6 Fakta tentang Penerbitan Indie yang Harus Kamu Tahu!

by - Agustus 12, 2017



Well, kali ini saya mau bahas soal penerbitan buku ah. Sekali-sekali boleh ya, sekadar berbagi juga hal yang saya tahu dari kerjaan saya sehari-hari. Barangkali juga, ada yang sekarang lagi mau nerbitin buku secara indie :)

Saya sudah menulis 25 buku.
4 buku di antaranya adalah buku yang memuat ilustrasi saya di dalamnya. 15 buku di antaranya adalah buku antologi. Dan, 18 dari 25 buku tersebut adalah buku indie, terbit secara mandiri.

Dengan jumlah yang segitu, plus sekarang kantor penerbitan tempat saya kerja juga ikut merambah dunia buku indie, maka saya anggap, saya lumayan cukup tahu soal penerbitan indie. Well, masih belum seberapa memang. But I'm on process.

Beberapa kali saya menjumpai masalah soal penerbitan indie, terutama yang melibatkan para penulis baru yang mimpi-mimpinya masih begitu tinggi dan liar, dengan harapan yang begitu membuncah plus imajinasi yang kelewat mewah.

Well, saya dulu juga begitu, saat memulainya.
Saya punya angan menjadi penulis super hebat seperti Ika Natassa, Dee Lestari atau siapa pun yang pernah mulai usahanya dari menulis buku dan menerbitkannya secara indie dan kini meraih kesuksesan yang luar biasa.

Ditambah dengan bacaan-bacaan artikel pemotivasi penulis indie, terutama dari media online luar negeri, yang mencekoki saya dan memberi gambaran, betapa menulis indie itu adalah 'pekerjaan yang wah!'.

Namun, seiring waktu, saya pun belajar. Bahwa ada realita di depan mata yang nggak seindah angan.
Nggak, saya bukannya mau mematahkan semangat para penulis buku indie yang sedang berusaha meraih mimpi. Tapi, saya sekadar menyajikan beberapa fakta yang harus kamu hadapi, yang pengin sukses sebagai penulis melalui jalur indie.

Coba baca juga artikel saya soal beda penerbitan mayor dan penerbitan indie ini ya, sebelum kamu lanjut.

Beberapa fakta mengenai penerbitan indie yang harus kamu tahu



Tidak salah memang kalau kita punya mimpi. Tapi bagaimanapun, kita mesti realistis, dan jangan berharap terlalu tinggi. Karena kalau harapannya terlalu tinggi, you would hurt yourself.

1. Tanyakan motivasimu sendiri


Saya pernah terlalu pengin punya buku sendiri. Hingga kemudian, dengan cepat saya berusaha menyelesaikannya. Kebetulan buku pertama saya itu adalah kumpulan flashfiction, yang saya anggap cerita-cerita di dalamnya sudah super banget (waktu itu). Pokoknya keren abis, pikir saya.

Sekarang?
Saya rada malu bacanya :)))) *tutup muka*
Ya ampun. Kayak gini loh, saking penginnya saya punya buku! Hingga saya melupakan banyak hal. Saya waktu itu sadar, bahwa flashfiction memang kurang laku diterbitkan oleh penerbit mayor, maka saya pun beralih ke indie.

So, buat para penulis newbie.
Apa motivasimu pengin menerbitkan buku secara indie?
Pengin punya buku? Iyalah, itu pasti alasan utamanya. Tapi, please, jangan tergesa-gesa. Jangan hanya karena 'pengin buru-buru punya buku'.

Sungguh, kamu bisa menyesal nanti.


2. Target pasar harus kamu kuasai


Kalau penerbit mayor, biasanya mereka sudah punya pasar sendiri. Apalagi yang sudah bertahun-tahun berdiri. Mereka sudah berjuang keras untuk membangun massanya.

Bagaimana dengan kamu?
Berapa banyak temanmu?
Berapa banyak followermu?
Berapa banyak komunitas yang kamu ikuti?
Berapa banyak pembaca blogmu (kalau kamu punya blog)?
Berapa luas pergaulanmu?

Karena, target pasar penulis indie merely terbatas pada teman-temanmu sendiri, saudaramu, keluargamu. Circle-mu.

Itu saja, kamu mesti sadar juga. Bahwa nggak semua temanmu akan membeli bukumu.
Kadang, saat kamu sedang promosi bukumu, mereka akan kasih tanggapan luar biasa. Mereka kasih jempol, likes, dan komen dengan antusias.

"Keren, gan!"
"Super!"
"Hebat! Selamat ya!"

Tapi, apakah mereka akan membeli?
Belum tentu.
Bisa saja mereka malah minta gratis.

Pahit ya? Iya.

Bisa jadi mereka hanya sekadar menyemangatimu, memberikan pujian, atau basa-basi. Tapi, buat beli bukumu, ya itu tergantung isi dompet mereka atau kebutuhan mereka.

Nggak ada yang bisa tahu kan?

So far, saya sudah mengamati. Buku yang dikerjakan keroyokan memang punya peluang laku lebih banyak, karena semua penulis yang terlibat akan jadi marketing. Dan karena circle-nya bisa berbeda-beda, itu berarti bisa sedikit mendongkrak penjualan.

Penjualan novel kolab saya sama Orin jauh lebih baik ketimbang penjualan buku kumpulan flashfiction saya, Penyihir-Penyihir di Manik Mataku. Jelas. Orin kan punya circle sendiri, saya juga punya circle sendiri. Meski kadang ya teman Orin teman saya juga. Tapi yang kenalan sendiri-sendiri lebih banyak. Sehingga kami bisa berbagi deh.

Lalu, apakah nggak mungkin ada pembeli buku dari luar circle penulis?
Ya, ada. Tapi berapa persen, saya nggak bisa memastikan. Buku mayor tertolong karena kan masuk ke jaringan toko buku, baik offline or online, pun dijual dalam versi ebook. Buku indie? Mostly nggak beredar di toko buku, offline maupun online. Yang jualan ya penulisnya sendiri. Dan, penerbitnya, kalau memang penerbitnya menyediakan marketing. Ada juga yang enggak.

Tapi, bukankah penerbit akan membantu promosi?
Iya dong. Itu juga kewajiban mereka. Ikut mempromosikan bukumu. Ya jelas! Kalau bukumu banyak yang beli, mereka juga seneng kok. Beneran. Yakinlah, mereka berusaha semaksimal mungkin. Tapi, sebenarnya, marketing buku indie bisa dibilang sebagian besar tergantung pada si penulis. Dari semua pembeli bukumu, bisa dibilang pembeli yang didapatkan oleh penerbit itu hanya sekitar 10%-nya.

3. Butuh modal


Jika di penerbitan mayor, kamu tinggal menunggu DP royalti dan royaltinya sendiri setelah akan atau selesai diterbitkan, maka di penerbitan indie, kamu mesti punya modal dulu.

Ada beberapa penerbit indie yang memang mensyaratkan jumlah tertentu, tapi kayak nulisbuku.com kamu hanya perlu membeli proof cetak aja untuk meng-go live-kan bukumu di website mereka.
Berapa harga proof cetaknya?
Sesuai dengan harga buku yang bisa kamu tentukan sendiri.

Di Stiletto Indie Book, misalnya, ada paket-paket dengan harga tertentu yang ditawarkan, yang bisa dipilih sesuai bujet kita. Di dalamnya ada berbagai fasilitas, seperti sudah termasuk jasa proofreading juga ada bukti terbit.

Yang mana yang lebih bagus?
Ya, masing-masing ada plus minusnya. Sesuaikan saja dengan kebutuhanmu.

Di nulisbuku, misalnya, memang kamu hanya perlu 'membeli' proof cetak saja. Tapi mereka juga menyediakan jasa penyediaan ISBN, juga ada biaya marketing yang bisa kamu minta dengan tambahan biaya.

Di penerbit indie yang lain, mungkin kamu harus membayar lebih mahal, tapi misalnya, sudah termasuk ISBN, promosi, bukti terbit, juga beberapa hal lainnya.

Jadi, memang kamu mesti mempertimbangkan baik-baik, mau diterbitkan di mana bukumu itu.


Image via Xterra Web


4. Baca Term & Condition atau MoU dengan saksama


Inilah yang selalu menjadi kesalahan kita. Malas baca.
Ya gitu deh. Pengin jadi penulis sukses, tapi enggan membaca. So typical hm?

Padahal Term & Condition atau MoU itu penting. Di situ akan ada berbagai aturan penerbit yang harus kamu pahami dan patuhi.

Kok harus dipatuhi penulis?
Ya iyalah, that's how it works.

Setiap penerbit kan punya aturan sendiri-sendiri. Meski kita penulis adalah customer, ya kita wajiblah mengikuti peraturan dan memahami kondisi penerbit. Kalau nggak cocok gimana? Ya, nggak papa. Bisa nego kok, atau kalau mentok ya, pindah penerbit aja :)))

Ya, kalau ada beberapa dalam poin di Term & Condition atau MoU itu dirasakan merugikanmu, kamu bisa kok menanyakannya pada pihak penerbit. Tanyakan dengan baik-baik, lalu ceritakan kondisimu dengan sebenar-benarnya.

Ingat ya, semua bisa kok dibicarakan baik-baik. Nggak perlu nyolot, apalagi pakai saling mengancam. Nay nay nay.

Membaca Term & Condition atau MoU dengan saksama ini penting, agar kita tahu lebih jelas di awal. Akan lebih baik memperjelas semuanya di awal, ketimbang ngomel belakangan.

Perhatikan beberapa hal yang seharusnya ada dalam Term & Condition atau MoU:
  • Perhitungan royalti
  • Berapa lama proses penerbitan
  • Apa saja fasilitas yang kamu dapatkan
  • Bagaimana sistem pelaporan penjualannya
  • Bagaiman prosedur pembelian
 Pokoknya, perhatikan dengan saksama dan segera tanyakan jika ada yang tidak kamu mengerti.


5. Perhatikan desain bukumu


So, saya mau sedikit cerita pengalaman saya sebagai seorang pembaca dan penimbun buku.

Tahu kan, kalau di bagian belakang buku itu ada sinopsis, atau yang sering disebut blurb? Saat saya datang ke toko buku, atau lihat-lihat buku di toko online, atau lagi mantengin promosi buku di media sosial penerbit, sering banget saya menemui blurb yang nggak bisa menggambarkan isi buku dengan baik.

Blurb hanya diisi dengan kalimat-kalimat indah, penggalan atau kutipan buku, atau endorsement yang kurang menggambarkan isi buku secara jelas.

Bagaimana orang bisa tertarik membeli kalau nggak bisa membayangkan bukunya seperti apa.

Juga perhatikan desain covernya juga. Really. Ini sangat penting. Jika kamu nggak bisa menceritakan 'isi' bukumu melalui blurb, maka kamu bisa melakukannya melalui cover.

Saya akui, bikin blurb itu susah. Banget. Saya sendiri juga melakukan kesalahan yang sama sebenernya. Menulis blurb yang kurang representatif.

So, saya sarankan, jangan sampai kamu melakukan kesalahan yang sama.


6. Royalti


Tentang royalti ini cukup sensitif ya, soalnya ini masalah uang. Uang memang selalu jadi hal paling bikin riweuh deh di mana-mana.

Jadi, tanyakan sejelas-jelasnya di awal mengenai royalti ini.

Berapa persen yang kamu dapatkan?
Berapa harga bukumu?
Kapan royalti akan diberikan, dan bagaimana prosedurnya?

Itu adalah 3 pertanyaan yang harus bisa terjawab terkait royalti buku. Pahami penjelasan dari penerbit ya. Tanyakan dan konfirmasikan ulang, jika kamu nggak ngerti.

Mendingan dilabeli penulis banyak nanya ketimbang kita nggak jelas deh. Pihak penerbit pasti mau kok menjelaskan dengan sabar dan sampai kita benar-benar puas dengan penjelasan mereka.



Yang penting, jangan sungkan untuk bertanya dan mengomunikasikan apa maumu pada penerbit.

Kadang komunikasi ini memang susah sih. Namanya juga berurusan sama banyak pihak ya. Jangankan penulis sama penerbit. Suami istri loh, kadang ya nggak nyambung. *curhat, Mak?*

So, sebelum kamu terjebak euforia karena bisa menerbitkan bukumu sendiri, sebaiknya kamu memang harus paham dan tahu dulu faktanya.

And, just remember, di balik admin kontak penerbit indie, itu adalah orang-orang biasa yang suka bikin salah juga. Sampai di batas tertentu, kamu harus memakluminya.

Semoga nggak menyurutkan semangatmu dalam menulis dan menerbitkan bukumu sendiri ya. Tulisan ini bukan ditulis dalam kapasitas saya sebagai karyawan di sebuah penerbitan. Sekadar berbagi aja sih, apa yang pernah saya lakukan sebagai seorang penulis yang, somehow, saya lebih nemu kepuasan saat buku saya terbit secara indie. Karena ya, itu buku akhirnya gue banget gitu.

Saya menerbitkan buku indie biasanya karena alasan:

  1. Pengin jadiin satu tulisan saya, sebagai dokumentasi gitu.
  2. Kebanyakan buku indie saya (terutama yang antologi) itu royaltinya malah justru didonasikan. Jadi tujuan saya memang untuk berdonasi.
  3. Sebagai portfolio
Pelajaran yang saya dapatkan selama beberapa tahun ini sering menerbitkan indie adalah kalau menerbitkan buku indie demi mendapatkan uang (apalagi yang banyak) ... well ... kamu harus seistimewa Dee Lestari atau Ika Natassa.

Kalau cuma kayak saya gini ya ... lebih besar pasak daripada tiang sih. Wakakakk.

Nah, semua hal di atas memang perlu kamu tahu dulu, sebelum kamu mulai memutuskan untuk menerbitkan buku secara indie. So you can "play" along, semua berjalan lancar.
Kamu jelas dengan kondisi penerbit, dan penerbit juga tahu apa maumu :)

Semoga bermanfaat.

Selamat nulis! Semangat!

You May Also Like

11 comments

  1. Aku pernah 2 kali nerbitkan buku dan itu semua di penerbitan indie. Tujuannya sih buat senang-senang dan mendokumentasikan karya aja mbak sekalipun yang beli cuma teman-teman sendiri. Kadang malah beberapa orang saya kasih gratis. Lebih banyak tekornya sih. Tapi entah mengapa ada kebahagiaan tersendiri yang tidak bisa dihargai secara nominal. Hehehe

    BalasHapus
  2. Tos Mbak Ria AS. Sama. Aku juga gitu. Hehehe...

    BalasHapus
  3. saya juga lagi kepengen banget punya buku sendiri secara indie, tapi setelah baca artikel ini... saya jadi berpikir lagi, akhirnya tunda dulu deh dari pada menyesal nanti...
    saya yakin pasti nanti ada jalannya.
    thanks ya Mba Carra.

    BalasHapus
  4. Terima kasih ya Mbak tips 'n triknya. Sangat mencerahkan...

    BalasHapus
  5. ada hal2 yang gak terpikirkan sebelumnya muncul di tulisan ini. makasih, tulisannya mencerahkan.

    BalasHapus
  6. Trims mba.. Tulisan ini bs menjelaskan dg baik hal2 yg bnyk ditanyakan tmn2 ttg penerbitsn indie. Oya klo mslnya sdh terbit bk kita di suatu penerbit..bisakah kita terbitkan lg lewat penerbit lain?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa sih. Tapi sebaiknya, jangan sampai ada di 2 penerbit sekaligus. Ya, etika aja sih :)
      Jadi, kalau mau diterbitkan di tempat lain, yang di satunya dicabut.

      Hapus
  7. wah, kakak udah masukin banyak buku di penerbit indie? di penerbit apa, kak? karena takut ditipu aku... kalau mau ngasih naskah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah iya. Memang makin banyak penerbit tipu-tipu yah?
      Ke Stiletto Indie Book aja. Recommended. Hehehe.

      Hapus
  8. Yah tidak muluk-muluk juga sih, semua orang pasti mau uang, mau karyanya dibayar. Tapi bagiku pribadi berkarya itu lebih kepada ingin berguna buat orang-orang lain, dan memuaskan hasrat terpendam.. Wkwkwk.
    Terimaksih kak, tulisannya enak .

    BalasHapus
  9. Huft, baru kepengen nerbitin buku secara indi tapi gak jadi dehh,,, terhipnotis tulisan ini hehe

    BalasHapus