Menggunakan AI buat nulis artikel sekarang memang udah jadi hal yang lumrah. Banyak orang pakai karena praktis dan bisa bantu kerjaan jadi lebih cepat selesai. Tinggal ketik perintah, keluarlah jawaban.
Tapi, di balik semua kemudahan itu, ada satu hal penting yang nggak boleh dilupakan: etika dalam menulis.
Soalnya, nulis pakai bantuan AI itu tetap ada aturannya. Nggak asal hasil dari AI langsung dipublikasikan begitu aja. Ada tanggung jawab yang harus dipikirkan, ada proses yang tetap perlu dilalui, dan ada batasan yang mesti dijaga.
Karena ujung-ujungnya, tulisan tetap akan dibaca manusia. Dan manusia bisa merasakan, mana tulisan yang dibuat asal-asalan, mana yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh.
Menggunakan AI buat Menulis Artikel? Bisa, Asal …
Tapi, saya sendiri sekarang juga sudah semakin sering pakai AI. Bukan buat nulis, tapi mempercepat proses. Dengan AI, saya gak perlu mencari sumber referensi from scratch dari Google. Saya tanyakan ke AI, tolong risetkan tentang topik A. Dia akan ngasih daftar bacaan yang (sebagian besar) sudah dipastikan cocok untuk tulisan yang akan saya bikin.
Dengan begitu, saya gak ribet sama hasil pencarian Google yang kadang kebanyakan sponsored-nya daripada yang organik. Kadang, saya juga perlu mencari sampai halaman-halaman selanjutnya, baru ketemu referensi yang cocok. Dengan AI, sumber referensi yang cocok itu lebih cepat ditemukan.
Tapi saya bisa menggunakannya dengan benar, ini juga ternyata berproses. Saya gak ujug-ujug aja bisa pakai AI. Ada belajar-belajarnya juga, supaya hasilnya bagus.
So, bekerja dengan AI itu gak segampang yang dikira juga. Sekali masukkan prompt, jadi. Gak kayak gitu. Enak banget kalau bisa kayak gitu. Kerja dengan AI juga butuh otak, dan terutama, rasa.
Jadi gimana caranya. Ini saya kasih cluenya.
1. Jadikan AI Sebagai Alat Bantu, Bukan Penulis Utama
AI itu fungsinya kayak alat bantu. Sama kayak kamus, Google, atau aplikasi cek typo. Bukan pengganti kerja penulis. Jadi, jangan langsung ambil mentah-mentah hasil tulisan dari AI terus di-posting begitu saja.
AI bisa dipakai buat bantu cari ide. Misalnya lagi stuck mau nulis apa. Bisa juga dipakai buat minta contoh outline atau susunan bahasan biar tulisan lebih rapi.
Tapi tetap, isi tulisannya harus digarap sendiri. Diolah ulang. Dikasih sentuhan manusia. Karena tulisan yang terasa hidup itu lahir dari pengalaman, opini, dan cara pandang pribadi penulis. Hal kayak gitu nggak bisa keluar dari AI.
2. Periksa Fakta Secara Mandiri
AI bukan mesin serba benar. Apalagi kalau dipakai buat cari data atau info yang butuh akurasi tinggi.
Iya, kadang AI masih suka ngawur. Bisa kasih angka yang nggak valid, kutipan palsu, bahkan info yang udah ketinggalan zaman. Bahkan misalnya kalau bahas tempat wisata, bisa saja tempat wisatanya ternyata FIKTIF, sodara-sodara! Wqwqwq. Sungguh membagongkan.
Jadi, setelah dapat draf atau hasil dari AI, tugas berikutnya adalah cek ulang semua informasi di dalamnya. Lihat sumber aslinya. Pastikan beneran ada. Pastikan datanya terbaru. Kalau perlu, cari referensi resmi seperti jurnal, situs tepercaya, atau berita kredibel.
Jangan sampai karena malas cek fakta, malah bikin tulisan menyesatkan.
Yahhh, jadi dua kali kerja dong! Ya, memang bisa dibilang gitu sih. Tapi kalau saya seenggaknya bisa memotong sedikit waktu di awal, ketika kita harus gugling. Lama-lama kerasa juga lebih cepetnya.
3. Hindari Plagiarisme
Ini penting banget. Jangan pernah copy-paste hasil tulisan AI tanpa proses editing.
Karena tulisan AI itu bukan jaminan bebas plagiarisme. Apalagi kalau cuma dihasilkan dari gabungan tulisan orang lain yang udah ada di internet.
Cara paling aman: baca hasil dari AI, pahami, terus tulis ulang pakai gaya sendiri. Bisa juga dijadikan referensi atau pemantik ide aja. Bukan langsung dipajang utuh.
Tulisan yang bagus itu justru lahir dari olahan tangan sendiri. Ada proses mikir, ada proses merangkai, ada rasa capeknya. Dan itu nggak bisa digantikan AI.
4. Cantumkan Sumber jika Mengutip
Kalau memang harus ambil bagian tertentu dari AI — misalnya kalimat definisi atau contoh — lebih etis kalau disampaikan transparan. Bisa ditulis: “Menurut hasil bantuan AI…” atau “Berdasarkan referensi yang dihasilkan AI…”.
Ini penting, supaya pembaca tahu mana yang hasil olahan sendiri, mana yang dibantu alat. Sama aja kayak kalau ngutip dari buku atau jurnal. Tetap harus jelas sumbernya. Begitu juga kalau kamu generate visual dengan AI, ya disebutin kalau pakai AI.
Etika ini bikin tulisan—dan karya-karya lainnya—lebih jujur dan profesional.
5. Gunakan AI Sesuai Kebijakan Platform
Nggak semua tempat memperbolehkan penggunaan AI dalam proses menulis. Ada media atau klien yang melarang keras. Ada juga yang boleh, tapi dengan syarat tertentu.
Media tempat saya kerja sekarang melarang keras penggunaan AI dalam bentuk apa pun. Ya sudah, kudu diturutin. Pernah satu tim bubar karena ada penulis yang ngeyel pakai AI meski sudah diperingatkan. Iyes, satu penulis bandel, satu tim kena getahnya. Nyeseknya gimana, coba.
Makanya, selalu cek dulu aturan mainnya. Baca brief baik-baik. Tanyakan langsung kalau masih ragu. Karena kalau ketahuan melanggar, risikonya bisa serius. Mulai dari tulisan ditolak, reputasi buruk, sampai kerja sama dibatalkan.
Jangan sampai teknologi bikin masalah cuma karena nggak baca aturan.
6. Tetap Libatkan Proses Kreatif Manusia
AI memang pintar. Tapi yang bikin tulisan terasa beda dan berkesan itu ya sentuhan manusianya. Cerita pribadi, gaya bahasa khas, humor receh, opini tajam, atau cara menyampaikan sudut pandang tertentu — itu semua nggak bisa dihasilkan sama AI.
Jadi, jangan hilangkan proses kreatifnya. Justru pakai AI itu harusnya bikin waktu nulis lebih efisien. Sisanya bisa dipakai buat mikir lebih dalam, menulis lebih jujur, dan menyampaikan pesan dengan cara paling manusiawi.
Tulisan yang bagus itu bukan cuma soal rapi dan lengkap. Tapi juga soal rasa.
Menggunakan AI dalam proses menulis memang sah-sah saja. Nggak ada yang melarang teknologi dipakai untuk membantu pekerjaan jadi lebih mudah.
Tapi, cara pakainya tetap harus bijak. Tetap harus sadar batas. Karena sehebat apa pun AI, kualitas tulisan tetap datang dari manusia yang mau mikir, mau riset, dan mau jujur dalam prosesnya. A
khirnya, etika dalam menulis bukan cuma soal aturan teknis, tapi juga soal tanggung jawab sama karya yang dihasilkan.
Temukan tips menulis lainnya yang praktis dan inspiratif di Instagram Penulis Konten. Jangan lewatkan konten menarik yang bisa bantu meningkatkan skill menulismu!