• Home
  • About
  • Daftar Isi
  • Konten Kreatif
    • Penulisan Konten
    • Penulisan Buku
    • Kebahasaan
    • Visual
  • Internet
    • Blogging
    • Marketing
    • User
    • WordPress
  • Media Sosial
    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
  • Stories
    • My Stories
    • Featured
    • Freelancer
  • Guest Posts
Diberdayakan oleh Blogger.
facebook twitter instagram pinterest Email

Carolina Ratri

Teknik Bridging dalam Menulis Artikel

Teknik bridging barangkali adalah teknik menulis yang cukup jarang dibahas. Padahal, ini cukup penting lo!

Teknik bridging sering sekali saya pakai terutama ketika saya harus menghubungkan topik dengan promosi, atau keyword dengan topik utama, dan lain sebagainya. Lewat skill bridging-lah, level skill dan kreativitas seorang penulis bisa terlihat. Bisa dinilai seberapa lincah ia mengemas suatu pesan hingga menjadi tulisan yang mengalir, informatif, dan efisien.

Yuk, kita lihat lebih dalam mengenai teknik bridging ini.

Apa Itu Teknik Bridging

Bridging—dari istilah bridge, yang dalam bahasa Inggris artinya jembatan—adalah sebuah teknik untuk menyambungkan dua topik yang berbeda—bahkan tidak ada kaitannya sama sekali, tetapi pada akhirnya nyambung juga, dan bahkan menjadi cerita tersendiri yang apik.

Ya, gampangannya sih begitu.

Saat menulis, sering kali penulis akan “terpaksa” harus menghubungkan 2 hal yang berbeda dan sekilas nggak berhubungan sama sekali dalam satu artikel atau tulisan utuh.

Ada beberapa sebab. Pertama, bisa jadi ada permintaan sponsor. So, bagaimana caranya, agar topik yang dibahas bisa dihubungkan dengan produk sponsor sehingga meyakinkan pembaca bahwa penting untuk punya produk tersebut. Kadang, topiknya bisa memang sudah dikaitkan sejak awal. Namun, tak jarang, kita bahas topik A yang enggak ada kaitannya sama sekali sama produk tersebut. Nah, terus ya bisa-bisaannya kita saja bagaimana menghubungkannya sehingga kalau dibaca jadi masuk akal, smooth, dan meyakinkan.

Kedua, bisa jadi karena tuntutan atau permintaan tertentu dari klien. Misalnya, seperti proyek yang pernah saya kerjakan, si klien minta untuk selalu memasukkan kutipan valid dari buku atau sumber tepercaya. Kelihatannya gampang dan simpel sih, tapi faktanya ini cukup sulit lo. Apalagi kata kunci dan topik sudah ditentukan, kadang kita nggak bisa menemukan kutipan valid yang pas. Jadi, ya kudu dihubung-hubungkan biar masuk akal.

Ketiga, tuntutan keyword, ini biasanya kejadian pada penulis SEO nih. Kadang kudu masukin keyword tertentu padahal topiknya bisa jadi beda. Atau pengin ngikut arus trending topic, padahal nichenya beda.

Nah, di sinilah teknik bridging diperlukan.

Contoh Penerapan Teknik Bridging

Coba yuk, kita lihat contohnya saja langsung biar lebih gampang jelasinnya dan dipahami. Coba simak 3 contoh artikel berikut ini.

Contoh 1

 
Contoh Penerapan Teknik Bridging 1

Pada artikel di atas ada 2 topik yang harus dijadikan satu dalam artikel, yaitu Jogja yang mirip Bali dan Jogja seribu nama. Sama-sama Jogja sih, tapi yang satu seribu nama dan yang satu soal Bali. Jadi gimana nyambunginnya?

FYI, kutipan dari sumber tepercaya itu adalah syarat dari klien, jadi wajib kudu harus dicantumkan. Sementara pantai di Jogja mirip Bali adalah keyword yang ditarget. Jadi ya, kudu wajib ada juga. Nggak boleh diganti, dan harus ada di paragraf pertama.

Yang sudah ditulis di atas, itu sebenarnya sudah cukup diulik, tapi menurut saya masih kurang smooth sih. Dibaca masih enggak enak.

So, I might write this instead.

Jogja adalah kota yang sering dibilang mirip dengan Bali. Soal budayanya, dan terutama keindahan alamnya. Bahkan banyak lo, pantai di Jogja yang mirip Bali, dengan ciri khas pura juga.

Memang, Jogja disebut sebagai kota seribu nama, seperti yang disebutkan dalam buku Happy Shopping Jogja karya Kian Goenawan (2008: 11). Salah satunya adalah kota wisata, karena memang ada banyak objek wisata ada di Jogja, mulai dari wisata budaya, wisata sejarah, hingga wisata alam.

Salah satu wisata alam yang terkenal di Jogja adalah pantai. Tak sekadar indah, beberapa pantai di Jogja mirip sekali dengan Bali: berpasir putih, dan ada yang memiliki pura. Yuk, intip pantai di Jogja yang mirip Bali, siapa tahu bisa jadi pilihan destinasi wisata liburan mendatang.

Better? Semoga.

Dalam penggalan artikel di atas, saya membuat bridge alias jembatan antara ‘kota seribu nama’ dan ‘pantai mirip Bali’ melalui sebutan kota wisata dan keindahan alamnya.

Mau contoh lain? Ada nih. 

Contoh 2

Tulisan asli:

Contoh Penerapan Teknik Bridging 2

So, keywordnya di sini adalah “rekomendasi hotel di tengah Kota Bandung” dan “Bandung merupakan pusat dua pemerintahan yang berbeda tingkat”. Dua hal yang enggak nyambung, meski sama-sama bahas Bandung. Terus, gimana nyambunginnya?

Setelah diulik, jadilah seperti ini:

Mengutip dari buku Desain, Bandung, dan Budaya Sunda karya Jamaludin (2022: 77), Bandung merupakan pusat dua pemerintahan yang berbeda tingkat, yaitu Kota Bandung dan Provinsi Jawa Barat. Tak heran kan, jika Kota Bandung menjadi kota yang sering dikunjungi masyarakat yang punya kepentingan. Karena itu pula, hotel di tengah Kota Bandung dibutuhkan sebagai tempat akomodasi.

Memang beralasan, karena dengan menginap di tengah Kota Bandung, kita akan lebih mudah bepergian ke mana saja. Transportasi umum banyak, memakai kendaraan pribadi juga lebih mudah. Apalagi kalau kita memang belum terlalu mengenal Kota Bandung.

Gimana? “Jembatan”-nya kelihatan kan? Mulus kan?

Contoh 3

Contoh 3 nih, biar semakin jelas.

Tulisan asli:

 

Contoh Penerapan Teknik Bridging 3

Nah, ini makin parah sih. “Pusat dua pemerintahan” terus tahu-tahu ngomongin glamping. Lha, apa hubungannya? Seakan pembaca diseret-seret ke sana kemari. Enak nggak dibacanya? Pastinya nggak enak kan?

Mari kita ulik. Dan ini hasilnya.

Kota Bandung merupakan kota terpadat setelah Jakarta dan Surabaya. Maka tak heran, siapa saja jadi berpeluang untuk jenuh dan pengin merasakan petualangan sesekali. Glamping di tengah hutan Bandung bisa jadi alternatif.

Memanglah Bandung kota sibuk. Dalam buku Desain, Bandung, dan Budaya Sunda karya Jamaludin (2022: 77) disebutkan bahwa Bandung merupakan pusat dua pemerintahan yang berbeda tingkat, yaitu pemerintah Kota Bandung dan Provinsi Jawa Barat. Karena itu, Bandung jadi padat, segala aktivitas kota dan provinsi terpusat di Kota Kembang ini.

Buat yang pengin refreshing sejenak, dan bosan hanya berada di dalam kota saja, yuk, melipir sejenak ke beberapa lokasi glamping di tengah hutan di Bandung weekend ini.

How does that sound? Smoother?

Tip Membuat Bridge yang Smooth

Enak banget kalau misalnya kita bisa menguasai teknik bridging ini. Teknik ini bahkan wajib dipahami oleh bloger yang sering menerima job sponsored post, atau bisa juga instagrammer yang juga sering ada endorsement dan kudu promosi dengan soft selling. Dengan teknik ini, soft selling akan bisa bener-bener smooth, enggak kerasa.

Buat penulis pemula, mungkin memang agak sedikit sulit sih. Saya dulu juga enggak langsung bisa smooth membuat bridge seperti ini, tapi seiring waktu—seiring jam terbang—dan sering latihan, pasti bisa kok.

Untuk membuat bridging yang smooth, coba beberapa trik berikut.

1. Temukan kesamaan dari 2 topik yang berbeda

Saya juga mengakui bahwa teknik bridging ini sedikit rumit. Nyambung-nyambungin dua hal yang berbeda, hingga jadi nyambung secara masuk akal tanpa dipaksakan itu memang tricky. Kadang, ada yang memang nggak bisa disambungin sama sekali. Kalau kayak gitu, ya terpaksa mencari hal lain yang bisa disambungin.

Prinsipnya, temukan dulu kesamaan dari 2 hal yang berbeda ini. Misalnya seperti Jogja dan Bali, yang sama dari keduanya adalah wisatanya. Karena akan ngomongin soal pantai, maka ya akan lebih cocok dihubungkan dari sisi “keindahan alam”. Baru dari situ, diulik supaya nyambung satu sama lain.

Soal Bandung, pemerintahan 2 daerah dan glamping. Berarti yang bisa menyambungkan adalah jenuh dan refreshing. Glamping sifatnya rekreasi. Sementara kota identiknya sibuk, berpeluang bikin jenuh—yang obatnya rekreasi. Nah, ketemu deh “persamaan”-nya.

Memang butuh waktu, dan bisa jadi butuh narasi yang cukup panjang. Tapi seiring waktu, semakin meningkat skill-nya, begitu melihat dua topik tertentu kamu bisa langsung kok nyambung. Soal narasi, itu juga bisa diatasi dengan efisiensi kalimat. Jadi, ya memang harus diedit beberapa kali hingga menemukan yang paling pas dan efisien.

2. Posisikan diri sebagai pembaca

Setiap kali selesai menulis, baca lagi tulisanmu dengan memosisikan dirimu sendiri sebagai pembaca. 

Cek:

  • Apakah ada typo?
  • Apakah flow-nya sudah mulus, alias dari topik satu ke topik lain sudah mengalir enak?
  • Apakah masih bisa diefisienkan lagi kalimatnya?
  • Apakah kira-kira kalau dibaca, pembaca akan mengerutkan dahi?

3. Sering latihan

Menulis memang soal olah rasa sih. Sebagai penulis, kita memang kudu peka, kalau ada kalimat yang “aneh”, kalimat yang kurang pas, dan sebagainya. 

Salah satu cara untuk melatih peka adalah sering-seringlah berlatih menulis. Semakin banyak menulis, semakin terasah “rasa” kita. 

Tak hanya itu, kamu juga bisa menajamkan rasa ini dengan banyak-banyak membaca. Saat membaca, tak sekadar menyerap informasi yang ada dalam bacaannya, tetapi juga amati bagaimana cara penulisannya, cara mengolah katanya. Coba temukan bagian-bagian yang ada bridgingnya.

Membacalah dengan sepenuh hati. Kalau perlu, carilah kesalahan penulisannya dan juga catat hal-hal baru yang bisa kamu dapatkan dari cara penulisan artikel atau apa pun yang kamu baca itu.

Nah, itu dia acara perkenalan kita dengan teknik bridging. Gimana? Tak serumit yang dikira kan? Ingat, semakin sering latihan, maka akan semakin piawai kita mengolah kata dan rasa.

Selamat nulis!


Share
Tweet
Pin
Share
8 comments
Freelance VS Kantoran: Karena untuk Jadi Sugarbaby Sudah Ketuaan

Sebenarnya tuh, yang saya butuhkan cuma satu: Percaya.

Tapi, ya kalau segala sesuatunya enggak pasti, gimana saya percaya kalau semua akan baik-baik saja. Ya toh? Make sense dong! Apalagi yang modelan overthinking overworrying overweight kayak saya. Maunya serba settled, serba mapan, serba nyaman, serba pasti ...

Lah emang ini dunia milik nenek lu, Mak?

Hahaha. Bingung ya, sama racauan saya?

Nggak perlu bingung. Itu ungkapan kegalauan saya gara-gara diputusin klien. Iya, cyint, diputusin mantan mah saya nggak apa-apa, asli! It's his loss. Tapi, diputusin klien, saya baper.

Pertanyaan yang muncul: Apa ya yang kurang? Apa ya yang keliru? Apa yang salah?

Saya tanya begitu ke klien, kliennya jawab, kita cuma mau ganti strategi kok, Kak.

Saya nggak percaya. Pasti ada apa-apanya.

Hahaha. Emang curigaan saya mah.

Ya, begitulah dilema freelancer ya. Kalau masih kantoran, saya jauh-jauh dari perasaan beginian. Adanya ya aman saja, gitu. Bulan depan toh ada gaji lagi. Selama perusahaan nggak bangkrut aja. (Lha, itu dia. Masalahnya saya 4 kali kerja di perusahaan, yang 3 saya resign terus bangkrut. Wakakak).

Tapi ya di perusahaan terakhir saya stuck. Merasa enggak berkembang, sekaligus merasa nggak dibutuhkan lagi juga. Ngapain saya bertahan? Saya lebih baik mundur, kalau memang kontribusinya kurang. Apalagi sudah enggak ada respek lagi.

Capek berpolitik di kantor (padahal ya kecil kantornya), mendingan saya freelancer aja. Nggak perlu berurusan sama coworker juga. Nasib saya sih, seringnya disayang sama atasan, tapi sering bermasalah sama coworkers. Hahaha. 

So, saya nggak mau punya coworkers lagi. Selama freelancing, ada sih partner kerja, beberapa kali saya meng-hire penulis buat bantuin proyek. Tapi bisa bener-bener profesional, no drama-drama club deh.

Jadi, kenapa pilih jadi freelancer, Mak?

Ya, memang ada plus minusnya sih.

Plusnya Jadi Freelancer

Tentukan sendiri gajimu

Saya sering dapat pertanyaan, berapa fee jasa ini, jasa itu. Ya, sebenarnya saya sih punya price list yang sifatnya official. Tapi, lebih sering saya menggunakan pricelist ini justru untuk "menolak" klien. Bukan gegayaan, tetapi kadang kita memang harus mengukur kemampuan kita. Saya punya beberapa teman yang bisa saya colek untuk bantuin, tetapi tidak semua pekerjaan bisa saya share. So, agar tetap fokus, saya memang harus menjadi selektif, demi bisa memberikan hasil terbaik.

Nah, untuk "menolak" klien karena saya rasa saya enggak akan bisa fokus mengerjakannya, saya sodorin pricelist saya. Biasanya sih terus pada ghosting :))

Tapi, kalau saya rasa saya bisa mengerjakannya dengan baik, biasanya saya ajak ngobrol saja. Sambil menggali informasi tentang si klien--mulai dari apa maunya, apa referensinya, goals-nya apa, dan sebagainya. Dari situ, biasanya saya kemudian bisa memberikan harga tersendiri.

Kalau kantoran, di awal kerja memang ditanyain mau gaji berapa sih. Tapi, pada akhirnya ya teteup, mengikuti standar kantor. Just take it or leave it soalnya.

Pilih sendiri "bos" kamu

Nah, itu dia. Sebenarnya freelancer modelan saya sih masih lebih suka klien-klien yang jangka panjang gitu ya. Meski fee-nya juga menyesuaikan. Nah, kalau modelan freelancer yang benar-benar free gitu, bener-bener based on projects, kadang kerja sama klien ya dalam satu empasan doang. Berikutnya sudah ganti klien lagi.

Yang kayak gitu tuh, nggak ngebosenin banget sih, dan kita punya peluang untuk berkembang yang luas banget. Bisa belajar dari banyak orang, bisa ada tantangan terus.

Kalau ngantor, mana mungkinlah kita bisa memilih mau kerja dengan siapa. Kalau coworkers atau atasan menyebalkan, ya kudu diterima-terimain. Tinggal bisa bertahan berapa lama?

Fleksibel waktu

Ya yang pasti memang enggak harus masuk jam 7 pagi, atau 8 pagi, dan selesai di jam 4 atau 5 sore, kek kantoran (meski banyak juga orang kantoran yang lembur. Saya sih enggak mau lembur kemarin-kemarin ini pas saya ngantor. Dibilang nggak loyal, ya bodo amat) Tapi, saya tetep lebih suka bekerja dengan frame waktu. Jadi, kalau misalnya ada klien yang WA saya jam 9 malem, ya maap ya. HPnya udah matik.

So, biar freelancer fleksibel, tapi tetap ada batasnya. Kalau enggak, bisa stres beneran dah. Tapi memang fleksibel, karena orientasinya ke hasil. Mau kapan pun kamu kerjakan, yang penting pas tenggat ya harus selesai. Mau kebut semalem, mau dicicil sedikit-sedikit, terserah kamu.

Minusnya Jadi Freelancer

Kemurahan atau kemahalan

Karena menentukan gaji sendiri, kemurahan atau kemahalan kadang ya biasa. Namanya nembak pake insting. Huahahahah. Kalau kemahalan, ya terus ghosting itu.

Kalau kemurahan, nah, nanti rada susah kalau jangka panjang sih biasanya. Ini inflasi udah naik tinggi, fee masih segitu terus :))

Gaji kantor sih biasanya naik seiring inflasi. Kalau misalnya enggak, berarti ada yang salah sama kantormu.

Hari ini atau besok bisa kehilangan klien

Ya, kayak cerita saya di atas. Hari Rabu dikabarin, kalau hari Jumat terakhir. Atau pernah juga saya ngalamin, tanggal 30 saya kirim invoice dan planning buat bulan berikutnya. Eh, tahunya itu adalah bulan terakhir :))

Kudu kuat jantungnya kalau jadi freelancer tuh, emang. Karena enggak ada yang pasti. Bulan lalu sibuk, full, sampai ngesot-ngesot ngerjain proyek, ternyata bulan ini zonk. Hal yang kerap terjadi di kehidupan freelancer.

Ya, kalau di kantor, enggak ada sih kejadian gini. Memang ada klien kantor sih, tapi bebannya semacam dibagi rata untuk semua orang. Nggak ditanggung sendirian. Seharusnya, ya.

Peluang kerjaan numpuk yang sangat besar

Enaknya kantoran itu sebenarnya karena punya atasan, partner, dan HR yang siap untuk memecutmu kalau kamu kendur semangat kerjanya. Kalau freelancer, enggak ada, cyint. Mau pecut, ya pecutlah sendiri.

Padahal mood ya sama saja, moody banget. Kadang seharian bingung, ngapain aja sih ini tadi? Kok nggak ada yang beres? Kalau kerja di kantor ya, enaknya ada partner yang bisa dibagi kerjaan. Kalau mau cuti juga ada yang backup. Freelancer gini, kalau mau cuti, kerjaan pasti numpuk di depan atau di belakang. Hadeh. Cuti 3 hari, lemburnya 6 hari.

Tapi ya, memang semuanya wang sinawang sih. Freelancing kayak gini tuh sebenarnya agak "membahayakan" buat jiwa labil kek saya. Pas freelancing, overthinking karena klien hilang. Pas kantoran, sebel karena ide-ide dan kreativitas kayak dikekang.

Tapi yah, kayaknya sih buat saya semua handle-able. Soal klien yang suka mutusin sepihak itu ya, termasuk risiko juga yang seharusnya bisa dimitigasi. Salah satu mitigasinya: saya seharusnya punya produk mandiri, tanpa ketergantungan pada ada atau enggaknya klien. Misalnya, bikin podcast sendiri, atau video tutorial yang dimonetasi, atau bikin kelas online, atau bikin ebook. So, enggak ada klien pun, saya tetap bisa jalan. Padahal sudah ada masterplan-nya, tinggal eksekusi. Kok ya selalu ada alasan ini itu yang bikin menunda eksekusinya.

Ckckck. Memang keterlaluan sekali. Tapi apa daya, mau jadi sugarbaby, saya sudah ketuaan.

Paling nggak bisa saya disuruh pasrah. Rezeki sudah ada yang mengatur, katanya. Iya, bener. Ini saya percaya. Harusnya saya lebih percaya sih, kalau memang sudah ada rencana tertentu. Tapi ya gimana ya, kadang ya pengin yang pasti-pasti aja, biar bisa dijalanin dengan nyaman.

Share
Tweet
Pin
Share
4 comments
Hello Again!

Halo!

Gimana kabar? It's been a while sejak terakhir saya mengupdate blog ini. Sudah pasti, blog ini kehilangan banyak pembaca loyal. Ya, gimana enggak? Setahun hiatus, bok! Tapi, kadang kita memang harus punya prioritas bukan?

Enggak, bukannya saya lantas mengabaikan keberadaan blog ini. Justru sesekali, saya juga login, hanya untuk mengecek atau mencari materi. Yah, di situlah saya sadar sendiri, bahwa saya ternyata sudah punya cukup banyak catatan di sini.

Jadi gini.

Saya kemarin baru saja mengerjakan satu artikel pesanan untuk Komunitas Emak Blogger. Di salah satu poinnya, saya menulis bahwa konsistensi tidak sama dengan frekuensi. Artinya, being consistent itu tidak melulu harus ngeblog setiap hari. Bahkan asalkan kita bisa ngeblog satu minggu sekali, atau satu bulan sekali, itu sudah bisa dinamakan konsisten ngeblog.

Sambil nulis itu, sebenernya saya tertampar sendiri.

Apa kabar blog akuhhh? Huhuhu. Satu tahun dianggurin, dicuekin. Ada sih rasa-rasa pengin balik ngeblog lagi. Tapi sungguh, dunia maya itu sekarang ramai betul. Mau ngeblog yang beneran, banyak betul aturannya.

FYI, sehari-hari saya sudah menulis untuk berbagai website dan ngeblog dengan berbagai aturan. Ya nama pun akan selalu ada goals dan KPI kalau buat klien, yekan? Lalu, kepikirannya, kalau nulis di blog sendiri juga kudu gitu dong ya?

Padahal ya, di blog sendiri, ya siapa yang ngatur? Ya kita sendiri atuh, yang punya blog ya kan?

Apalagi ya kayak blog ini, yang memang enggak menerima paid/sponsored post. Apalagi kemudian saya juga ingat, bahwa saya memulai ngeblog dengan niat untuk membuat catatan-catatan dari pembelajaran yang saya dapatkann sendiri. Kalaupun ada orang lain yang bisa ikut merasakan manfaatnya, ya itu kan bonus. Ya kan?

Mengapa justru tujuan saya ngeblog jadi berubah ya?

Saya kan enggak dituntut sama siapa-siapa kalau nulis di blog sendiri? Nggak kayak kalau saya nulis buat klien, sudah pasti ada goals tertentu yang harus saya capai. Di blog sendiri kan enggak?

Makanya, beberapa hari ini kemarin saya kepikiran melulu.
Dulu tujuan ngeblog saya kan enggak begini.
Dulu kan, saya nulis karena merasa dunia nyata yang saya jalani tuh "enggak cukup" untuk menampung pemikiran saya yang suka mbleber ke mana-mana.
Dulu saya nulis di sini buat catatan pribadi, apa-apa yang jadi kesalahan saya, apa-apa yang saya pelajari, karena saya pelupa akut.

Mengapa jadi berubah ya?

Entahlah.

And then, saya memutuskan untuk kembali ngeblog. Kembali ke "jalan yang benar".
Doakan saja, saya bisa menumpahkan semua ide dan pembelajaran saya lagi di sini. Meski saya juga tetap enggak berani mematok waktu, dan mungkin akan lebih banyak tulisan bersalut curhat, tapi sungguh, saya pengin update blog lagi ke depannya.

Biar saya nggak bebas menulis selama seminggu, tapi saya pengin ngelemesin free style writing lebih sering di mari.

So, semoga jadi lebih enteng ya, lebih ringan. Jangan anggap blog sebagai beban ya, Mak. Anggaplah sebagai tempat curhat, sekaligus untuk mencatat berbagai pembelajaran dan solusi dari masalah yang dihadapi.

Semoga orang lain yang punya sttuggling yang sama juga bisa memetik manfaatnya.

Share
Tweet
Pin
Share
12 comments
4 Tip Mengatur Keuangan Sebagai Seorang Freelancer

Ketika kamu akhirnya memutuskan untuk bekerja sebagai seorang freelancer maka sekaranglah saatnya untuk menentukan bagaimana mengatur keuangan kamu. 

Pastinya sih, hal ini bergantung berapa banyak klien yang bisa kamu tarik, dan berapa banyak pula tugas dan pekerjaan yang diberi. But, problema seorang freelancer memang di situ; gimana caranya bisa memastikan ada penghasilan yang masuk.

Saya sendiri sih memang lebih suka mendapatkan klien yang bisa rutin setiap bulan. Tapi, ya sadar juga. karena maunya kerja tanpa ikatan, so, kita juga harus siap ketika sewaktu-waktu klien minta setop.

Pusing sih, memang, kalau sudah mulai mikirin ini. Semacam nggak ada secure-secure-nya. But I have enough, saya sudah cukuplah ngerasain gimana kerja kantoran. Dan sepertinya, it's not my thing. Too many bullshits yang harus saya telan. Puluhan tahun kerja di beberapa kantor, disayang sama (mantan) bos-bos saya, tapi selalu saja malah yang suka bikin masalah itu kroco-kroco. Mau perusahaan gede, dengan ratusan karyawan, atau kecil yang cuma berkaryawan tetap 5 orang, sami mawon ternyata. Wqwqwq. Ya sudahlah. 

So, saya memang memutuskan, tak lagi mengikatkan diri pada siapa pun. Terus, ya, gimana caranya bisa survive sebagai full time freelancer.

Enough about me.

Jadi, gimana nih cara mengatur keuangan sebagai seorang freelancer?

Bagaimana Mengatur Keuangan Seorang Freelancer?

Jika kamu bingung bagaimana menentukan untuk menggaji diri sendiri sebagai seorang freelancer, berikut beberapa ide yang bisa digunakan dan didahulukan berdasarkan tingkat kebutuhannya.

Mulai dengan Menentukan Pengeluaran

Sebelum kamu mulai untuk memberikan gaji kepada diri sendiri, tentukan dulu berapa besar pengeluaran beserta rinciannya yang secara rutin bulanannya. Pasalnya, pemasukan boleh saja tidak teratur, tetapi kunci pengelolaan uang freelancer itu pada pengeluaran. Kamu bisa membuat pengeluaran yang pasti.

Kebanyakan freelancer, termasuk pemilik bisnis dan UMKM, itu memiliki biaya operasional yang peruntukannya hampir sama, dan hal ini sangat penting untuk menjaga usaha dan kegiatan freelancer agar dapat berjalan dengan lancar.

Penting kiranya untuk membayar diri sendiri layaknya pegawai namun kamu perlu menyadari bahwa kamu juga bertanggung jawab untuk setiap biaya dan kebutuhan bisnis yang ada.

So, kalau kamu sudah ada nominal pengeluaran yang tetap--yah, kurang sedikit atau lebih sedikit, sediakan allowance yang cukup ya--maka kamu bisa mendapat gambaran, berapa gajimu dalam sebulan.

Pisahkan Rekening

Akan sangat membantu, jika kamu punya rekening yang terpisah, untuk keperluan bisnis dan keperluan pribadi.

Dengan memisahkannya, kamu tidak akan sembarangan mengambil dana bisnis untuk kepentingan pribadi. Selanjutnya, kalau kamu dapat fee atau invoicemu cair, maka terimalah di rekening bisnis. Nah, setiap bulannya--mau tanggal berapa pun sesuai kebutuhanmu--transferlah sejumlah gaji ke rekening pribadi. 

Kamu dapat memilih metode pembayaran yang dapat digunakan untuk menjalankan bisnis sekaligus memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Alokasikan Uang

Setelah mengetahui berapa besar pengeluaran yang dibutuhkan, maka kamu dapat mengalokasikan penghasilan yang ada untuk menutupi cost tersebut. 

Pastikan juga kamu mengestimasikan pembayaran pajak juga ya, sesuai dengan aturan masing-masing negara. Indonesia sendiri mulai mengenakan pajak pendapatan jika memiliki penghasilan di atas Rp4.500.000 per bulannya. 

Jika tidak terkena pajak, maka langsung kurangi pengeluaran yang ada dengan penghasilan tersebut. Sedangkan sisanya menjadi gaji diri sendiri.

Kamu juga bisa menjadi freelancer layaknya pemilik usaha UMKM dan memilih pembayaran gaji layaknya pegawai biasa. Menjadi pemilik usaha ini menjadikan kamu sebagai pemilik sekaligus pegawai namun memiliki peluang untuk berkembang ke arah yang lebih baik.

Cari Pembayaran yang Sifatnya Dua Mingguan atau Bulanan

Kamu bisa juga memperoleh pendapatan yang layak serta sepadan dengan memilih pekerjaan yang rentang waktu pembayarannya setiap dua minggu atau per bulan. 

Melalui pilihan ini, kamu bisa mencari pekerjaan lain dengan penghasilan yang berbeda agar kamu dapat mencukupi berbagai keperluan lainnya. Tetapi, kamu dapat menentukan frekuensinya bergantung kepada fee dari klien. 

Sebagian freelancer, biasanya menyukai pembayaran yang sifatnya bulanan. Karena lantas bisa menentukan dan memperoleh invoice dari klien secara rutin tiap bulannya. Hal ini juga memudahkanmu untuk memeriksa dan melacak pembayaran tersebut.

Namanya freelancer, akan ada masanya ketika pendapatan yang kamu peroleh berfluktuasi. Artinya, kadang bisa sangat banyak, dan pada kesempatan lain, kurang. Oleh karena itu, menentukan gaji sendiri dapat dijadikan sebagai batasan minimum pendapatan yang harus kamu peroleh agar dapat memenuhi berbagai kebutuhan.

Dengan adanya pembatasan minimum pendapatan ini, kamu juga akan terbiasa bekerja dengan target. Kalau misalnya kurang, hayok, semangat lagi biar dapat lebih banyak! Hal ini akan memicumu untuk selalu semangat kerjanya.

Jika pada bulan tertentu kamu memperoleh lebih, maka anggap hal tersebut sebagai ekstra bonus. 

Jangan Lupakan Kebutuhan Lainnya

Setiap freelancer seharusnya membuat list atau daftar kebutuhan rutin. Lalu, pastikan hal ini dapat terpenuhi. Setiap kali kamu memperoleh “gaji sendiri”, maka sisihkan beberapa persen dari gaji tersebut untuk kepentingan kesehatan atau asuransi, uang pensiun atau dana hari tua, dana darurat, dan lainnya.

Dengan melakukannya, kamu dapat mempersiapkan kebutuhan masa depan dengan lebih baik dan tertata. Selain itu keuangan yang ada pun menjadi lebih tertata. 

Kamu dapat memakai berbagai aplikasi untuk mengatur dan mengalokasikan uang tersebut sehingga kamu bisa memenuhi berbagai kebutuhan baik yang sifatnya jangka pendek ataupun jangka panjang. Dengan melakukan cara ini, kamu juga dapat memiliki keuangan yang aman setiap bulannya.

Zaman sekarang apa-apa mudah, ya nggak? Investasi, bayar premi asuransi, dan tetek bengek, bisa kamu lakukan via smartphone. So, pastikan kamu atur aja sepraktis mungkin. Setiap harinya, kamu akan sibuk dengan berbagai kerjaan klien yang bisa beda-beda. Permudah hal-hal lain yang bisa lebih mudah.

Kesimpulan

Jadi, cara terbaik untuk mengatur keuangan sebagai freelancer dengan cara “membayar diri sendiri”.

Beberapa orang menggunakan gaji dan hal ini membantu mereka dalam memperoleh pendapatan yang lebih stabil. Namun, kamu bisa melakukan hal ini dengan cara lain di setiap 2 minggu ataupun setiap bulan bergantung kepada kapan klien akan mencairkan invoicenya.

Namun, pastikan kamu membuat standar minimum pendapatan yang harus diperoleh setiap bulannya dan catat setiap pengeluaran dan pemasukan yang ada agar berbagai kebutuhanmu dapat terpenuhi dengan baik. 

Terakhir gunakan penghasilan yang diperoleh untuk memenuhi berbagai kebutuhan lainnya seperti kesehatan, pendidikan, investasi dan lainnya.


Share
Tweet
Pin
Share
3 comments
Membuat Konten Visual yang Menarik untuk Mendukung SEO

Optimasi untuk search engine, atau SEO, juga dilakukan untuk media gambar lo, bukan hanya konten artikel saja.  Hal ini bisa kamu lakukan asalkan bisa merangkai atau membuat gambar berkualitas yang menarik perhatian para user lainnya.

Namun, sebelum melakukannya, ada baiknya, kamu tahu lebih dahulu mengenai apa saja jenis gambar atau konten visual yang dapat dipakai untuk ditambahkan dalam konten tulisanmu di blog. Selain itu, pastikan untuk selalu optimalisasikan gambar atau apa saja bentuk konten visualmu tersebut agar lebih mudah ditemukan, baik di media sosial maupun di mesin pencari.

Gambar yang baik dan menarik haruslah memiliki berbagai komponen pendukung, seperti headline yang menarik, visual yang ciamik sehingga pembaca akan memperhatikan gambar tersebut, eye catching, serta penempatan gambar yang proporsional.

5 Jenis Visual Konten yang Dipakai untuk Memperkaya Konten

Sebelum menambahkan image atau gambar yang menarik, kamu harus tahu apa saja jenis-jenis visual konten tersebut. Berikut beberapa tipe konten visual menarik yang bisa kamu gunakan.

1. Infografis

View this post on Instagram

A post shared by Penulis Konten (@penuliskonten.id)

Konten visual satu ini biasa digunakan di website yang dimiliki perusahaan, pribadi, pemerintah, dan lainnya. Pasalnya, infografis ini memberikan informasi yang dibutuhkan dengan cara yang ringkas dan menarik.

Namun, beberapa pihak menganggap bahwa memakai infografis sudah terlalu sering atau terlalu mainstream. Sedangkan beberapa pihak lainnya tidak menyukai konten visual tersebut.

Walaupun demikian, pemakaian infografis masih memiliki banyak efek positif. Pasalnya, saat ini masih banyak pembaca yang menyukai infografis daripada harus membaca artikel dengan teks yang panjang. Infografis biasanya memang disukai karena lebih mudah dimengerti, sehingga lebih sering dishare. Kamu akan memperoleh banyak link dari sini. 

Buatlah konten visual tersebut semenarik mungkin, memiliki informasi yang berguna, dan mudah dipahami. 

2. Foto ilustrasi

Jika blog kamu memiliki foto ilustrasi yang berkualitas tinggi, maka ini bisa jadi faktor sangat penting dalam membangun link building melalui gambar. Namun, pastikan untuk mengoptimasi gambar tersebut sesuai kaidah SEO ya, karena kaitannya nanti ke page load speed time jika tidak dioptimasi dengan baik. Foto yang terlalu besar akan memperlambat loading time blog, dan ini akan sangat berpengaruh bagi SEO.

View this post on Instagram

A post shared by Penulis Konten (@penuliskonten.id)

Kalau kamu enggak punya gambar sendiri, kamu bisa menggunakan berbagai image yang free royalti dari banyak website penyedia photo stock. Ingat, hanya gunakan royalti free image dari public domain ya! Jangan pernah asal ambil dari Google.

3. Foto Behind the scene

Konten visual lainnya yang bisa kamu manfaatkan adalah foto behind the scene. Mengapa? Karena biasanya foto-foto ini akan banyak bercerita, dan bisa memancingmu untuk bercerita lebih banyak.

Everybody loves stories, right?

4. Statistik Berbentuk Tabel, Grafik, dan Peta

Salah satu konten visual yang banyak digunakan adalah tabel atau grafik statistik. Selain itu, juga bisa memakai peta dengan informasi tertentu di dalamnya. 

Sebenarnya, hal ini biasa digunakan dalam bidang penelitian. Namun, kamu bisa memanfaatkan hal ini sehingga tema yang diangkat pada konten blog kamu terlihat lebih relevan, reliable, dan lebih berkualitas.

5. Gif dan Meme

Dua konten visual ini juga bisa kamu gunakan untuk konten sendiri. Biasanya sih, ada unsur humor di dalamnya, sehingga konten jenis ini banyak pun yang suka. 

Jika kamu belum memakainya untuk blog kamu, maka coba gunakan sekarang juga. Karena Gif dan Meme bisa dipakai dan didesain sesuai dengan isi tema dan konten yang kamu miliki.

Membuat meme sendiri itu gampang banget kok. Kamu bisa memakai meme generator untuk membuat meme tersebut. Sedangkan, gambar GIF itu juga banyak banget, biasanya juga dengan bebas bisa dipakai. Asal sesuaikan dengan kontenmu, pilih yang relevan, biasanya the magic can happen soon.


3 Cara Optimasi Konten Visual

1. Tambahkan caption

Menambahkan caption pada alt text gambar akan meningkatkan peluang untuk dibaca sampai 16%, demikian menurut PRSA. Selain itu, dengan memakai caption para pembaca paham gambar yang dipakai serta hubungannya dengan artikel yang ada.

2. Optimasikan nama file

Nama file yang pendek, relevan, dan mengandung kata kunci akan memudahkan untuk memperoleh SEO yang lebih baik.

3. Gunakan Alt Teks

Jika internet yang dimiliki tidak lancar, maka gambar yang ada tidak akan muncul dan digantikan dengan teks. Inilah yang disebut dengan alt text dan jika dipasang dengan kata kunci yang tepat maka dapat meningkatkan SEO websitemu.

Nah, demikianlah beberapa hal yang bisa kamu lakukan untuk optimasi terkait gambar atau konten visual di dalam blogmu. Jangan biarkan pembaca bosan dengan hanya menyajikan tulisan, tetapi perkayalah dengan konten visual, apa pun jenisnya.

Semoga bermanfaat ya.


Share
Tweet
Pin
Share
10 comments
Ini Dia 10 Font Paling Populer di Kalangan Desainer Grafis

Karakter sebuah artwork desain grafis--terutama yang berupa komunikasi visual--tak akan lepas dari font. Karena, meski picture talks, tapi informasi utama biasanya tersampaikan melalui tulisan.
Font sendiri bisa banget menentukan karakter sebuah desain grafis. Jadi, selain berfungsi untuk menyampaikan pesan, font juga bisa menjadi elemen desain tersendiri.

Di dunia ini ada buanyak sekali font. Mungkin jutaan ya. Tapi, dari semua font tersebut, ternyata hanya 10 saja yang paling banyak digunakan, terutama oleh para desainer grafis.

Kenapa 10 font ini? Karena bentuknya sederhana, sehingga kalau dipakai dalam penyusunan kalimat dan kata dalam sebuah artwork desain grafis, biasanya juga mudah terbaca meski dari kejauhan sekalipun.

Font apa saja sih yang paling populer ini? Ini dia.

10 font paling populer dan paling banyak digunakan oleh para desainer grafis, dan sedikit sejarah mengenainya

1. Helvetica (Max Miedinger, 1957)






Ya, Helvetica barangkali adalah font paling populer dan paling banyak dipergunakan di seluruh dunia. Helvetica ini simpel dan desainnya modern, tapi sekaligus everlasting.

2. Baskerville (John Baskerville, 1757)










John Baskerville mendesain typeface ini karena dia kurang puas dengan font Caslon yang saat itu sedang ngehits. Baskerville dikatakan sebagai font gaya transisi, antara Caslon yang klasik dengan Bodoni yang modern.

Dalam perkembangannya, font Baskerville didesain ulang supaya tampak lebih elegan hingga melahirkan font New Baskerville.

3. Times (Stanley Morison, 1931)




Manajer harian The Times, William Lints-Smith, mendapatkan kritik dari Stanley Morison untuk typeface atau font yang mereka gunakan dalam surat kabar mereka yang beredar di London. Lints-Smith lantas merekrut Morison agar membuatkan mereka font yang sesuai dengan image The Times.

Morison akhirnya mendesain satu bentuk font baru, yang dinamainya Times New Roman, yang menggantikan font lama, Times Old Roman. Kini Times New Roman merupakan salah satu font yang pualing banyak digunakan.

4. Akzidenz Grotesk (Brethold Type Foundry, 1896)


























Font ini mendapatkan pengaruh dari beberapa font yang lebih terkenal sebelumnya, seperti Frutiger dan Helvetica.

Font ini disukai karena punya variasi ketebalan yang sangat luas, terutama setelah dikembangkan lagi oleh Gunter Gerhard Lange di tahun 1950-an.

5. Gotham (Hoefler and Frere- Jones, 2000)


























Dirilis di tahun 2000, Gotham merupakan pengembangan dari font lama, Gothic, hingga kemudian font ini berkembang dan disukai oleh para desainer grafis karena gaya modern dan simplicity-nya.

Font ini juga menjadi font "resmi" untuk berbagai poster dan komunikasi visual selama kampanye Presiden Obama tahun 2008 lo.

6. Bodoni (Giambattista Bodoni, 1790)




Bodoni mendesain font ini di abad ke-18 di kastel milik Duke Ferdinand of Bourbon-Parma, yang sangat mengagumi hasil karya tangan Bodoni sehingga mengizinkannya untuk membuat kantor percetakan sendiri di dalam kastelnya.

Tahun 1920-an, Morris Fuller Benton mendesain ulang font ini, sehingga style-nya menjadi lebih indah dan elegan lagi. Font ini digunakan dalam berbagai poster film Goodfellas, yang dibintangi oleh Robert De Niro, Ray Liotta dan Joe Pesci.

7. Didot (Firmin Didot, 1784-1811)




Didot merupakan font alternatif Bodoni yang sama populernya, yang dirilis juga kurang lebih dalam waktu yang sama.

Font ini pada dasarnya merupakan versi lebih langsing dari Bodoni sih, sekaligus mengambil sedikit inspirasi juga dari Baskerville.

8. Futura (Paul Renner, 1927)




Didesain tahun 1920-an, Futura menjadi semacam patokan (benchmarking) untuk para desainer penggemar font geometric sans.

Sampai sekarang, font ini hampir selalu digunakan dalam setiap karya komunikasi visual. Volkswagen saja nggak pernah ganti, selalu menggunakan font ini dalam logonya.

9. Gill Sans (Eric Gill, 1928)




Disebut juga sebagai English Font, Gill Sans didesain oleh Eric Gill, yang banyak bekerja dengan Edward Johnston--yang menciptakan font Johnston untuk dipakai oleh media London Underground secara eksklusif.

Gill Sans disukai oleh para desainer grafis karena variasi dan ketebalannya yang beragam.

10. Frutiger (Adrian Frutiger, 1977)




Font ini didesain oleh Adrian Frutiger untuk desain signage bandara baru Paris tahun 1977. Tadinya sih Frutiger sudah mendesain font yang dinamainya Univers, namun katanya font-nya terlalu kaku dan geometris. Kurang luwes gitu deh.

Maka kemudian, font ini pun muncul.


Nah, kamu sendiri suka pakai font yang mana sih? Dan, kenapa suka pakai font tersebut?
Share di kolom komen ya!
Share
Tweet
Pin
Share
6 comments
Older Posts

About me





Content & Marketing Strategist. Copy & Ghost Writer. Editor. Illustrator. Visual Communicator. Graphic Designer. | Email for business: mommycarra@yahoo.com

Portofolio

  • Buku Terbit
  • Portfolio Konten
  • Portfolio Grafis

Follow Me

  • facebook
  • twitter
  • instagram

recent posts

Blog Archive

Created with by ThemeXpose