Belajar Gratis Susah, Belajar Tidak Gratis Disia-siakan - Begitukah Mindset Umum yang Ada?

by - Desember 08, 2018



Disclaimer: Postingan kali ini adalah postingan curcol, panjang, dan kebanyakan kata 'saya'. Please skip, kalau tidak tertarik.


Kemarin di sebuah kelas online, saya agak sedikit kesel. Yah, saya tahu sih, seharusnya saya nggak boleh merasa kek gitu. Apalah saya?

Harusnya ya saat semua peserta sudah melaksanakan kewajibannya--which is membayar uang pendaftaran--maka dalam bentuk dan kondisi apa pun, mereka harus mendapatkan haknya, yaitu materi yang sudah saya siapkan. Memberikan materi seutuhnya dan memfasilitasi mereka belajar adalah kewajiban saya.

Betul enggak sampai di sini?

Sedangkan, apa hak saya? Menerima kompensasi. Tapi, ini urusan saya dengan pihak inisiator. Biarlah tetap menjadi urusan saya, nggak akan saya bahas di sini.

Tapi bukan itu permasalahannya.

Sejak awal, saya sudah semacam "diperingatkan" oleh partner moderator saya yang baik hati itu--yang bisa banget ngademin suasana--bahwa kemungkinan nanti yang aktif ya 4L--loe lagi loe lagi. Saya bilang, baik, saya siap. Berapa pun yang mau serius dengan kelas, saya akan tetap profesional memberikan materi.

Tapi kenyataannya ....



Belajar itu memang hal yang berat ya, cyint.
Saya ngerasain sendiri dulu pas sekolah. Meski 'katanya' saya anak pinter, tapi saya ini bukan tipe anak yang pinter dari lahir. Saya mendapatkan nilai-nilai yang bagus (tapi nggak pernah menjadi yang terbaik)--saya pikir--adalah karena usaha kerja keras belajar setiap malem. Saya banyak bikin rangkuman, saya bikin mindmap (waktu itu sih saya nggak kenal istilah mindmap, tapi saya sudah bikin demi bisa mengingat dan melogika pelajaran yang saya terima), dan saya rajin ngerjain PR.

Pokoknya kalau nilai ulangan, rapor, dan IP saya bagus, itu karena saya kerja keras. Kalau orang lain sih bilangnya saya rajin. Rajin banget. Itu katanya. Kalau saya, saya kerja keras. Saya rasa, rajin dan kerja keras itu beda banget deh. Entahlah. Yang pasti, saya tahu, kalau saya nggak pernah mau punya nilai jelek yang bakalan bikin saya lebih susah lagi.

Ada tuh temen saya, yang kalau ada PR nyalin punya teman, kalau ada ulangan nggak pernah belajar. Tapi dia tuh ulangan nilainya selalu bagus, dan selalu masuk 10 besar. Ada tuh. Dan bikin KZL sumpah! Saya udah ta belain belajar mati-matian, nilai nggak pernah bisa ngalahin dia. KZL ZBLnya masih kerasa sampai sekarang, Ferguso. =))

Hingga hari ini, pemahaman bahwa 'belajar itu berat' juga saya tanamkan ke anak-anak. Bawelin mereka setiap hari, bahwa belajar itu memang susah. Jangan cuma mau belajar hal-hal yang gampang doang, sedangkan yang susah dimalesin. Bagaimanapun, di sekolah kan kita nggak bisa menghindarinya.

Pun nanti, ya masa saat mereka selesai sekolah, mereka akan lari dari kesulitan yang datang sih? Misal ada A dan B yang harus dituntaskan. Masalah A ngeselin, yang B gampang. Terus yang diselesaikan B doang, yang A dihindari? Saya pikir, kalau anak sampai kek gitu ya jadilah dia anak tempe.

Belajar memang berat.
Itu pula yang saya alami beberapa tahun belakangan. Profesi saya sebagai freelancer, mengharuskan saya belajar banyak hal secara mandiri. Mulai dari belajar nulis yang baik, belajar bikin desain grafis yang kekinian, sampai belajar teknis SEO (yang dulu amit-amit jabang bayi, saya nggak mau sentuh saking malesinnya). Saya belajar menaklukkan Instagram, belajar jualan dengan kata-kata tapi secara soft selling. Belajar copywrite biar bisa bikin konten yang enggak bisa ditolak orang.


Kenapa semua harus saya pelajari?
Karena saya yakin dan tahu betul, bahwa di luar sana tuh yang lebih dari saya tuh buanyak! Akhirnya balik lagi ke pemikiran saat saya masih sekolah. Kalau saya nggak belajar dengan keras, saya bisa nggak naik kelas. Maka, kalau saya nggak mau kalah dari semua orang yang udah pinter dari sononya--apalagi mereka diberkahi juga dengan materi yang lebih banyak--ya udah maka saya harus kerja keras.

Dan, karena saya ini nggak punya modal, maka saya hanya bisa belajar secara mandiri. Baca artikel-artikel mereka yang lebih pinter. Nanya-nanya sana-sini.

Dan, sadar betul. Karena saya nggak punya uang buat bayar seseorang untuk menjadi mentor saya, maka saya nanya ke orang lain tuh nggak pernah lengkap. Mengapa? Karena ilmu itu buat saya nggak ada yang gratis. Semua ada "harga"-nya. Apalagi ilmu. Mahal lo, ilmu itu. Pikir saya, kalau saya nanyanya dikit tapi pas, ntar ada clue. Maka clue itu yang kemudian saya telusuri sendiri. Dapet deh yang saya cari :))

Makanya kemarin juga ada yang nanya tip untuk menaikkan PV. Saya jawab, yuk, ikutan kelas online. Lalu dia nanya lagi, gratiskah? Yha! Hahahaha. Kalau mau gratis, kamu mesti siap untuk belajar otodidak, Luis Fernando.



Nah, balik lagi ke saya yang nanya orang. Karena nanya nggak lengkap maka dijawabnya juga nggak lengkap dong. Padahal saya kepoan. Akhirnya telusuri sendiri. Terus ngeh. Oh ini begini jadinya begitu. Oh yang itu tuh karena sebab ini, jadi penyebab ini harus dibikin begono supaya begitu. Dikembangin sendiri. Melalui ribuan trial and error.

Sampai kemudian sampai sekarang ini. Semua hal yang saya dapatkan tuh gratis. Karena ya, saya cuma bisa mencuri ilmu. Saya curi ilmunya Mbak Indah Juli, Mas Febriyan Lukito, Langit Amaravati, Jon Morrow, Gretchen Rubin, Darren Rowse, Neil Patel, ... semuanya. Mereka nggak sadar juga kali, ilmunya saya serap sedemikian rupa :)) Saya ambil ilmu mereka, lalu dipraktikkan. Diutak-atik sendiri, hingga ketemu formulasi yang paling sesuai untuk saya terapkan sendiri.

Hukumnya tuh berlaku. Kamu mau gratis, maka usaha lebih ekstra. Kalau kamu nggak mau usaha ekstra, berarti kamu mesti punya sesuatu untuk "ditukarkan" dengan kemudahan itu.

So, karena pengetahuan yang saya dapatkan itu gratis semua, maka semua juga saya catat di sini. Teman-teman bisa mendapatkannya dengan cara yang sama dengan saya; dibaca, dipraktikkan sendiri, diutak-atik sendiri, disesuaikan, lalu akan ketemu formulasi yang pas. Trial and error itu sudah pasti.

Gratis? Gratis. Catatan saya selama belajar, semua ada di blog ini. Saya catat juga bukan buat apa-apa, tapi saya pelupa! Saya nggak mau nanti terjebak dulu saya nggak bisa-belajar-lalu bisa-sekarang lupa. Ini mah malesin amat :)) Maka, semuanya saya catet di sini. Ada yang mau memanfaatkan, silakan. Tapi ya itu tadi, mandiri.

Makanya, saya selalu angot-angotan sebenarnya saat diminta untuk bikin kelas atau jadi mentor. Coba tanya Mas Ryan, Mas Dani, atau Mbak Indah Juli deh. :)) Maaf, saya nggak sombong, songong etc. Tapi karena semua yang saya tahu itu sudah saya catat di blog ini. Gratis ini. Ya, paling butuh kuota sih buat ngakses ya? Hahaha.

Emang ada orang yang mau bayar saya buat ngasih materi yang sebenarnya sudah saya berikan gratis? Sungguh, saya nih bukan tipe orang yang suka memanfaatkan ketidaktahuan orang lain untuk kemudian diubah menjadi sesuatu yang akuntabel seperti duit. Makanya, mentoring tak pernah ada dalam rencana saya untuk monetasi blog. Karena saya sadar penuh, bahwa yang saya ketahui sekarang itu belum banyak.

Eh lhah, ternyata ada yang mau ya? :))))))


Saya yang tadinya males-malesan mentoring akhirnya ya "termakan" rayuan pihak inisiator kelas online itu. Hahaha. (tapi aku hormat lo, sama sang inisiator ini. Warbiyasak banget!) Akhirnya bikin kelas berbayar. Bikin berbayarnya juga dengan alasan, supaya orang lebih serius mengikuti materi dan praktik langsung.

Saya heran banget. Sampai sekarang.
Ada ya, yang mau bayar saya buat jadi mentor? Ahahaha. Sungguh nggak layak deh. Rasanya masih gamang aja gitu sampai sekarang. Padahal 1 kelas pemula sudah selesai, dan sekarang kelas kedua sedang berlangsung.

Sampai sekarang tuh, saya masih takjub, ini pada beneran mau bayar saya? O_O

Makanya, saat saya menemukan kalau ada yang menyia-nyiakan kesempatan untuk belajar itu saya jadi KZL sendiri. Mungkin juga karena saya baperan sih. Inget, saya dulu susah lo dapetin formulanya. Ini tinggal saya deliver aja, terus pada cobain. Misal nanti ada ketidaksesuaian ya kan logikanya jalannya enggak terlalu panjang.

Hingga kemudian pagi ini, saya menemukan tulisan Mbak Ainun Chomsun di blog Akademi Berbagi ini.




Saya menghela napas. Ternyata ada yang lebih parah.

Ini sih istilahnya sudah disuapin aja nggak mau makan. Padahal ya, udah nggak perlu nyari "makan" sendiri, disediain, disuapin pula. Masih saja ada yang susah untuk belajar. Maunya, disuapin, makanannya enak dan yang kekinian, disuapin sama Raisa, terus pulang dari disuapin masih minta oleh-oleh.

Hvft.
Sungguh, saya miris. Ini sebenarnya yang butuh ilmu siapa sik?

Heran.

Beginikah mindset kita mengenai proses belajar? :( Pantas saja ya cuma begini-begini aja ya? Sedih akutu.

Tapi kemudian saya sendiri tertampar di alinea kedua. Akhirnya saya bertanya pada diri sendiri. ngapain ya, saya kesel sama peserta kelas online-nya? Ya, mungkin saya kesel karena saya merasa mereka menyia-nyiakan kesempatan belajar yang saya rasa lebih mudah ini--yang enggak bisa saya dapatkan.

Tapi, hal tersebut seharusnya enggak boleh menyurutkan semangat saya.




Lihat, yang gratisan aja punya semangat kek gini. Saya? Aduh, saya malu sekali. Seharusnya berapa pun yang terlibat aktif itu nggak mengendurkan semangat saya, bukan? Tapi ya gimana ya, saya hanya merasa, duh sia-sia banget sih, udah bayar.

Saya pribadi mah, mau pada aktif atau enggak, saya menerima jumlah yang sama :)) Ini kalau kita mau itung-itungan materi ya--which is rada malu-maluin sih. Tapi kan, kita harus realistis. Udah investasi lo ini, masa nggak dapat deviden apa-apa? Iya nggak, Mas Dani? Saya mikirinnya dengan berdiri di sepatu para peserta inih.

Tapi saya masih ada harapan sih. Bahwa meski tak semua aktif, tapi semoga pada nyimak. Mereka mau mengunduh materinya, dan kemudian nanti jika memang mereka sudah longgar, mereka bisa memraktikannya sendiri.

Semoga.

You May Also Like

16 comments

  1. Saya makasih lho. Baru sekarang ikut kelas yg PR nya banyak. Trus jam belajarnya paralel ama jam masak makmal...Haha...aku sweneng sih ikut kelas ini...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ((ikut kelas yang PRnya banyak))
      Biasanya kasih PR ya, Mbak? Hahaha.

      Hapus
  2. Maaf, kalau gak pernah terlalu aktif diskusi. Sumpah, saya pembaca lambat. Saya nyimak dan suka bengong dengan peserta lain yang bisa langsung bertanya dengan bertubi-tubi. Sementara saya masih bingung ini apaan sih? Tapi yakinlah, saya tidak akan menyia-nyiakan duit saya hehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha. Semoga beneran worth every penny ya, Mbak :D
      Makasih sudah bertahan. :D

      Hapus
  3. Mbakeeeee...
    Belasan kelasku, nasibnya ya gini loh mbak. Sampai aku ganti2 metode. Terakhir pakai strategi kelas kecillll bgt. Tiap tugas aku colek satu per satu peserta. Tiap hari kusapa satu2. Coba sik kurang gendeng piye? Saking pinginku muridku tu ngerti. Yang nyantol? 30 persen kayanya gak ada.

    BalasHapus
  4. Tiap ikut kelas online dengan tema apa aja aku berusaha untuk ngikutin, aktif dan mengerjakan tugas. Secara aku suka belajar dengan bimbingan guru.
    Tapi, jujur aja di kelas konten ini nggak bisa total fokus belajar dan bikin tugas. Padahal materinya bagus dan nggak bisa cuma dibaca sambil lalu. Tiap bikin tugas merasa nggak puas karena ya memang bikinnya cepet-cepetan.
    Kaya topik keyword itu sampai hari ini masih bingung. Ini mau publish draft artikel begitu ngecek volume search KW dan hasilnya 0 jadi pusing. Dan makin pusing karena masih belum nemu KW yang sesuai harapan :))
    Duh, rasanya masih banyak pertanyaan tapi waktunya yang nggak ada. Huhuhu.
    Jangan kapok jadi mentor ya, mom Carra. Kayanya aku perlu kelas remedial 😅

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mom. Frustrating banget memang ya, kalau nemu KWnya 0. Lemes gitu. Yahhh, kok nggak ada yg nyari? Bahkan volume kecil pun jadi bikin down. Tapi, aku sih bisa jamin. Makin lama diulik, Mom Alfa akan semakin peka KW apa saja yang populer dan bisa diulik menjadi tulisan.

      Semangat ya, Mom.
      Aku nggak kapok jadi mentor hahaha. Jadi banyak temen belajar.
      Makasih ya, Mom :-*

      Hapus
  5. ngerinya aku ikut kelas online begini mba, secara jadwalku juga padet. makanya lebih suka nyari2 sendiri dari para master. kadang ya japri di socmed. buatku itu lebih efektif. Kalau kelas akber, aku beberapa kali ikut di Pekalongan. bagus2 materinya tuh, dan sebenrnya bisa buat konten blog bahannya. kendala waktu aja ga bisa selalu hadir

    BalasHapus
  6. Saya pernah mencoba membuka kelas blog gratis di lingkungan RT. Gagal semua karena pada akhirnya, tidak ada blog baru yang lahir. Mereka sudah diberi pengetahuan teknis dan pada akhir kelas sudah bisa, tetapi mereka tidak meneruskan untuk membuat blognya sendiri.

    Apakah saya merasa gagal? Hem, tidaklah. Saya cukup paham bahwa banyak manusia Indonesia yang kalau berurusan dengan sesuatu yang tidak bisa menghasilkan duit secara cepat dan banyak, respon mereka akan sangat lamban. Jadi, saya membatasi diri dan target pada sekedar berbagi.

    Kapok untuk membuat kelas blog lagi? Tidak juga karena mungkin setelah beberapa saat divakumkan, saya tetap mencoba mendorong warga sekitar untuk tetap menulis dan membuat blog mereka sendiri. Dan, mungkin tahun depan akan memulai lagi kelas blog di lingkungan rumah.

    Mungkin karena saya berpikir bahwa merubah mindset orang itu tidak mudah. Butuh ketekunan dan kegigihan. Tidak beda dengan ngeblog sendiri. Jadi, kalau saya memang ingin warga di lingkungan RT saya terjun ke dalam dunia blog, maka saya harus terus mencoba dan mencoba terus.

    Tidak ada jaminan berhasil, tetapi kalau tidak dicoba, maka sudah pasti hasilnya tidak akan ada.

    Tetap semangat mbak..

    BalasHapus
  7. saya merasakan hal tersebut mbak carra, kemaren saat ngajar. tapi setidaknya semga ada yang nyantol gt dari ilmu yg kita sampaikan. terima kasih mba atas sharing ilmu bloggingnya.saya belajar banyak ttg perbloggingnan kalo mampir ke blog ini.

    BalasHapus
  8. bahagianya aku dapet guru kayak mbak Carra. lup yu pull. Daging semua materinya. Belajar cuma dua jam tuh kurang bangets. Aku mah butuh waktu tambahan utk nanya2 lagi. Karena ilmu yg mbak Carra berikan tuh perlu waktu. Utamanya bagiku yg emang susah kl belajar ttg teknologi xixixi... Baca materi. coba. ikut diskusi. bt tugas. .... pas waktu luang nyoba lagi, kenapa gak nanya td ke suhu, yah? Begitulah proses belajar. Long life education

    BalasHapus
  9. Masalah segmen usia juga berpengaruh. Usia belajar dan pencarian networking rata2 di usia 20-25. Nah di tahun tersebut kayaknya yang lagi hits medsos dan vlog, mungkin bisa dicoba tema besar seperti itu.

    BalasHapus
  10. Saya jadi kepingin di mentorin sama Mbak Carra, senengnya ya... yang udah pada ikut punya mentor yang peduli muridnyadan sabar, kyk mbak Carra. :)

    BalasHapus
  11. Wah, mbak Carra....keren bianget kalo berkesempatan dimentorin mbak Carra. Pasti nggak akan saya sia-siain, next class perhaps. Semoga beruntung :)

    BalasHapus
  12. andaikan ada tombol like bakal aku like andaikan ada tombol love bakal ku love, kusuka postinganyyaa.. menyentuh

    BalasHapus