Antara Kritik dan Cela - Setipis Kertas

by - Juli 20, 2017





Sesekali mau freestyle writing ah.
Jadi begini.
Saya sempat bahas soal kebaperan penulis yang dikasih kritik beberapa waktu yang lalu.

Dalam postingan tersebut, saya sih menggarisbawahi, bahwa kritik merupakan salah satu "media" kita untuk belajar, meningkatkan kualitas diri sendiri.

Antikritik akan bikin kita rugi sendiri. Dari mana kita tahu kelemahan diri kita sendiri, kalau kita nggak mendengarkan masukan dari orang lain?

However, kalau selalu ngedengerin orang lain, apalagi melakukan suatu hal agar orang lain senang, itu juga nggak bagus buat kesehatan diri kita sendiri.

Karena itu, kita mesti tahu juga batasannya. Kapan kita bisa mendengarkan, dan kapan kita cuek saja dan maju terus. Termasuk soal kritik seperti apa yang bisa kita terima, dan kritik mana yang di-prek-in saja.

Saya sih sudah cukup kenyang dikasih kritik sama orang, dari yang halus sampai yang to the point dan bikin saya mutung (meski nggak lama). Dan seiring waktu pula, saya juga sering kasih pendapat dan masukan untuk orang lain.

Istilahnya, saya take dan give. Saling memperbaiki, sehingga terjalin mutualisme dengan teman-teman sesama penulis.

Dan, bener, memberikan masukan memang nggak bisa asal njeplak.
Salah-salah, kita memang terjebak di "lo kasih kritik, belum tentu lo sendiri juga jago" itu tadi.
Iyes, kita jadi sok tahu. Merasa lebih tahu ketimbang yang dikasih masukan dan pendapat.

Di komunitas Monday Flashfiction, saya berlatih memberikan masukan dengan objektif. Karena di komunitas tersebut, sesama member memang disarankan untuk saling ngasih masukan dan saling belajar satu sama lain. Di sana nggak ada yang lebih pinter, lebih senior, lebih bodoh atau lebih junior. Semua sama.

Saya berlatih, baik itu latihan menulis ataupun latihan ngasih masukan, dengan objektif di sana. Apalagi saat ada event MFF Idol, di mana para kontestan saling berebut perhatian dengan flashfiction-flashfiction yang dibuatnya. Saya sudah 3 kali jadi panelis di MFF Idol, yang membuat saya harus kerja keras memberikan masukan yang objektif. Karena apa? Karena saya nggak tahu penulisnya siapa.

Iya, soalnya sistemnya blind scoring. Host mengirimkan karya flashfiction kontestan pada saya untuk dikasih score dan komen tanpa nama penulis. Jadi, saya nggak tahu yang ini punya siapa, yang inu punya siapa.

Makanya, saya bisa sebebas-bebasnya ngasih komen.

Dan, berapa yang baper? Banyak ternyata. Hahahaha. Ya maap.

Anyway, kembali lagi ke urusan ngasih masukan.

Saya pernah main ke blog Mbak Okke Sepatumerah (yang sekarang sudah ganti blog). Di sana, beliau ... (((beliau))) ... membahas tentang kritik dan cela yang bedanya hanya setipis kertas.

Kurang lebih, begini isinya. Saya kutipkan bebas karena saya masih ingat betul apa isinya, meski mungkin kalimatnya ngga persis.

Nyela adalah ketika kau mematahkan semangat orang dengan kata-katamu. Ngritik adalah ketika kau meyakinkan orang lain bahwa ia bisa melakukannya dengan lebih baik.
Antara ‘Ih, jelek banget sih ini?’ dengan ‘Ini masih bisa disempurnakan lagi.’ beda dong ya?
Nyela ketika kau ‘menyerang’ seseorang, ngritik adalah ketika kau fokus pada pekerjaannya, bukan pada dia secara personal.
Nyela ketika kau cuma bilang hal-hal buruk tanpa solusi. Ngritik, kau datang dengan solusi.
Nyela adalah ketika kau impoten menempatkan dirimu di posisi orang yang bersangkutan; kau lakukan di depan umum, kau bandingkan dirinya dengan orang lain. Ngritik adalah ketika kau bisa berempati, membayangkan apa rasanya berada di posisinya.
Nyela adalah ketika kau lupa (secara subjektif) bahwa ada hal-hal baik juga yang pernah dilakukan seseorang (karena keburu sebel misalnya). Ngritik adalah ketika kau dengan objektif melihat bahwa ada kualitas baik juga dari dirinya dan tanpa ragu mengemukakan  hal tersebut.
Tapi yang paling penting adalah, ngritik itu karena kau peduli pada seseorang dan ingin ia menjadi lebih baik lagi. Kalau nyela? Ya gitu deh.

Nah, dari kutipan di atas keliatan nggak, beda antara kritik dan celaan?
Kalo saya sih jelas :)

Kemudian saya ingat lagi, suatu kali timeline twitter saya rame. Ternyata, saat itu memang lagi ada "keramaian" alias twitwar.

Ada seseorang sedang mengkritisi (ngakunya sih begitu) karya seorang sastrawan terkenal yang menjadi penulis idola.

Akhirnya, karena kepo, saya pun nonton timeline, stalking sana sini, sembari menyeruput kopi instan, dan memamah camilan saya.

Ngakunya sih, dia mengkritisi hasil karya si sastrawan tersebut. Tapi menurut sebagian tweeps, kata-kata yang dipakainya kasar dan inappropriate.

Yah, saya sih enjoy aja nonton war. Lagi selo sih.

Namun, coba lihat kembali, terutama bagian "Ngritik adalah kamu datang dengan solusi."
Oke, kalau menurutnya, jelek atau nggak bener, coba deh, tunjukkan yang mana yang kurang bagus, lalu berilah alternatif solusi.

Saya sendiri kadang masih nggak bisa tuh kasih solusi. Kadang baca sebuah buku, saya nggak suka, tapi saya juga nggak tahu nggak sukanya kenapa. Kalau udah begitu, saya akhirnya memutuskan, bahwa buku tersebut nggak masuk selera saya.

Lalu, bisakah saya memberi kritikan kalau sebuah buku nggak masuk selera saya? Saya bilang, NGGAK  BISA.

Karena mau digimana-gimanain, tetap aja akhirnya saya bilang itu buku jelek. Jalan ceritanya aneh, plotnya garing, nggak jelas de es be de es be.

Kalau mau dipaksa suruh ngasih kritik gimana? Kadang soalnya gitu. Diminta ngereview buku, tapi bukunya not my kind of cup of tea. Ya, gimana ya. Akhirnya ya, sebatas pelaksanaan tugas.
Karena, kalau sudah masalah selera, itu susah.

Nah, kembali lagi pada si kritikus-wanna-be tadi.
Jika sampai terlontarnya adalah kalimat "Tadinya gue kira buku ini keren. Ternyata membosankan sampai bikin ketiduran. Bukan sekadar membosankan sih. Ini buku jelek. Gaya bahasanya. Permainan plotnya. Jalan ceritanya.", lalu menurutmu gimana? Ada solusi?

Saat orang-orang mempertanyakan kritik-kritiknya ini, lantas orang-orang tersebut dituduh menyerang. Katanya, kalau setiap orang yang berbeda pendapat lalu diserang, apa bedanya dengan orang-orang yang nggak move on pas pemilu kemarin?

Oh, please deh. Hellowwww?!

Kenapa sih nggak datang saja dengan solusi kalau memang bukan nyela? Kenapa nggak ngasih alternatif baiknya gimana, kalau memang bukan hanya karena selera?

Saya mah sering juga terjebak antara niat mencela dan mengritik ini.
Coba lihat kasus si mbak penulis Sepen Elepen.
Yang begitu antikritik, hingga ngeblok sejumlah orang yang memberikan kritik atau memberikan review jelek terhadap film yang dibuat berdasarkan novel yang ditulisnya itu.

Saya jelas bukan penggemar beliau.
Dan, ini jelas soal selera.
Maka, haruskah saya ngritik atau review terhadap filmnya? Enggak mau. Lha, kan jelas saya nggak suka. Ntar saya jadi negatif mulu reviewnya, dan itu berarti nggak netral.

Tapi, misal saat saya membaca buku, dan saya bisa lihat plus minusnya, nah ... di situ saya merasa netral dan bisa kasih review yang objektif.

Kritikus makanan memang bukan koki, tapi dia biasanya punya ilmu tentang kuliner. Tahu gizi, tahu ingredients, tahu pengolahan. Saat mengkritisi, dia akan ngasih alasan ini itu, dan dia biasanya akan kasih solusi. Kalo cuma bisa bilang enak apa nggak enak, saya juga bisa.

Kritikus buku (yang bener) biasanya juga mengerti ilmu menulis. Mereka akan datang dengan solusi, mengapa begini mengapa begitu, dan harusnya diapain. Kalo cuma bisa bilang buku jelek apa bagus, saya juga bisa.

Kritikus-kritikus yang bereputasi, PASTI punya ilmu. Nggak semua penikmat makanan pinggir jalan bisa tahu-tahu diangkat menjadi kritikus makanan. Coba liat acara-acara kuliner di televisi. Yang mana yang datang dengan solusi, yang mana yang cuma bilang enak doang? Keliatan kan bedanya?

However, masukan dari orang awam itu juga nggak bisa diabaikan. Malah justru harus diperhatikan. Mengapa? Karena, kalau di sini konteksnya tentang tulisan, mereka membaca sebagai diri mereka sendiri. Saat mereka memberi masukan, itu adalah mereka sedang berbagi hal yang mereka rasakan.
Ini penting diperhatikan oleh penulis, yang merupakan "produsen" tulisan yang mereka baca. Agar apa? Ya, pastinya, supaya next time kita memproduksi tulisan lagi, tulisan kita bisa lebih bagus, lebih oke, lebih bisa dinikmati.

So, inti dari tulisan ini apa?
Well, stop memberikan kritik kalau itu ada indikasi soal selera, if you can't make it objectively. Karena hasilnya ya hanya akan nyela bukan kritik.

Jadi, kalau suatu kali kamu minta masukan saya soal sesuatu, tapi saya nolak, barangkali itu ada hubungannya sama selera. Hahahaha.

Well, selamat menjalani hari ini, gaes. Semoga harimu menyenangkan :)

You May Also Like

12 comments

  1. Ohh jadi ngeh kalau ada drama dari mbak penulis sevel qiqiqi.
    Selera memang relatif ya mbak Carra, gak bisa dipaksakan dan saya setuju sikap kalau memang gak bisa ngasih alasan dimana gak sukanya ya karena memang gak bisa aja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, kalau soal selera memang susah. Kadang ya nggak suka, ya nggak suka aja. Susah dijelasin kan?

      Hapus
  2. Ijin share ya mba Carra..

    BalasHapus
  3. What comes around goes around. Jd ingat penulis yg pernah pedes bgt nyela penulis lain di twitter...kita tdk pernah tahu kpn bertukar tempat...

    BalasHapus
    Balasan
    1. What comes around goes around.
      Ah. Bener banget.

      Hapus
  4. wah aku kayaknya lbh sering dicela nih dapetnya hahaha. entah kalau ke orang lain mah, ngga nyadar *duuh

    BalasHapus
  5. Kadang sih baper juga kalo dapat kritikan. Tapi memang 'nada' itu pentig sih. Kalau disampaikan dengan nada yang pas, biasanya aku justru berterima kasih sama yang ngasih kritikan. Tapi kalo nadanya udah terkesan merendahkan malah males deh nanggapi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang, menyampaikan masukan itu ada seninya tersendiri :D

      Hapus
  6. Kalo konteksnya teman atau orang yang dikenal saya lebih suka orang itu ngomong langsung sama saya. Instead bikin postingan no mention. Menurut saya itu nyela.

    Nah kalo soal karya publik figur itu jadinya rancu sih, mbak. Mungkin ada yang maksudnya mau menyampaikan opini karena berdasarkan preferensi pribadi tapi kalau bahasanya kurang sopan sih jadinya gak enak juga sih dibacanya.

    BalasHapus
  7. Iyaaa klo soal selera gimana ya mbaa.. kadang buat suka sesuatu juga nggak ngerti kenapa :D
    Oh sepen elepen ada dramanya, aku baru tau..
    Klo kritikan memang nggak semua bisa nerima mbaaa, padahal bisa bikin lebih baik lagi ya..
    Aku klo dicela, anggep itu kritik ajalah biar nggak stres 😹

    BalasHapus