TwitWor: Cara dan Jalan untuk Cari Panggung dan Femes Secara Cepat (?)

by - Juli 21, 2018



Beberapa waktu yang lalu, saya melihat tweet ini oleh Papin, junjunganku.



Dan kemudian saya tanggapi begini.




Bagaimana menurutmu, wahai kamu yang sedang membaca artikel ini?

Tentunya, kalau kamu suka main ke Twitter, kamu barangkali lumayan akrab dengan "pencarian panggung" model begini.

Yes, twitwor.

Jadi, siapa yang follow InfoTwitwor & Drama?
Buat apa hayo, follow akun tersebut?

Iya, saya ngaku. Saya juga follow.
Buat apa?
Buat liat dramak lah! Buat apa lagi?

Sekarang apa-apa memang bisa dilakukan di Twitter. Twitter--menurut saya--adalah media sosial yang paling bisa membuat saya berekspresi secara bebas.

Kenapa saya lebih suka di Twitter ketimbang media sosial lain?

  • Pergerakan linimasa yang cepat membuat saya bisa lebih banyak mendapatkan update dari akun-akun yang saya ikuti. Juga oke buat saya meracau, karena dengan cepat racauan saya juga berlalu dari linimasa. Hehehe.
  • Saya nggak perlu memikirkan "keindahan" visual di Twitter. Asal tercetus pikiran, saya bisa langsung ekspresikan. Beda sama Instagram, yang lebih ribet menurut saya.
  • Mau sharing info apa pun juga lebih enak. Saya bisa bikin thread viral lebih banyak di Twitter sih. Hehehe, apalagi dengan fitur threadnya sekarang.
  • Jokes recehan para sobat misqueen di Twitter juga lebih bisa bikin saya ketawa ngekek-ngekek, ketimbang Instagram ataupun Facebook.
  • Apa-apa yang ngehits di Instagram dan media sosial lain pasti kebawa ke Twitter. Tapi yang trending di Twitter belum tentu ada di media sosial lain. Wkwkwkw.
  • Dan masih banyak alasan lain yang bikin saya memang lebih betah berada di Twitter.
Namun di balik semua hal yang bikin saya lebih suka menghabiskan waktu di Twitter, ada juga yang nyebelin darinya. Salah satunya adalah dramak, yang kemudian berkembang menjadi perang.

Satu sisi drama perang Twitter ini memang menghibur, tapi kalau kebanyakan ya exhausting juga. Apalagi kalau orangnya toxic, nyebelin, merasa paling bener. Kalau saya pribadi sih--terus terang--begah sama para sjw alias social justice warrior, yang merasa dirinya paling bener.

Okelah mereka membela so-called prinsip, tapi nggak perlulah sampai mencela orang lain yang nggak sepaham sama mereka.


Twitter Bukan Tempat Memaki


Melihat banyaknya pengguna Twitter yang malah menggunakan akunnya untuk mencela, nyari panggung dan akhirnya perang, maka nggak heran kalau kita menganggap Twitter bukan cuma media untuk berbagi informasi dan menyampaikan pesan. Tapi, juga untuk menyampaikan ketidaksukaan kita pada suatu hal, lebih khusus lagi pada seseorang atau tipe orang tertentu.

Memang, seperti halnya media sosial yang lain, Twitter memang bisa menjadi sumber berbagai informasi, dan kemudian berkembang sesuai dengan kebutuhan kita sebagai penggunanya.
Bahkan yang ada sekarang, Twitter juga menjadi tempat untuk membangun so-called brand awareness. Melalui Twitter, suatu brand bisa berkomunikasi dengan user-nya dan calon konsumen, sehingga membentuk persepsi terhadap brand tersebut.

Makanya, Twitter berkembang fungsinya, jadi tempat komplen, tempat nanya, tempat nyari informasi, tempat menyapa teman-teman, tempat curhat, tempat berbagi artikel, sampai tempat sampah.

Apalagi hampir nggak ada aturan tertulis di Twitter. Benar-benar zona bebas sebebas-bebasnya.

Tapi kan, nggak berarti kita lantas bisa seenaknya mencela dan memaki orang lain di situ?

Saya pikir, tetap ada aturan kan seharusnya? Jika dalam kehidupan nyata kita bisa "terikat" oleh etika sopan santun dan norma, mengapa hal ini tak bisa kita bawa juga ke ranah dunia maya?

Jika kita tak mungkin menghina orang lain dengan kata kasar secara langsung, mengapa kita jadi bebas melakukannya di Twitter (dan juga media sosial lain)?

Mengapa justru karena kita tidak bisa mengatakannya langsung pada orangnya, tapi dengan enak banget berkata kasar di Twitter dengan nomention?





Kita lupa. Kita memang bebas ngetweet apa pun, tapi sebebas itu pula orang lain menilai kita, menghakimi kita. Jangan bilang, don't judge me because you don't know me. I only show you what I want you to see.
Karena sesungguhnya, kita sendirilah yang mengontrol tweet kita.
Kalau nggak mau orang salah ngejudge, ya jangan tunjukkan apa yang bisa mereka judge.

Sekali lagi, ingat. Kita sendiri yang mengontrol apa yang kita bagikan di media sosial.

Twitter untuk Para Pengecut (?)


Fakta bahwa di Twitter kita bisa nggak langsung berhadapan dengan orang yang dituju, jadinya kita cenderung lebih berani menyampaikan apa yang ada di pikiran kita. Seburuk apa pun itu.

Tanpa berpikir panjang, kita melancarkan protes pendapat orang lain, cara berpikirnya, cara pandangnya, bahkan cara hidupnya. Lalu dilanjutkan pula dengan mengumbar keburukan karakternya.


Warbiyasak memang ya *slow clap*

Saat di Twitter, kita merasa tanpa nama dan invisible, karena kita "tersembunyi" di balik nama akun dan bio yang bisa saja bukan yang sebenarnya. Kita juga nggak perlu memperlihatkan dan melihat ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan nada suara.

Hal inilah yang membuat kita menjadi lebih ekspresif saat ngetweet.

Hal lain yang membuat seseorang lebih berani di Twitter adalah karena yang bersangkutan kurang pede. Yaeyalah, kalau face to face kan jiper, neyk!

Dengan "bersembunyi" di balik akun Twitter, kita tak perlu mengkhawatirkan reaksi orang. Bodo amat, kan kita nggak harus menatap mata orang yang kita sakiti? Nggak perlu juga lihat betapa dia terpojokkan oleh kata-kata kita?

Dengan demikian, no mercy kan? Hajar bleh!



Twitwor untuk Panggung


Percaya atau tidak, hal ini juga diakui sendiri oleh beberapa orang yang memang suka menempuh jalan ini demi mendapatkan lampu sorot, alias perhatian. Hasil dari perhatian yang didapat adalah jumlah follower yang naik, yang terutama. Hasil lainnya pasti ada lagi juga.

Coba lihat beberapa orang yang kayaknya seneng banget kalau menemukan kesalahan atau keburukan orang lain.

Misalnya kemarin ini deh. Ada yang salah kasih thread penjelasan mengenai kesalahan penggunaan sticker "Ask Me a Question" di InstaStories, dan ternyata deseu yang salah mengerti.
Terus, aduh, itu ya yang ngetawain kesalahannya, kayaknya puas bener ya?

Padahal lho ya, menurut saya nih, yang bersangkutan ini nggak salah total. Kita itu bisa kok menggunakan fitur tersebut untuk menanyai follower, ataupun untuk memberi pertanyaan pada kita. Either way, sama-sama untuk menjalin interaksi kan?
Salahnya di mana?

Meski sudah dijelaskan oleh Instagram mengenai penggunaannya, tapi nggak salah kan?

Duh, seneng banget liat orang salah ya? Ckckck.
Yah, siapa tahu bisa masuk Twitwor. Kan lebih terkenal kan ya?

Bahkan sekarang ini ya, kalau bisa masuk ke akun @infotwitwor itu seakan jadi prestasi.

Ya, kalau memang permasalahannya adalah permasalahan umum ya okelah, saya masih agak maklum dan paham. Lha tapi ada juga yang membeberkan masalah pribadi, lalu akhirnya yang bersangkutan dibully akibat masalah pribadi yang dibeberkannya sendiri. Terus, apakah orang-orang kayak saya gini harus merasa kasihan?

Nggak bisa.
Saya nggak bisa kasihan pada korban bully seperti ini.




Yang ada, orang-orang yang nonton--seperti saya ini--malah makin bersorak senang. Tepuk tangan. Ketawa. Kalau bisa, ghibahin lagi di tempat lain.

Salah siapa?

Apakah yang bersangkutan itu buta media sosial? Paham nggak sih kalau Twitter itu bukan ranah pribadi?

Mengapa hal-hal setabu itu dibeberkan dengan bangga, atas nama inspirasi?
Inspirasi my a*s! =))

Kalau sudah mulai dibully, atau dapat teror, lantas play victim.


Doh, mamam tuh aib sendiri.


Ya maaf. Kalau seperti ini, memangnya saya harus kasihan? Harus simpati?
Bukankah Twitter itu Twitter-Twitter kita sendiri? Kalau ditegur, bukannya ngomong, "Eh ini akun akun eug sendiri. Napa lo repot?'

Abis kena bully, baru deh. Paling terus digembok.

Hello?
Mendingan sebelum bikin thread membuka aib sendiri, ya dipikirin dulu deh.


Think Before You Tweet

Meski tanpa etika tertulis, bukan berarti Twitter bebas hukum. Sudah banyak kasus yang akhirnya berlanjut ke pengadilan hanya karena tweet.

Tak hanya itu, sudah banyak sekali pula kasus seorang karyawan mendapatkan masalah karena tweet. Nggak cuma karyawan, saya sendiri kalau lagi mencari bloger buku atau bookstagrammer pun ngecek ke media sosialnya dulu kok, sebelum memilih.

Buat apa? Ya, supaya saya nggak memilih orang yang salah.
Saya nggak akan memilih orang yang suka ngebully orang lain, atau suka berkata-kata kasar di akun media sosialnya.
Kenapa? Ya, karena saya sedang "menyerahkan" citra buku yang sedang saya promosikan, jadi saya harus memastikan citranya akan tetap baik terus.

Itu cuma buku lo.
Bayangkan yang lain.

Kalau kamu melamar ke sebuah perusahaan, HRD zaman sekarang juga akan jalan-jalan dulu ke media sosialmu.
Kalau kamu pengin mengejar endorsement, sang ahensi juga akan jalan-jalan dulu.
Mereka akan scroll timeline kamu sampai jauh.

Percayalah.

Ngetweet hal buruk tentang orang lain bisa dituntut. Kalau ngomong langsung, kadang masih susah dibuktikan. Tapi kalau sudah berupa tweet, hal itu bisa jadi bukti tertulis. Dan sah untuk dibawa ke proses lanjutan. Orang yang merasa dirugikan bisa melaporkannya ke pihak berwajib.


The bottom line is ...

Begitu bebas dan demokratisnya media sosial, sehingga bikin kita egois karena merasa bebas berpendapat. Bahkan cuek meng-upload tulisan dan foto yang berisi keburukan orang lain. Padahal kita punya followers--yang notabene juga tak kita kenal dengan baik. Siapa yang tahu mereka sesungguhnya seperti apa?

Apalagi netyjen zaman sekarang yang selalu mahabenar dan gampang terpengaruh.

Orang yang benar-benar memiliki 'kehidupan' yang sehat nggak akan mau terjebak untuk ngetweet negatif. Ingat, apa yang kita keluarkan di media sosial mana pun adalah tanggung jawab kita pribadi.

Jadi, segala sesuatu yang terjadi kemudian tetap menjadi tanggung jawab kita sendiri.

Yuk, bijak bermedia sosial.

You May Also Like

3 comments

  1. Yah, komen belom pada muncul. Padahalan mau cari hiburan dari komen-komen yang masup sini. Lol!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ck. Apalah tulisanku ini, Mas.
      Ga sepenting tulisan lain.
      Wkwkwkw.

      Hapus
  2. Baru tahu kemarin kalau bagi beberapa netizen masuk infotwitwor itu termasuk prestasi. Mungkin rasanya kayak masuk TV di jaman dulu kali ya.

    BalasHapus