku. Masih harus belajar banyak dari enulis dan blogger lain :)

    BalasHapus
  9. Fix, blog Mba Carra aku jadikan acuan untuk blogging daaan menulis. Komplit banget Mba! Love loveeee...

    BalasHapus
  10. Sepagian ini aku jalan2 di blognya mba carra, makasih bgt buat ide2 cemerlangnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Awwww. Terima kasih sudah baca, Mbak :) Semoga bermanfaat ya.

      Hapus
  11. aku masih pemula dalam hal menulis nih, pas selesai menulis pas tak baca lagi kok ceritanya cuma datar, kurang.menarik gk greget. mohon pencerahannya mbk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Coba dibaca ulang setiap kali sebelum publish. Masukkan beberapa kata beremosi. Seperti wow, cool, aduh dan sebagainya sebagai penggambaran emosi :)
      Keep writing. Practice makes perfect.

      Hapus
  12. Belajar masak di mari.. Harus diasah lagi nih kemampuan story tellingnya.

    BalasHapus
  13. Selalu belajar banyak menulis dari mba Carra.. terlihat beda jg ya mba klo nulis dari hati atau ngga hihii. Hmm, punyaku banyak editan yaaa :)

    BalasHapus
  14. Eh iya juga ya...

    Gak ada yg terlalu baru di muka bumi ini...

    Tinggal mau lihat dari sudut mana kita akan bercerita

    Angguk-angguk... 😊

    BalasHapus
  15. thank you for sharing this,mbak. setuju kalau how to write lebih penting drpd what to write. buktinya, kalau tulisan mbak Carra aq enjoy banget bacanya, hehe. :) bukti lain adalah,kalau buku penulis favorit kadang kita ga peduli dia nulis tentang apa, sing penting tuku sik...hahaha...it's all because how she/he delivers the story.. :*

    BalasHapus
  16. How to write emang lebih penting sih. Tapi dapet how nya itu susah. Ada penulis yg emang born to write, dan nulis acakadut juga tetep enak dibaca. Ada jg yg nggak punya bakat (nunjuk jidat sendiri) dan nulis semikir apapun hasilnya gitu gitu aja.

    BalasHapus
  17. Yes, aku ngalamin banget. Aku ada tulisan yg banyak dibahas sama blogger lain soal biang keringat anak. Sampai sekarang masih dibaca banyak orang. Bahkan jadi salah satu tulisan yang banyak dicari di blogku.

    Makasih Mbak,

    Habis ini aku mau nulis lagi topik yang sudah banyak ditulis blogger lain. Oiya, untuk judul, ih aku suka sama idenya. Tak contek ya, Mbak.

    BalasHapus
  18. Nah ini dia bahasan bagus. Aku juga masih berkutat belajar how to mbak karena nulisku masih suka kaku, ngglambyar, dan terutama susah dipahami orang. Teknik dan skill emang penting, kalo tahu caranya punya telor dan garam doang udah bisa bikin fluffy foamy omelette yang enak.

    Dari pengalaman gunain jasa content writer emang gaya tulisan mereka nggak punya jiwa. Terutama yang tarifnya murah. Yang tarifnya mahal mendingan kualitasnya, sedikit banyak udah punya style.

    Mereka mungkin nerapin SEOnya sambil nulis, padahal lebih bagus nulis aja ngalir, SEO belakangan diterapin tanpa ngorbanin kualitas. Kemungkinan lain mereka ya penulis aja, harusnya tugasnya disuruh nulis yang bagus tanpa mikirin SEO. Masalah nerapin on page SEO itu urusannya bagian SEO. Kalo penulis juga disuruh optimasi artikelnya ya akibatnya keyword bisa diulang-ulang dll, karena emang mereka belum punya ilmunya.

    Makanya aku kalo pesen tulisan suka ngasih instruksi: ini bukan artikel SEO, nggak usah mikirin keyowrd dan aspek SEO lainnya. Hasilnya biasanya lebih bagus.

    BalasHapus