Menulis Storytelling Agar Menarik dan Tidak Membosankan

by - Mei 19, 2018




Artikel storytelling itu nggak akan pernah ada matinya.

Mungkin memang nggak selalu berpotensial viral atau booming (kecuali topiknya memang “sensitif”), tapi artikel tipe storytelling begini biasanya lebih long lasting dan evergreen. Hanya saja, berbeda dengan listicle yang lebih praktis dan enak dibaca, kalau membaca storytelling itu lebih riskan membosankan.

Kenapa?
Karena strukturnya yang monoton.

Storytelling ini mau menarik atau enggak, memang tergantung banget dengan keterampilan kita dalam menyuguhkan cerita dan pesan. Dan, saya akui, ini nggak semua orang bisa melakukannya.

Nah, supaya artikel storytelling kita lebih menarik untuk dibaca dan juga enggak membosankan, ada beberapa hal yang memang harus diperhatikan. So far, problema yang sering saya temui dalam tulisan-tulisan yang bermodel storytelling adalah kronologis cerita. Nggak urut, gitu. Dari A ke K lalu balik lagi ke B, terus ke M. Tahu-tahu Z, dan habis.

Kalau di tulisan fiksi--cerpen, misalnya--memang ada yang disebut alur maju, alur flashback, dan alur campuran. Alur campuran ini ya campuran antara alur maju dan alur flashback. Nah, butuh keterampilan untuk meramunya agar nggak membingungkan pembaca, memang.

Dalam artikel nonfiksi pun, alur itu penting. Jangan sampai kacau, karena bisa bikin pembaca pusing. Mesti runtut, meski secara kronologis maju mundur.

Ada baiknya kita kenali dulu beberapa bagian dalam tulisan itu nantinya, agar kita nggak kebolak-balik dalam penceritaannya. Karena alur cerita yang meloncat-loncat akan cenderung membuat pembaca bingung dan akhirnya nggak betah baca.


Bagian-bagian dalam sebuah artikel storytelling


Storytelling. Image via eLearning Industry.

1. Perkenalan

Ceritakan mengenai awal kejadian, atau kenapa pengin menceritakan topik yang akan ditulis.

Perkenalan ini akan membantu pembaca untuk ikut mengenali penyebab awal dari cerita yang akan ditulis kemudian. Supaya nggak ujug-ujug aja gitu.

Ya, kalau saya sih biasanya nulis dulu kenapa saya ingin membahas satu topik tersebut, apakah ada pemicunya? Atau ada hal yang bikin saya kepikiran?


2. Konflik

Tanpa konflik, cerita kita tak akan menjadi cerita yang seru.

Biasanya konflik berupa:
  • Man against man (kita melawan kita, artinya masalah antara manusia)
  • Man against society/institution (hal-hal umum yang berlaku di masyarakat membuat kita kesulitan)
  • Man against nature (hal-hal alamiah yang membuat kita kesulitan)
  • Man against machine (kesulitan yang ditimbulkan oleh alat)
  • Man against self (melawan diri kita sendiri)

Konflik itu bukan melulu ada argumen bersilangan, atau kekerasan apa gitu lo. 

Konflik di sini lebih pada pengungkapan masalah yang sebenarnya. Konflik ini adalah “kesulitan” yang harus kita hadapi dalam situasi tertentu yang ingin diceritakan.

Conflict, in stories, is the engine that keeps them going forward. 

Konflik adalah masalah yang membuat tulisan tersebut ada. Ya, kalau di cerita fiksi, konflik akan bikin ceritanya jadi seru. Kalau enggak ada konflik, ya enggak akan ada cerita.

Jadi, meski jika “hanya” bercerita mengenai perjalanan jalan-jalan di car free day, pastikan ada konflik yang terselip. Misalnya, sudah kehausan tapi nggak juga nemu penjual minuman. Atau sudah mau berangkat, eh si kecil malah sakit perut. Dan sebagainya.


3. Closing

Kalau dalam artikel storytelling tersebut ada konflik, maka tentunya kemudian diikuti dengan solusi.

Mengapa harus ada solusi? Agar pembaca bisa mengambil manfaatnya, bisa mengambil hikmahnya. Karena, sudah pasti kita harus menomorsatukan pembaca kan ya?

Setiap kali menulis sesuatu, pastinya kita harus selalu memberikan nilai tambah pada pembaca di setiap selesai membaca artikel kita. Jangan biarkan pembaca blog kita kentang, sudah dikasih cerita dikasih konflik eh ... tanpa solusi dan tanpa kesimpulan.

Kasihan digantungin. Pacar aja digantungin, merasa nelangsa lo. #eh

Ya, sebenarnya closing ini nggak mesti berbentuk solusi sih. Kalaupun misalnya, enggak ada atau enggak bisa kasih solusi, kita bisa kok membuat bentuk engagement lain. Dengan pertanyaan, misalnya.



Setelah mengenali bagian-bagian di atas, baru kita kembangkan sedemikian rupa hingga menghasilkan artikel yang utuh.

Jadi bagian perkenalan, konflik, solusi, dan kesimpulan tersebut memang merupakan outline cerita supaya lebih urut secara kronologis, sehingga cerita lebih mengalir dan enak dibaca.



Beberapa hal lain yang harus diperhatikan saat menulis storytelling articles adalah sebagai berikut:


Storytelling. Image via Freehauler Alcione

1. Simplicity is the best

Berceritalah dengan simple. Kita kan nggak akan bercerita mengenai dunia fantasi macam Hogwarts kan? Atau tentang The Middle Earth? Semua kan merupakan self experience, meski ditambah dengan referensi sana sini kan?

Maka berceritalah secara sederhana, dengan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami. Meski pengalaman sehari-hari, pasti akan seru dibaca kalau kita bisa bercerita dengan simpel dan benar.


2. No clichés and be unique!

Perbanyak membaca! Supaya punya perbendaharaan kata yang lebih kaya, juga perhatikan idiom-idiom yang kekinian.

Semua itu adalah bumbu, yang akan membuat cerita menjadi lebih hidup dan menarik. Hindari ungkapan-ungkapan klise yang sudah so yesterday. Misalnya kayak apa ya?
"Tak semudah membalik telapak tangan." Atau, "jodoh di tangan Tuhan."

Temukan ungkapan lain yang belum pernah dikatakan atau ditulis oleh orang lain.

Yang paling penting sih mendingan menulislah sesuai dengan kepribadian kita sendiri. Biasanya sih karakter kita sendiri bisa banget membuat suatu tulisan menjadi unik.

Be creative!


3. Pertahankan kronologis cerita

Jika kita bercerita tidak dalam kronologis yang urut, pembaca akan lebih mudah lelah. Mereka serasa diajak melompat-lompat, belum lagi juga ada risiko #gagalpaham yang bisa saja membuat pesan yang kita sampaikan tidak terbaca dengan baik.

Jadi, kalaupun mau mengajak pembaca untuk melompat ke adegan lain atau timeline yang lain, berikan "bridge" atau jembatan yang menghubungkan lompatannya.

Hal ini akan membuat tulisan kita jadi lebih mengalir.


4. Pisahkan dalam beberapa bagian


Agar tulisan storytelling kamu tidak membosankan dibaca sampai akhir, ada bagusnya juga kamu pisahkan per bagian dalam subheading-subheading.

Subheading ini akan membantu kamu menstrukturkan cerita sehingga orang-orang tipe fast reading lebih mudah scanning artikel kamu. Karena behaviornya memang begitulah para pembaca Indonesia inih. Scanning dulu, baru kemudian kalau mereka tertarik lebih, mereka akan kembali ke awal dan membaca dengan lebih saksama.


5. Garnish!

Garnishing ini penting ya, demi menjaga kelelahan pada mata.

Kalau artikel kamu adalah artikel perjalanan ya semestinya sih pasti banyak foto-foto yang bisa ditampilkan. Tapi juga jangan dijejerin doang sih fotonya tanpa ada story-nya.

Tentunya akan lebih baik kalau kamu mengolah foto dan cerita secara sistematis dan yah ... yang bercerita gitu. Kalau foto hanya dijejerin doang, tanpa ada cerita, ya ... pembaca bisa saja lost.

Jadi, mau foto atau video atau infografis atau jenis konten visual lain memang penting untuk selalu ada, dan usahakan bisa menyatu dengan cerita kamu.



Hmmmm. Memang susah ya, menjelaskan sesuatu tuh. Hahaha. Terus terang, tip menulis storytelling saya ini--saya sadar--juga kok masih kurang.

Ya, intinya sih banyak-banyak saja membaca dan melihat referensi menulis storytelling.

Buat saya, the best storyteller masih dipegang oleh Cerita Eka. Udah deh, Eka the best kalau cerita mah. Jempolan.
Silakan berkunjung ke blog Eka kalau mau lihat-lihat tulisannya. Ubek-ubek aja semuanya. Ntar kan ketahuan, gimana cara dia meramu cerita hingga kita rasanya diajak Eka jalan-jalan.

Well, akhir kata, selamat nulis! Semoga artikelnya bermanfaat.


You May Also Like

21 comments

  1. Hmmmm, penjabaran yang jelas sekali. Jadi aware supaya lebiy sensitif sama perasaan pembaca waktu baca artikel yg kita tulis. Langsung melipir ke blog Eka. Penasaran hehhe

    BalasHapus
  2. Wuah sudah lama nih nggak mampir ke blog nya Eka. Iya, aku suka dengan cerita-ceritanya, apalagi didukung dengan foto-fotonya yang bagus.

    BalasHapus
  3. Terima kasih referensinya, saya akan belajar lebih dari blog Cerita Eka. fotonya bagus-bagus juga ternyata.

    BalasHapus
  4. Wah langsung meluncur ke blognya Eka nih.. Biar bisa belajar nulis storytelling yang baik :)

    BalasHapus
  5. Dan blog post gw sekarang adalah sarat foto fakir kata-kata :))

    BalasHapus
  6. Tulisan yang saya cari.. terima kasih... sangat membantu..

    BalasHapus
  7. Thanks mba, penjelasan mba mudah buat dipahami kok :-)

    Habis ini saya langsung meluncur ke blognya mba Eka, nyari tau resepnya buat saya praktekin di blog saya.. hahaha

    Salam kenal

    BalasHapus
  8. Terimakasih dan terus berkarya!

    BalasHapus
  9. sangat membantu dan inspiratif

    BalasHapus
  10. saya pemula ingin mulai sebagai penulis storytelling. Apakah kakak punya akun Medium biar saya follow?. Mencari inspirasi kak.

    BalasHapus
  11. Tulisannya sangat menarik dan mencerahkan, trimkasih

    BalasHapus
  12. Gimana ya tipsnya mengobati masalah menulis saya ini: Ketika belum menulis rasanya banyak sekali yang ingin dan perlu ditulis namun setelah mulai menulis kok sering blank ya? dan susah sekali menemukan pilihan kata untuk menghubungkan topik yang agak melenceng. Mohon dijawab ya.. Thanks sebelumnya.

    BalasHapus
  13. Blok nya eka apa namanya kak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. O ia, sekalian nanya... hehehe... blognya eka alamatnya di mana?

      Hapus
  14. Halo... aku nemu blog ini dari rekomendasi Copilot Microsoft. Keren ... anw, aku emamg mencari cara bagaimana sih menulis dng gaya story telling? Ketemu deh... aku merasa terbantu dan jadi tahu beberapa hal baru. Tq ya.

    BalasHapus