• Home
  • About
  • Daftar Isi
  • Konten Kreatif
    • Penulisan Konten
    • Penulisan Buku
    • Kebahasaan
    • Visual
  • Internet
    • Blogging
    • Marketing
    • User
    • WordPress
  • Media Sosial
    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
  • Stories
    • My Stories
    • Featured
    • Freelancer
  • Guest Posts
Diberdayakan oleh Blogger.
facebook twitter instagram pinterest Email

Carolina Ratri



Konon katanya, setiap hari ada lebih dari 2 juta blog post terpublish di dunia maya.

Ini adalah data menurut Worldometers. Nggak percaya? Silakan cek saja langsung ke Worldometers, karena di sana ada hitungan real timenya.

Saat saya menulis artikel ini, hari Minggu 22 April 2018 pukul 12.19, Worldometer menunjukkan angka segini, and still counting ...

Screenshot Worldometer

Nah, kalau liat keterangan di bawahnya, blog post sejumlah itu pun HANYA yang dipublishkan melalui Wordpress.

Belum yang dari Blogspot, Tumblr, blog.com, TypeJournal, dan seterusnya. Itu yang seluruh dunia ya. Di Indonesia berapa? Enggak tahu, banyak yang pasti.

Now, kita coba ke lain sisi.

Saat ada job atau lomba, lalu banyak blogger yang publish artikel dengan topik yang sama. Berapa persen yang bisa menonjol di antara lain? Biasanya sih yang punya ide "beda", atau yang punya gaya khas.

Bener nggak?

Dan, saya nggak bisa menutup mata. Bahwa dari pengamatan, yang punya ciri khas memang akan lebih long lasting stand out-nya. Dan ini tuh berlaku di mana pun.

Katakan saja para seniman. Novelis, misalnya. Mereka yang punya gaya khas, biasanya ya lebih bertahan lama--baik bukunya atau dianya sendiri yang bisa terus berkarya sampai tua.
Faisal Oddang punya gaya yang khas. Para penulis wattpad juga. Tapi saya berani taruhan, Faisal Oddang akan bertahan di kursinya hingga ia tua nanti, karena apa yang ia tuliskan menjadi bagian dari dirinya. Penulis wattpad? Saat musim trend bergeser, mereka pun akan ikut tenggelam bersama Wattpad.

Pelukis-pelukis yang sudah punya ciri khas juga beda "kasta" dengan mereka para pelukis wajah yang di tempat-tempat wisata itu, meski mungkin malah bagi sebagian orang gambarnya para pelukis wajah itu lebih bagus, karena lebih mirip dengan aslinya.

Affandi misalnya. Kalau bikin lukisan orang ya nggak bakalan pernah mirip. Karena style dia ya begitu, ekspresionisme. Lakunya? Ratusan juta.
Pelukis wajah bisa nggambar mirip sama aslinya. Ya, kalau memang dia punya ciri khas tertentu, dia juga bisa menjual lukisannya ratusan juta juga. Kalau enggak? Ya, gitu-gitu aja.

Misalnya lagi, sutradara video clip. Gaya khas sinematografinya Rizal Mantovani beda sama gayanya Dimas Djay. Kelihatan banget tuh.

Gaya dan ciri khas itu selayaknya identitas.
Kalau kamu punya gaya dan ciri khas, artinya kamu punya identitas.

Lalu, bagaimana dengan blog?
Memangnya blogger sama dengan seniman?

Ndilalah, kemarin ada yang nanya sama saya, gimana cara mencari ciri khas untuk personal blogger. Jadi, marilah kita bahas.

Saya pribadi menilai ada beberapa hal yang sama, dengan semua analogi di atas.
Saat seorang blogger sudah punya gaya khas dalam menulis, merepresentasikan apa pun pesan yang dibawanya, ya akan membawa identitasnya ke mana pun.


Mari kita lihat lihat dulu beberapa profil blogger berikut, yang menurut saya sudah punya style yang sangat khas.


1. Tikabanget


Saya tahu dan menjadi pembaca blog Tikabanget sejak sebelum saya sendiri mulai ngeblog. Bahkan, saat saya baru mulai kenalan dengan E-Marketing.

Tika nggak tahu saya. Wkwkwk. Tapi saya tahu dia. Dulu, Tika kalau nulis judul selalu pakai "ituh..."

Arsip blog Tikabanget di tahun 2009

Semua pakai "ituh...", dan ini tuh khas buanget! Nggak ada blogger lain yang (berani) nulis kayak gini. Karena bakalan dibully dah, kalau zaman sekarang. Niru Tika ya?

Itu kan cuma judul. Gimana dengan blog postnya? Emang punya ciri juga?
Coba baca yang soal Fertitest. Sumpah, kalau artikel ini di zaman sekarang barangkali bisa dicurigai sebagai artikel pesan sponsor. Tapi waktu itu belum ada kayaknya postingan berbayar kek gini. Wkwkwk.

Coba kalau artikel itu jadi blog post berbayar salah satu dari campaign-campaign yang ada sekarang. Boom dan viral kali. Hahaha. Ngakak lo saya pas baca. Komennya ada ratusan juga. Gilingan kan?

Sayangnya sekarang Tika udah nggak pakai gayanya itu lagi. Dia sudah berubah! Halah.


2. Annisa Steviani


Saya memang jarang blogwalking dan jalan-jalan. Tapi, kalau saya mau datang dan baca artikel di blog orang, biasanya memang karena saya tertarik sama bahasannya.

Kayak di blog Icha juga neh. Nggak semua saya baca emang. Tapi saya selalu baca artikel Icha yang menarik--yang entah kenapa--selalu isinya bikin saya nyengir.

Salah satunya adalah saat Annisa merepet soal artis 'Si Neng A'--begitu dia bilang--yang tampak berusaha banget memang untuk selalu tampil sempurna di media sosial.

Screenshot dari blog Annisa Steviani

Saat membacanya, saya kebayang Icha-nya di depan saya dan dia lagi merepet. Saya mendengarkan, sambil cengar cengir, DAN serasa dipaksa untuk setuju sama dia.

Tapi, memang seperti itulah gaya Icha. Merepet, rada nyinyir, but related to people (baca: buibuk). Silakan coba baca artikel Icha yang lain. Nadanya sama, kek-kek gitu juga.


3. Dani Rachmat


Kalau Mas Febriyan Lukito bilangnya begini.

Kata Mas Ryan lo ini. Huahahahaha.


Tapi ya bener juga sih.
Buat saya postingannya Mas Dani yang paling epic adalah yang soal Kerja di Bank. Artikel itu yang paling  Mas Dani banget deh.

Iya, baca itu saya rasanya pengin beneran nyambit mesin ATM. Wkwkwkwk.


Di antara semua artikelnya--yang ngomongin topik berat tapi diomongin santai--artikel inilah yang paling menampakkan ciri khasnya.

Dan tahu nggak berapa komen yang ada di postingan tersebut? 244 komen! Iya sih, termasuk komen Mas Dani sendiri. Tapi coba lihat seberapa engagement yang dia dapatkan.

Ruar biasa.



So, apa nih kesimpulannya?
Tiga blogger di atas sudah pasti punya pembaca fanatik sendiri-sendiri.

Tikabanget pembacanya pasti sudah banyak, secara dia senior banget. Meski sekarang sudah agak berubah gaya menulisnya, tapi saya yakin deh. Masih banyak.

Annisa Steviani? Ada yang ragu dengan trafficnya?

Dani Rachmat? Bahkan dia nggak update blog, pembaca yang mampir masih tetap ribuan tiap harinya.

Tikabanget mewakili blog generasi pendahulu, yang membahas topik apa saja --> means mewakili blog gado-gado.
Annisa mewakili berniche yang masih luas, parenting dan beauty. Meski dia juga masih bahas ini itu juga.
Mas Dani nichenya lebih spesifik lagi, soal keuangan. Meski dia juga bahas film dan lain-lain. Tapi artikel keuangannya mendominasi.

Ketiganya mewakili blog dengan audience yang berbeda-beda. Sama-sama distinctive dengan gayanya masing-masing.

Lalu, bagaimana denganmu?

Apakah kamu sudah punya ciri khas sendiri untuk blog kamu?

Belum? Pantesan saja blogmu tenggelam di antara jutaan blog lain.
Pantesan aja, traffic juga segitu aja.
Pantesan juga, kamu nggak pernah menang lomba.

Untuk bisa stand out, kamu harus punya sesuatu. Sainganmu banyak lo.
Ibarat deretan kaki lima, blog kamu tuh nyempil di antara kios kaki lima yang lain. Kalau jualanmu sama aja dengan yang lain, misal ada pelanggan datang dan nawar, kamu nggak bolehin, dengan mudah pula ia akan berpindah ke lapak lain dalam hitungan detik.

Apalagi kamu memilih topik so-called-lifestyle blog yang meski kedengeran mentereng tapi ya tetep aja isinya nyampur. Kamu nggak memilih niche, yang tidak menonjolkan keunggulanmu, kelebihanmu, atau apa pun yang bisa memaksa orang untuk ngefans denganmu, menunggu tulisanmu, atau menjadikanmu sebagai tempat bertanya.

Orang akan dengan mudah lupa juga pada eksistensimu sebagai blogger.

Kalau sudah begitu, satu-satunya cara untuk bisa membuat orang ingat akan kamu adalah kamu harus punya ciri khas.

Bener nggak?

Tapi, gimana caranya menemukan ciri khasmu sebagai blogger, kalau kamu masih belum memilih niche atau fokus tertentu?

Saya sebenarnya berani taruhan. Ketiga blogger di atas NGGAK PERNAH secara sengaja mencari ciri khas mereka masing-masing. Nggak yakin saya, Tika, Icha sama Mas Dani tuh merenung, pengin jadi kayak gimana saya kalau ngeblog nanti.

Nggak. Ciri khas itu mereka keluarkan secara alami. Otomatis aja gitu. Ndilalah, mereka sendiri adalah orang-orang antimainstream. Sudah dari sononya begitu.

Tapi NGGAK SEMUA orang tuh begitu. Ada beberapa orang yang mainstream. Gayanya B aja. Nggak bisa menemukan satu hal yang bisa ditonjolkan dari dirinya.

Padahal, kamu pasti setuju kan sama saya, kalau setiap orang itu unik? Iya, everybody is unique. Tapi gimana caranya mengangkat keunikan itu agar menjadi ciri khas yang menonjol?

Kalau kamu merasa kesulitan menemukan ciri khasmu sendiri dalam ngeblog, coba deh, berikut ada beberapa tip dari saya. Boleh dicoba.


1. Jujur


Ketiga blogger di atas menulis dengan jujur. Mereka jujur dengan kondisi mereka sendiri, jujur menuliskan apa yang ada dalam pikiran mereka.

Sehingga inner voice mereka--segala macam pikiran pun--bisa mereka keluarkan apa adanya. Kalau mereka setuju ya akan menulis setuju. Kalau enggak setuju, mereka akan menjelaskan alasan mereka mengapa tidak setuju.

Mereka berani berpendapat, dan mereka nggak takut kalau pendapatnya beda.

Apa yang keluar dari diri kita secara jujur, maka sudah pasti akan "memancarkan" personality kita. Karena apa? Setiap orang tuh sebenarnya punya pemikiran sendiri-sendiri. Meski mungkin sama-sama setuju akan satu hal, tapi dasar pemikirannya bisa berbeda.

Keluarkanlah yang berbeda itu.

Jika kamu selalu memberikan hal yang berbeda, maka hal yang berbeda itu lama kelamaan akan menjadi ciri khas.


2. Ekspresikan pikiranmu


Ekspresi biasanya memang akan menjadikan suatu tulisan bernyawa. Coba lihat tulisan Icha dan Mas Dani. So expressive!

Cara mengekspresikan diri mereka ya berbeda-beda.
Orang itu paling keliatan aslinya kalau sudah berekspresi, dan saat melibatkan emosi.

Jadi kalau senang ya ekspresikanlah rasa senangmu itu. Biasanya kalau kamu senang tingkahnya seperti apa sih? Salto? Nari gangnam? Apa langsung cium-ciumin anak?

Kalau marah? Kalau saya sih kalau marah ya misuh, kalau nggak 'kampret', ya 'bangke'. Hahaha. Saya nggak segan-segan memasukkan itu dalam tulisan saya di blog.

Ada seorang penulis yang membuat karakter tokoh utama dalam novelnya, kalau marah otomatis mengumpat, "Saus kacang!"
Nah, itu juga bisa jadi ciri khas. Hahaha.

Masukkanlah emosi dalam tulisanmu, supaya lebih bernyawa dan berkepribadian.


3. Bayangkan mengobrol


Saat saya membaca artikel Icha, Tika dan Mas Dani, saya serasa diajak ngobrol langsung sama orangnya. Ini juga akhirnya yang bisa membawa karakter ketiganya terasa untuk saya, sebagai pembaca.

Kamu juga bisa melakukannya.
Caranya, setiap kali kamu mau menulis sesuatu, tutup matamu dulu. Bayangkan satu orang yang mewakili sosok pembacamu--kamu akan bisa lebih mudah membayangkannya kalau kamu sudah punya reader persona sih. Nanti kapan-kapan kita bahas ini ya, dalam artikel terpisah.

Bayangkan, satu orang pembacamu itu duduk di depanmu. Dia menunggu untuk kamu ajak ngobrol. Begitu dia sudah siap mendengarkan, so vomit the words. Tulislah artikelmu seakan-akan kamu sedang ngobrol sama dia.

Bakalan belibet, karena kamu memang aslinya belibet? Biarin. Pokoknya tumpahkan semua kata-kata, seakan kamu lagi ngomong sama pembacamu itu.
Sampai selesai, tanpa diedit.


4. Aturan bukan untuk mengikat


Mungkin akan ada yang bertanya, "Kalau saya nulis kek orang ngobrol, ntar tulisannya akan banyak yang ngaco."

Mungkin secara tata bahasa, atau secara aturan blog, atau SEO, atau apalah.

Well, ingat ini. Selama nggak terlalu aneh, kita boleh kok melanggar aturan. Aturan-aturan itu sebenarnya kan bisa dikondisikan, selama tidak merugikan orang lain.

Aturan ada bukan buat membikin kita jadi kaku dan jadi sama semuanya. Pilihlah aturanmu sendiri, yang mana yang akan kamu pegang, yang mana mending kamu cuekin dan memakai aturanmu sendiri.

Contoh, saya tahu ada kata baku dan kata yang nggak baku. Saya suka menggunakan kata baku dalam tulisan. Tapi saya tidak akan membiarkannya hingga bikin tulisan saya jadi kaku.
Jadi gimana?

Ya, saya bikin selingkung sendiri untuk di blog ini.
Apa itu selingkung? Coba klik aja di tautannya ya. Saya males jelasin, kepanjangan soalnya. Wkwkwk.

Saya nggak akan menulis 'dimana' untuk 'di mana'. Saya juga nggak akan menulis 'sekedar', 'nafas', 'cabe', 'hempas', dan lain-lain. Saya akan menggunakan kata yang lebih baku untuk kata-kata yang tetap terdengar luwes saat digunakan. Saya tetap akan menggunakan 'sekadar', 'napas', 'cabai', dan seterusnya.

Tapi, saya nggak akan juga menulis 'bagaimana' kalau 'gimana' akan membuat tulisan saya lebih mengalir. Saya tetap akan menggunakan kata 'kek' ketimbang 'kayak' atau 'seperti', yang terlalu kaku.
Saya tau aturan, untuk kemudian saya langgar aturan itu.

Kek seniman. Mereka mungkin sekolah untuk tahu teori-teori. Tapi, begitu mereka sudah berkarya, mereka boleh banget breaking the rules.

Mereka mematahkan aturan karena paham cara kerja aturan itu, dan tahu banget di bagian mana harus dilanggar untuk menciptakan ciri khas masing-masing.

Pilihan diksi seperti itu lambat laun akan membentuk ciri khas pada tulisan kita di blog. Jadi, coba diamati, banyak kok macam diksi yang bisa kamu pakai untuk mendefinisikan ciri khas kamu.
Yang penting, balik ke poin satu di atas. Jujur.

Karena dengan jujur, kamu akan menjadi dirimu sendiri. Dengan jujur, kamu akan bisa merefleksikan personality kamu ke dalam tulisan.


5. Pertajam ciri khas


Kalau kamu sudah menemukan 'suara' dan gaya bahasamu sendiri, maka sekarang pertajam.
Caranya gimana?
Ya nulis terus, dengan menggunakan suara dan gaya yang sudah kamu pilih tadi.

Semakin sering kamu menulis dengan gaya itu, maka akan semakin terasa deh ciri khasnya. Ciri khas itu memang nggak bisa dalam semalam dibikin, harus secara terus menerus.

Kalau kamu sudah capek duluan dalam berproses ya, mungkin kamu harus menengok lagi motivasimu ngeblog.


Nah, itu dia beberapa langkah untuk bisa menemukan ciri khas meski kamu adalah blogger lifestyle yang belum punya niche.
Kalau yang sudah punya niche, tetap juga kok akan lebih baik kalau punya ciri khas lagi. Kenapa? Ya biar semakin khaslah. Semakin khas (in a good way) pasti akan lebih bagus kan?

Udah panjang ya, artikelnya? 2000 kata ya bok. Wkwkwk.
Tapi semoga nggak ngebosenin deh. Udah lama saya nggak pernah nulis sepanjang ini pun. Hahaha.

Sampai ketemu lagi di artikel berikutnya ya.
Share
Tweet
Pin
Share
23 comments


Ngikutin berita soal Mark Zuckerberg yang disidang sama Congres di Amrik nggak, soal data pengguna yang bocor dalam skandal Cambridge Analytica?

Perkembangannya agak menggelisahkan--setidaknya buat saya sih, sebagai kuli konten. Ternyata data yang disalahgunakan nggak hanya milik 50 juta pengguna saja, tetapi berkembang menjadi 87 juta pengguna.
Disusul lagi dengan fakta ternyata juga ada 1 juta pengguna Indonesia yang juga bocor dalam kasus yang sama.

Saya sebetulnya juga nggak habis pikir sih.
Soal data yang terunggah ke internet, bukankah seharusnya menjadi tanggung jawab masing-masing user? Jika mereka nggak mau datanya terpakai, ya nggak usah pakai internetlah. :)))

Balik lagi ke soal Babang Mark, saya ... lumayan ngikutin. Dan so far, saya ikutan harap-harap cemas dengan keputusan Kongres Senat tersebut.

Lah, kenapa?
Emang penting banget ya Facebook buatmu, Ra?

Well, kalau buat pribadi sih nggak masalah, saya bisa berekspresi lewat apa pun kok. Tapi soal kerjaan ... nah itu.

Oke, saya mau curhat dikit ah, kenapa saya mau nggak mau ikut gelisah akan nasib Mark Zuckerberg.

Mungkin bagi para pengguna "biasa", artinya mereka yang menggunakan media sosial hanya sebagai media hore-hore, ketimbang cuma nganggur, atau sekadar dijadiin teman nunggu antrean di bank, barangkali nggak akan terpengaruh banyak.

Bahkan Menkominfo, Rudiantara, pun sempat ngetwit, bahwa sekali waktu nggak usah ngakses media sosial itu akan baik buat kita.

Betulkah demikian?
Betul. Itu pendapat hampir sebagian besar orang.

Tapi, mari kita lihat dari sisi lain.
Sebenarnya media sosial itu kan interaksi antara 3 pihak: pihak komoditi (pengguna), pihak "penjual" yaitu para publisher--si penyedia konten, dan pihak "penyedia lapak" yaitu orang-orang yang bekerja di balik platform media sosial tersebut.

Satu sama lain sebenarnya saling membutuhkan.

Sebentar. Pengguna media sosial = komoditi?
Iya.
Baru nyadar ya, kalau kamu-kamu semua itu memang "barang dagangan" di media sosial? *smirk*

Saya pernah bahas ini di salah satu artikel yang saya kirimkan ke Mojok.co, saat saya membahas soal Skandal Cambridge Analytica lalu.

Bahwa nggak pernah ada yang gratis di dunia maya ini, gaes.
Media sosial gratis? Enggaklah!
Kamu harus menukarnya dengan data diri kamu.

Kok bisa? Ya, itu sudah saya tulis di artikel di Mojok itu. Hehehe.
Jikapun ada yang menjanjikan ad-free, tapi pasti ada sesuatu yang lain yang akan mereka gunakan juga sebagai komoditi. Karena apa? Internet is a business, mylov~ #terMojok

Mari kita kembali ke Facebook. Setelah penjelasan saya berikut kamu pasti akan mengerti mengapa kasus Facebook ini bisa mengancam banyak pihak, nggak cuma bala-bala Mark doang.

Coba saya perlihatkan sedikit statistik Google Analytics dari Rocking Mama, sebuah portal bagi ibu-ibu muda, yang kebetulan banget merupakan generasi Facebook.

User Rocking Mama untuk bulan Maret
Dari data di atas, terlihat bahwa traffic dari media sosial memang hanya menempati urutan ke-5 dari pageview yang datang ke web Rocking Mama.

Nah, mari kita lihat ke bagian Social ya.

User yang datang ke Rocking Mama melalui media sosial

Bisa dilihat ya, yang datang dari Facebook ada 90% keseluruhan statistik traffic dari media sosial.

Sedangkan untuk jumlah pageview, dari rerata 50K/hari, 4000-nya berasal dari Facebook. Jadi, kalau Facebook mati, maka kami harus siap-siap untuk kehilangan seenggaknya 4K view setiap harinya.

Hedeh.

So, masuk akal kan sekarang kalau saya bilang, bahwa penutupan Facebook ini sangat menggelisahkan para publisher?

Itu baru Rocking Mama lo. Saya enggak tahu, ada berapa banyak publisher (termasuk blogger) di luar sana yang juga terancam penurunan pageview jika Facebook ditutup.

Means, kami harus memutar otak lagi, menemukan sumber traffic lainnya.

Karena itu, kemarin secara iseng saya ngadain survei ala-ala di Facebook.



Dari hasil sementara pagi ini--saat artikel ini ditulis--sudah ada 47 teman yang sudah baik hati mau ngejawab (abaikan yang jawab Meikarta atau yang nggak serius lainnya). Terima kasih ya.
Persentasenya adalah sebagai berikut:

  • Yang mau pindah ke Twitter ada 25%
  • Mau pindah ke Instagram 40%
  • Lain-lain 31%
  • Sedangkan yang pengin Facebook tetap ada sejumlah 23%


Kok lebih dari 100%? Iya, soalnya ada yang pilih 2 opsi. Lagi pula, ya saya cuma bisa mengumpulkan pendapat 47 orang (itu pun yang mau serius jawab. Wkwkwk.). Kayaknya belum bisa juga sih mewakili banyak pendapat. Tapi ya gitu deh, setidaknya ada sedikit gambaran.

Tapi, kalau saya pribadi sih rada nggak yakin, kalau Facebook bisa tergantikan beberapa fiturnya oleh media sosial yang ada itu.

Twitter?
Selain status di Facebook bisa lebih panjang daripada Twitter, lifespan tweet--atau usia tweet agar bisa terekspos--itu rerata hanya 18 menit, menurut data MOZ. Sedangkan, lifespan sebuah status yang diposting di Facebook itu rerata adalah 2 jam 30 menit, menurut data Wisemetrics.

Instagram?
Kalau kamu adalah selebgram, lifespan post kamu di Instagram bisa mencapai 48 jam. Tapi kalau kamu hanya penggembira ya, paling hanya beberapa menit. Apalagi kalau foto kamu tuh nggak bagus :)))
Untuk di Instagram, kita butuh kekuatan khusus di visual (yang nggak semua orang punya). Untuk blogger, saya lihat hanya sedikit saja yang memang mumpuni di visual. Lagipula, kekurangan paling besar dari Instagram adalah kita tidak bisa memasukkan link hidup ke caption. Link hidup hanya bisa ditaruh di bio.
API Instagram juga nggak memungkinkan kita untuk menjadwal postingan secara otomatis. Bisa sih dibikin draft dulu, tapi nggak terposting secara otomatis juga. Nggak kayak Facebook yang ada fasilitas scheduled post.

Blog?
Hmmm. Saya belum punya gambaran sih gimana mensinergikan portal dengan blog. Repost? Kena ancaman double content, beda sama nyetatus di Facebook. Kalau memfungsikan blog sebagai aggregator juga kualitas si blog nggak akan dinilai bagus sama Google, which means link yang datang dari blog justru bisa "mengancam" keberadaan si portal.
Lagian, blog beda bangetlah sama Facebook, fungsinya beda. Blog lebih ke situs sih, bukan media sosial.

WhatsApp?
Telegram?
Path?
Saya melihat ketiga platform tersebut lebih private ya. Kurang bisa dipakai untuk broadcast sesuatu seperti promosi artikel, kecuali kita mau dianggap annoying.

Lagipula, dengan jumlah pengguna 2.13 miliar setiap bulannya, Facebook masih merupakan raksasa media sosial terbesar saat ini.

Jadi, duh, buat saya Facebook belum bisa tergantikan dengan yang lain, terutama terkait dengan penyebaran dan promosi artikel/konten (meski saya sempat nyumpah-nyumpahin Facebook juga karena jahat banget sama publisher dengan mengubah algoritma Page-nya. Wkwkwk.)

However, sebenarnya Facebook sekarang sih sudah membuat beberapa perbaikan, yang mereka jelaskan melalui Facebook Newsroom, di antaranya:

  • Facebook Events: sekarang pihak ketiga tidak dapat melihat guest list ataupun post di wall events, kecuali admin events.
  • Facebook Groups: pihak ketiga tidak akan bisa melihat foto dan nama-nama para member grup.
  • Facebook Pages: memperketat API untuk apps
  • Facebook Login: jika kita menggunakan Facebook untuk login ke situs ataupun apps lain, maka apps tersebut akan lebih dibatasi aksesnya. Mereka tidak akan bisa melihat data-data seperti religious or political views, relationship status and details, custom friends lists, education and work history, fitness activity, book reading activity, music listening activity, news reading, video watch activity, and games activity.
Hmmm ... kayaknya bisa jadi satu postingan sendiri sih ini. Ntar aja deh, yang lain dalam artikel terpisah yah. Wkwkwk. Ya, intinya 4 itu sih yang paling krusial dan paling penting sekarang.

Yakin banget sih, Facebook pasti berusaha supaya nggak ditutup oleh pemerintah US. Pekerjanya udah banyak, dan bakalan banyak imbas deh ntar bagi para pihak ketiga yang memanfaatkan Facebook ini.

Facebook colaps, ya colaps semua.

Yah. Jadi, sekarang ya berharap sajalah semua akan terselesaikan dengan baik.
Makanya, Bang Mark. Kemarin jahat banget sih sama publisher, ngubah algoritma hingga impression dan reachingnya menurun gila gitu. 
Jangan jahat-jahat sama publisher ya. Karma lo! #hlah
Share
Tweet
Pin
Share
14 comments


Kadang iri, iya nggak sih? Blogger lain pada bisa dapetin job keren-keren karena DA/PA-nya tinggi. Yang sebelah sana lagi tuh, bisa jadi influencer karena punya follower banyak.

Terus, coba lihat. Barusan ada yang unggah screenshoot Google Analytics-nya. Ckckck. Pageviewnya 20.000 per hari bok!

Kok bisa ya?

Dia kok bisa? Saya kok ga bisa? Kenapa?Saya rajin blogwalking. Saya hadir di tiap event dan acara, bikin liputan juga (meski 2 bulan setelahnya). Saya juga selalu ikutan absen, kalau lagi ada job di-floor di grup/komunitas pasar bajer. Saya juga rajin update blog.
Tapi kok, segini aja ya?Pageview di bawah 100 setiap hari. DA malah anjlok. Belum lagi spam scorenya ... hedeh! Nggak usah nanya Alexa juga deh! Ndut bener.
Ada apa dengan blog saya?

Well, sebenarnya saya bisa jawab.
Bukan blognya yang bermasalah.
Mungkin kamulah sebagai blogger, yang bermasalah.

Mari kita lihat.
Saya bukannya menghakimi ya, tapi sejauh sependek pengamatan, kebiasaan buruk ini masih saja saya temui di antara teman-teman blogger saya.

Sedi akutu kalau liat!


Mengapa kita berakhir hanya menjadi blogger medioker?


1. Mudah salah paham


Inget banget pas masalah outbound link beberapa waktu yang lalu. Banyak sekali yang dm atau japri saya, dan menanyakan hal-hal seperti:

"Mbak, ada yang nawarin job nih. Aku mesti pasang 3 link keluar. Kira-kira berbahaya nggak ya?"
"Mbak, aku mau posting artikel nih di blog. Tapi mesti kasih link ke blog lain, jumlahnya 11 link. Kira-kira gimana ya?"
Atau sering juga saya menjumpai kalimat seperti:

"Ih, kasih link keluar? Wani piro? Kalau bayar ya, aku mau. Kalau enggak, nggak mau ah! Rugi di kita dong." 

Sejujurnya, saya sedih liatnya. Berarti banyak teman yang belum paham cara kerja sebuah outbound link, atau external link, ataupun link keluar dari blog kita.

Karena kalau memang paham betul mengenai external link, nggak akan ada pertanyaan seperti di atas, pun nggak akan ada pernyataan "wani piro?" itu.

Hingga kemudian berbuah ke ketakutan untuk memberi link dofollow pada rujukan, tapi justru dengan senang hati memberikan link pada mereka yang mau membayar.

Inilah "hasil" dari kesalahpahaman. Kenapa bisa sampai salah paham? Bisa banyak sebab. Mungkin karena kurang mau menggali lebih dalam mengenai satu dua hal yang belum dipahami. Mungkin juga nggak menemukan sumber yang bisa dipercaya.

Atau ... mungkin karena poin kedua berikut.



2. Suka menelan mentah


Kadang kita memang sudah berusaha untuk mencari tahu. Lalu, menemukan sumber.
Tapi sayangnya, kita terbiasa menelan mentah saja apa yang diberikan oleh orang lain.

Terlalu terbiasa "disuapi". If you know what I mean.

Artikel dari Mas Febriyan Lukito ini menjelaskan maksud saya.
Saat kita disodori informasi, atau tip dan trik blogging--karena kita berbicara soal ngeblog--oleh orang yang kita "anggap" lebih pinter dan lebih tahu, kita pun jadi terlalu penurut. Nggak mau nanya, kenapa begini kenapa begitu pada mereka.
Padahal orang pinter itu bisa saja salah lo.

Akhirnya, informasi salahlah yang kita terima.
Sudahlah infonya salah, dilakuin, terus difanatikin lagi.

Ya ampun. Sedi akutu liatnya. :(

Salah satu hal yang mesti diupdate soal SEO--misalnya ya--adalah soal tulisan harus dibold sana sini. Juga ngasih link ke artikel itu sendiri.

You know what, sekarang bold font tulisan itu sudah nggak masuk ke trik SEO lagi. Tahu nggak sih? Nggak ada tuh, yang nangkring-nangkring di posisi pertama Google search ada yang di-bold-bold tulisannya. 

Juga yang dikasih link ke tulisan itu sendiri itu, buat apa ya?
Orang sekarang malah pada jengkel kalau ngeklik akhirnya balik ke artikel itu lagi.

SEO zaman now itu fokusnya user experience.
Bukan lagi search engine experience. Dilogika aja deh. Dengan di-bold, bisa kasih pengalaman baik apa untuk user? Mana yang di-bold bukan bagian yang penting lagi.

Logikanya gimana?

Dulu memang, trik ini bisa jadi cukup efektif boost peringkat di Google. Tapi algoritma Google itu selalu berubah. Update dong!



3. Nggak pernah praktik


Ini juga lucu.
Saya sering liat, ada banyak orang berebutan ikut kelas menulis, kelas ini itu, kelas SEO, kelas viral content ... apalah apalah.

Pokoknya rajin banget deh ngumpulin teori.
Tapi teori tinggal teori.

Dipraktikkan enggak tuh?
Enggak.

"Iya, kemarin aku ikutan kelas X, Mbak.""Oh ya? Keren dong. Berarti udah tahu dong, cara nulis artikel yang menarik.""Hehe. Iya begitulah, Mbak."

Setelah dibaca tulisannya yang terbaru, ya ampun. Masih gini aja. Banyak kalimat nggak nyambung. Nggak fokus pula, ini ngomongin apa.
Terus tahu-tahu, habis. Lah, bahas apa sih ini?

Yahhh. Saya nggak tahu juga sih permasalahannya ada di mana.

"Wih, kemarin si Y ikutan kelas fotografi lo!""Oh ya? Keren dong! Gurunya kan si anu yang fotonya emang cakep-cakep.""Iya!"

Setelah dilihat update Instagramnya, lah ... masih muka doang se-frame tanpa ada indah-indahnya sama sekali.
Ya ampun :(

Terus buat apa ikut kelas ini onoh, padahal sudah bayar pun?
Nggak tahu saya juga :(



4. Kebanyakan alasan


"Aduh, pusing ah, SEO."

Iya, SEO memang rumit. Tapi bukan berarti nggak bisa dipelajari pelan-pelan kok.

"Aduh, nggak bisalah kalau ngerjain tulisan sehari harus jadi. Saya orangnya perfeksionis soalnya."

Yah, memang. Ada karakter yang dibanggakan, tapi sebenarnya nggak banget. Kayak menjadi seorang perfeksionis ini, misalnya.
Bagus sih jadi perfeksionis. Artinya, ia pasti akan memastikan bahwa hasil kerjanya bagus dan perfect. Tapi sayangnya, perfeksionis kerap juga menjadi "kambing hitam", padahal sebenarnya yang dilakukan adalah "procrastinating". Menunda..

Menjadi seorang perfeksionis itu akan bagus jika memang lantas bisa menghasilkan karya yang bagus. Tapi jangan lupa, bahwa unsur "kecepatan" itu juga ada dalam syarat "karya yang bagus".
Kalau dengan menjadi perfeksionis itu membuat kita jadi lambat, kayaknya sih jangan dipiara perfeksionisnya yang kayak gitu.

Hanya jadi alasan aja tuh.

Dan, masih banyak lagi alasan lain yang saya dengar, setiap kali saya lagi mentoring blogger.

"Ya, soalnya saya memang masih sesukanya sih, Mbak, ngeblognya. Kan katanya ngeblog jangan dijadikan beban."

Please catat ya. 
"Jangan dijadikan beban" dengan "mengerjakannya dengan serius" itu beda. 

Lagian, ngeblog masih sesukanya, kok minta DA/PA tinggi sih? Ya, kalau ngerjainnya sesukanya ya DA/PA juga sesuka-suka merekalah :))))
Duh, maaf ya, saya selalu ketawa kalau ada yang ngasih alasan beginian, setiap kali saya kasih tip dan trik menaikkan DA/PA ataupun menaikkan pageview.

Sungguh, jawaban seperti ini tuh bukan jawaban seorang blogger serius.
Kalau nggak serius ya, udah deh. Nggak usah berharap blognya melejit juga.

Ingat.
No pain no gain.



5. Nggak fokus


Biasanya kalau sudah ada keseriusan, lantas ada fokus yang mengikuti. Dan kemudian ada konsistensi juga yang akan datang kemudian. 

Ini sudah dalil.

Coba lihat diri kita sendiri di tengah keriuhan blogsphere ini. Mau apa kita dengan topik yang nyampur aduk seperti ini?

Mau dikenal sebagai blogger apa?
Mau dikenal sebagai lifestyle blogger yang sukses?
Sukses di apanya?

Bahkan seorang blogger yang sudah memutuskan niche untuk blognya pun masih harus mencari keunikannya sendiri untuk difokusin kok agar bisa stand out.

Lalu, apa yang mau kita "jual" dari blog kita yang nggak ada fokusnya itu?

Silakan ditanyakan pada diri sendiri, lalu dijawab sendiri ya?
Karena "pengin dikenal sebagai blogger apa" ini adalah kunci melejitnya kita sebagai blogger, dan blog kita juga. Ini adalah objektif jangka panjang, untuk memecahkan kotak medioker ini.


* * *

Ya, begitulah.
Kadang kitalah yang membatasi diri kita sendiri untuk berkembang, hingga akhirnya, saat melihat ada orang lain yang lebih sukses dan berhasil, bikin kita bertanya-tanya.

Kok dia bisa gitu ya? Kok saya nggak bisa?

Bisa kok. Bisa. Semua orang bisa sesukses apa pun yang mereka mau, asalkan jangan membatasi diri sendiri. Batasan itu jangan dirancukan dengan FOKUS ya.

"Yah, Mbak. Nggak apa-apa deh, saya jadi blogger medioker juga. Bisanya cuma segini soalnya."

Listen to yourself! Baru saja kamu membuat batasan untuk dirimu sendiri kan?
Dan, kamu lebih memilih menjadi blogger medioker? Fine, itu pilihan masing-masing kok.
Tapi juga jangan nanya, kenapa blog saya segini-segini aja?

Atau, mungkin blog isn't really your thing.
Berhenti aja ngeblog, cari kegiatan lain yang lebih menyenangkan. Banyak kok! Bahkan lebih menjanjikan!

Buka usaha laundry, misalnya.
Share
Tweet
Pin
Share
68 comments



Selain Instagram, Facebook akhir-akhir ini juga berbenah. Apa saja yang dibenahi? Kamu bisa lihat di artikel sebelumnya.

Algoritma Facebook sekarang memang (semacam) sedang dikembalikan ke fitrahnya oleh tim Mark Zuckerberg, yaitu sebagai wadah untuk berinteraksi antar orang secara personal.

Media massa elektronik atau brand-brand semakin sedikit tempatnya untuk bisa berpromosi. Algoritma terbaru Facebook memang membuat para publisher ini harus berusaha ekstra untuk mendapatkan target audience yang sesuai. Ya, kalau mau gampang sih, mereka mesti merogoh kocek lebih dalam. Tapi itu pun juga nggak pasti mencapai target audience yang diharapkan, karena mereka mesti memperhitungkannya dengan saksama.

Nah, bagaimana dengan kita?

Kita sebenarnya adalah "pelanggan" yang disayang oleh Facebook.
Facebook melakukan pembenahan itu karena kita juga. Kita sedang berusaha dimanjakan oleh Facebook.

Masalahnya, ada di antara kita yang ternyata "menyalahgunakan" perlakuan baik Facebook, dan abusing term of service yang sudah ditetapkan. Di antaranya adalah spamming.

Ya, karena kita adalah blogger, dan merasa "wajib" untuk mempromosikan blog masing-masing demi mencapai pageview.

Sebagian blogger--saya yakin dengan pasti--nggak pernah baca term of service yang diberikan oleh Facebook soal spamming atau promosi, sehingga tanpa sadar mereka melanggar aturan-aturan yang sudah ada tersebut.

Hingga, awal tahun lalu, sebagian besar blogger mengeluh, bahwa mereka di-mark as spam sama blogger. Komen mereka ter-hide secara otomatis dan dianggap spam oleh Facebook. Mau posting di beranda juga sebagian bilang, susah.

Saya nggak tahu pasti, "dosa" apa saja yang mereka lakukan hingga "menerima hukuman" dari Facebook semacam itu. Karena term of service-nya itu banyak. Bisa saja dilanggar sedikit, bisa banyak, bisa semuanya. Lagian saya juga nggak bisa tahu dengan pasti, dosa masing-masing blogger ini apa saja kan?

Ya kali saya stalking satu per satu. Wk.

Seandainya setiap kali kita "datang" ke tempat baru itu kita pelajari dulu aturan-aturannya, apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan, pastilah kita akan aman-aman saja. Bagaimanapun, itu tempat punya orang. Bukan punya nenek kita sendiri. Jadi, aturan ya aturan. Harus dipatuhi.

Tapi ya gitu deh. Jarang yang mau membaca manual dulu, atau term & condition, atau yang semacamnya. Terus kalau sudah kena batunya, baru deh ngeluh.

Ya, alhamdulillah-nya, saya sampai sekarang masih selalu lolos dari "hukuman". Padahal saya juga cukup sering mempromosikan link ini itu. Mungkin karena saya punya tulisan di berbagai tempat, nggak cuma di blog pribadi saja, sehingga meski saya selalu promosikan tulisan saya, tapi sumber link-nya beda-beda :D

Ya mungkin juga gitu.
Atau, karena saya lebih banyak merusuh di beranda pribadi, bukan di grup, bukan di komen orang. Jadi ya, mungkin dianggapnya bebas aja deh, orang di beranda sendiri.

Entahlah.

Tapi, apa pun, coba deh disimak, beberapa cara promosi yang salah yang dilakukan oleh para blogger berikut ini, yang saya kumpulkan berdasarkan pengamatan.


9 Dosa pengguna Facebook yang paling sering dilakukan


1. Share dalam waktu yang bersamaan


Saya sering lihat, para blogger share satu artikel sekaligus, baik ke beranda sendiri, ke grup maupun nyebar link ke komen orang.

Kalau kita punya 20 grup blogger, ya kita akan share langsung ke 20 grup tersebut secara berturut-turut.

Atau, posting di akun Facebook pribadi, dan juga sekaligus ke Facebook Page, terus dari Facebook Page langsung disebar ke berbagai komunitas.

Yang kayak gini nih kelakuan spammer, bukan blogger.

What to do instead:
Jangan sebar langsung ke banyak tempat dalam waktu yang berurutan. Kamu bisa promosi blog dengan waktu yang diatur.

Misal, hari ini sebar link ke Kumpulan Emak Blogger, besok ke Warung Blogger, dan seterusnya.

"Malas laa, kalau bisa sebar link hari ini sekalian, besok sibuk soalnya."
Ya, diaturlah. Posting link paling berapa menit sih?

Atau kalau memang harus semua tersebar hari ini, beri jeda waktu yang cukup panjang. Satu jam, dua jam. Banyak sih yang bilang, interval 5 menit sebenarnya juga sudah cukup. Tapi ya, demi amannya, coba share dengan interval sejam dua jam.


2. Nyebar dengan caption yang persis


Kadang kita memang mau cepetnya aja kan? Nyebar link, ya pengantarnya kopas aja.
Bikin satu, lalu dikopi, share.
Untuk ke grup yang lain, tinggal paste, dan share.

Cepet!

Apalagi ada juga fasilitas Facebook yang memungkinkan kita menyebar langsung ke multiple group langsung sekali klik aja.

Nah, ini kesalahan nih.

What to do instead:
Cobalah untuk menulis caption atau pengantar share yang berbeda satu sama lain. Sesuaikan dengan target pembaca.

Jangan malas nulis caption.
Blogger kok malas muluk.


3. Konten nggak original


Sebagian dari kita masih mengambil gambar, misalnya, dari Google search. Meski sudah menyantumkan sumber, tapi kadang ini masih berisiko dianggap spam oleh Facebook.

Karena kalau gambar--terutama yang kita pergunakan sebagai featured image yang kemudian kalau dishare nongol menyertai link blog kita itu--sudah pernah dilaporkan sebagai spam ke Facebook, maka gambar tersebut akan masuk ke dalam database spammer Facebook.

Sehingga kalau kita share gambar yang sama, maka otomatis akan langsung dianggap spam juga oleh Facebook.

Nah, ini nih. Makanya penting ya, untuk tahu license sebuah gambar yang kita pakai di artikel blog. Kalau nggak bisa pakai gambar sendiri, pastikan gambar tersebut berlisensi CC0.

Berlisensi CC0 saja masih belum jaminan yakin aman kok.
Paling aman itu ya pakai gambar sendiri.

What to do instead:
Selalu gunakan gambar yang berlisensi bebas dipakai tanpa copyright. Kalau mau ambil di Google, pastikan kamu ambil yang Usage Rights-nya labelled for noncommercial use.

Atau ambil gambar-gambar yang ada di website penyedia image CC0. Saya punya banyak daftar website-nya. Silakan dilihat. Lalu usahakan untuk dimodifikasi. Misal, diedit lagi warnanya, ditambahin tulisan dan sebagainya. Pokoknya jangan polosan apa adanya.

Ini kalau kamu ambil dari sumber lain.

Atau, paling aman ya pakai gambar sendiri. Wislah, pasti aman.

Nah, ini juga catatan.

Bahwa konten di sini nggak cuma gambar ya. Tapi juga tulisan. So, kalau semisal kamu share link dari sumber lain, dan link tersebut sudah pernah dilaporkan sebagai spam, maka kamu pun akan dianggap spammer.

Jadi, be careful saat kamu share link dari mana pun.


4. Over tagging


Ini dulu sempat booming, terutama buat para pemilik online shop di Facebook.
Upload foto produk terbaru, lalu tag banyak orang di friendlist.

Sekarang, sudah nggak ada sih. Ya, setidaknya di saya. Nggak tahu yang lain. Masih adakah yang suka ngetag banyak orang begini?

Meski nggak dianggap spam oleh Facebook pun, saya sebenarnya merasa gengges kalau ditag di foto yang nggak ada hubungannya sama diri saya sendiri.

Behavior kayak gini jelas spamming.

What to do instead:
Pastikan kalau ngetag ya karena orang tersebut ada di dalam foto. Atau fotonya memang berhubungan langsung dengannya.

Misalnya, ada yang ngetag saya di buku Blogging: Have Fun and Get the Money. Nah, itu saya seneng banget. Hahaha.


5. Melanggar aturan-aturan lainnya


Ada beberapa behavior atau kelakuan pengguna Facebook yang melanggar aturan (kalau saya jabarkan jadi poin satu per satu, bakalan terlalu panjang sih. Jadi saya jadikan satu di poin terakhir ini aja.)

Maka, tolong pahami, bahwa beberapa kelakuan di bawah ini dilarang oleh Facebook.

  • Ikut menyebarkan artikel-artikel hoaks dan clickbaity.
    Facebook sudah punya database website mana saja yang punya konten tak berkualitas, yaitu website yang penuh berita hoaks, clickbaity, ujaran kebencian, dan berbagai macam jenis thin content lainnya.
    Dari mana mereka mendapatkan database ini?
    Ya, karena behavior kita juga. Kalau kita terlalu cepat mengunjungi satu website yang linknya disebar di Facebook, maka itu juga akan "direkam" bahwa kita nggak puas dengan isi konten website tersebut. Atau kalau kita pernah melaporkan satu link/akun sebagai spam, ya itu ikut menjadi bahan pertimbangan Facebook.
  • Memasukkan orang ke dalam suatu grup Facebook tanpa izin.
    Yes, ini juga akan menjadi pertimbangan Facebook untuk menganggapmu sebagai spammer. Indikasinya mudah, kalau orang yang kamu masukkan ke dalam grup tersebut langsung leave group, maka satu poin untukmu sebagai spammer.
    Jadi, sebelum memasukkan orang ke dalam suatu grup komunitas, pastikan kalau orang tersebut mau dan suka dicemplungkan ke dalam grup kamu ya.
  • Add friend banyak akun sekaligus.
    Yang kayak gini juga menjadi standar media sosial mana pun. Di Twitter dan Instagram pun juga sama. Kalau kamu follow akun lain dengan membabi buta, maka kamu bisa dianggap spammer.
    Karena ya wajar saja sih. Ini bukan perilaku normal. Facebook itu untuk menjalin silaturahmi antar teman. Kalau ujug-ujug add friend banyak, maka kemungkinan yang belum kenal pun di-add friend. Nah, ini mencurigakan intensinya.
  • Mempergunakan nama bisnis sebagai nama akun Facebook personal.
    Kalau bisnis, ya buatlah Facebook Page, bukan akun Facebook personal. Jadi, pastikan nama akun Facebook kamu adalah nama orang. Nggak boleh pakai nama bisnis ya.
    Misal, nama "Mary Bakery" gitu, nggak mungkin akan diperbolehkan oleh Facebook untuk menjadi nama akun personal.
  • Mempromosikan sesuatu di status orang.
    Nah, ini masih sering saya jumpai sekarang. Ya, kalau merekomendasikan sih beda ya, biasanya akan ada usaha untuk engaging dulu.
    In the other hand, spamming itu asal naruh statement bernada promosi di status orang (biasanya di komennya).
    Kadang di grup Rocking Mama Community juga suka nih ada yang gini. Nggak mau baca aturan grup, lalu nyepam. Nyepamnya di komen lagi. Sori ya, kelakuan kek gini tuh enggak banget.
What to do instead:
Ya udahlah. Nggak usah dilakuin :)))


So, yang mana saja nih yang masih kamu lakukan sampai sekarang?
Kalau masih ada, ya, barangkali sekarang kamu mesti mempertimbangkan untuk behaving a little. Bagaimanapun, kita numpang di lapak orang. Ya, bagusnya kita harus beretika juga dan mau mematuhi semua peraturan yang ada.

Yakin deh, bakalan lebih nyaman juga buat kita.
Share
Tweet
Pin
Share
12 comments



Beberapa hari yang lalu, Mas Febriyan Lukito ngepost status ini.




Nah, kamu termasuk #TimArtikelPanjang atau #TimArtikelPendek?

Saya sih termasuk #TimArtikelSedapetnya. Maksudnya, kalau memang perlunya pendek, ya saya akan nulis pendek. Tapi, kalau saya lihat perlu untuk menulis panjang, ya saya akan nulis panjang.

Tulisan pendek itu biasanya untuk memancing engagement, sedangkan tulisan panjang biasanya saya buat kalau memang sedang menganalisis atau menelaah sesuatu.

Tentang panjang pendek tulisan, sebenarnya saya sudah pernah bahas juga di blog ini. Silakan dibaca, buat yang belum baca. Seenggaknya biar paham, kapan artikel pendek itu diperlukan, dan kapan kita harus menulis secara mendalam (yang akibatnya tulisan jadi panjang).

Buat yang sudah baca, mau baca lagi, juga boleh kok. Ehe~

The point is, seperti yang ditulis oleh Mas Ryan. Jangan maksain, yang pendek jadi memanjang dengan menulis ablah-ablah yang nggak penting dan jadi bikin fokusnya ke mana-mana. Kalau memang nggak penting, ya sudahlah nggak usah ditulis.

Tapi, kalau memang kamu mesti nulis secara 5W 1H yang panjang, ya tulislah secara lengkap. Jangan mengentangi (dari kata dasar: kentang) pembaca *meminjam istilah Mas Dani Rachmat*.

But, then again ...


Yeah, it's hard, man!



Satu, dari kitanya sendiri yang nulis. Kamu betah nggak duduk sejam dua jam untuk cuma nulis doang? Itu pun nggak sekali jadi. Nggak bisa sekali duduk soalnya kalau tulisan panjang, biasanya mah. Mesti beberapa hari. Belum lagi ngelengkapin tetek bengek, pepotoan, vivideoan, dan lain sebagainya.

Dua, dari sisi pembaca. Bosan nggak kira-kira dibacanya itu tulisan panjang kamu?

Tulisan panjang memang melelahkan. Nggak semua bisa nulis panjang.
Saya pun nggak setiap kali bisa nulis panjang.

But, saat harus melakukannya, karena pengin menyajikan informasi lengkap, ya mau nggak mau kita mesti nulis artikel panjang.

Artikel yang panjang itu--katanya--lebih mudah keindex Google. Artikel panjang itu biasanya (kalau nggak mengada-ada) detail. Dan, saya percaya, segala sesuatu yang dikerjakan secara detail, itu biasanya hasilnya memuaskan.

Mau itu tulisan, atau gambar, atau apa pun deh. Kalau dikerjakan dan dipikirkan sampai ke detailnya, pasti hasilnya akan semakin mendekati sempurna.

Ini sudah dalil.

Tapi, jangan salah persepsi. Saya tidak sedang mengharuskan siapa pun untuk selalu menulis panjang.  Ingat, panjang tulisan tergantung pada tujuan tulisan itu dibuat.

Nah, untuk mereka yang kesulitan menulis panjang, ini ada beberapa panduan yang bisa dilakukan untuk menulis artikel panjang, means artikel 1.000 kata atau lebih.


Beberapa langkah membuat artikel panjang, detail dan informatif, tanpa membosankan.


1. Outline adalah koentji

Kunci pertama dalam menulis artikel panjang adalah adanya outline.

Tahu sendiri, outline itu berfungsi sebagai:

  • Alat brainstorming, dan bisa saja timbul ide baru saat menulis
  • Organize our thoughts yang akan dituangkan dalam artikel supaya lebih runtut
  • Memeriksa kesinambungan, antara pokok pikiran satu dengan yang berikutnya.
  • Memenuhi sebab akibat


Ah, nulis blog saja kok pakai outline!

Ya, kalau buat saya, outline itu merupakan tool. Alat. Kalau alat tersebut bisa menolong kita untuk menulis artikel yang terstruktur, rapi, dan bisa tuntas dalam membahas satu masalah, ya kenapa nggak dimanfaatkan?

Kalau memang bikin outline malah bikin ribet, ya nggak usah pakai. Pokoknya hasilnya gimana, gitu aja sih.

Ngeyel pakai outline, terus malah ribet sendiri dan akhirnya nggak jadi nulis. Itu berarti maksain. Atau, nggak pakai outline tapi terus tulisannya nggak fokus, ya berarti nggak bener juga.

So, di mana perlu aja. Dan, hanya penulis yang ngerti di mana perlunya. Peka ya.

So, kalau saya sih, tulisan panjang BIASANYA butuh outline, supaya tetap fokus dan bernas. Nggak perlu bagus-bagus juga, tapi yang penting semua poin yang mau ditulis itu ada. Kadang saya juga pakainya mindmap. Jadi, terserah juga mau gimana.

Kadang dari outline, langsung saya kembangkan jadi tulisan. Jadi langsung aja gitu. Terutama kalau bentuknya listicle. Biasanya dari outline per poin, saya kembangin, tambahin penjelasan per poin. Tambahkan penutup, lalu pembuka. Udah jadi.


2. Jangan terburu-buru

Artikel yang kentang biasanya adalah karena terburu-buru.

"Lah, udah nulis dari 2 jam yang lalu kok belum selesai ya. Ya udah deh, segini aja kali."

Terus udahan. Nggak pakai closing, nggak pakai conclusion. Nggak pakai pamit. Pembacanya langsung ditinggal pergi.

Nggak sopan!
Hahahaha.

Itu saya sih, kalau nemu tulisan. Udah panjang, eh ternyata kentang. Terus langsung ditinggal pula, nggak pakai dipamitin. :))

Makanya kalau saya pribadi, ngeblog seminggu sekali saja. Tapi saya usahakan pembahasan sampai in-depth.

Toh, saya punya waktu seminggu penuh buat mikirin ide tulisan kan? Walaupun eksekusinya ya kenyataannya cuma dikerjain 2 hari, misalnya. Wkwkwk.

Tapi itu salah satu jalan, supaya saya bisa benar-benar menggali lebih dalam.

Saya dulu sering terburu-buru. Rasanya, takut aja gitu. Kalau nggak selesai sekarang juga, takutnya besok udah nggak mood lagi.
Akhirnya cuma numpuk di draft.

Pasti banyak deh yang samaan gitu. Iya kan? Ngaku aja. Wkwkwk. Tapi, saya sendiri mikir. Kalau terburu-buru, jadinya artikelnya bakalan kerasa juga buru-burunya.

Maka kemudian, saya mencoba mengubah kebiasaan. Saya berusaha nggak buru-buru, dan menyelesaikan tulisan ini bisa sampai 2 - 3 hari.

Ya, kadang ya moodnya berubah. Ya enggak apa-apa sih. Selama ini di blog sendiri, kan bebas.
Kecuali kalau kamu ngerjain tulisan panjang pesanan orang, bukan di blog sendiri. Itu memang mesti dicari solusinya.

Kalau nulisnya makan waktu karena artikelnya memang in-depth, ya jadinya perlu banget yang namanya outline. Kalau sewaktu-waktu capek nulis, bisa kita lanjutkan kapan lagi, tanpa hilang fokus. Kita nggak akan lupa, kemarin sampai di mana. Mood akan tetap ada, sampai artikel selesai.

Pokoknya dinikmati prosesnya deh.


3. Pastikan openingnya cukup mengikat pembaca

Opening akan menentukan ‘keselamatan’ artikel kita. Ini sudah berkali-kali saya tulis dan omongkan kayaknya sih.

Coba cek dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini saat menulis opening:
  • Apakah permasalahan sudah langsung disebutkan di 100 kata pertama?
  • Apakah ada janji yang akan didapatkan oleh pembaca kalau mereka mau membaca artikel sampai selesai? 
  • Apakah kata-katanya cukup provokatif dan persuasif, yang mengajak atau membuat pembaca merasa harus menyelesaikan membaca?
  • Apakah opening kamu cukup lucu? Karena biasanya orang lebih tertarik pada hal-hal yang disampaikan dengan jenaka.
  • Atau, apakah opening cukup related to people? Menyebutkan hal-hal yang juga dialami oleh orang lain?

Gimana, sepertinya memenuhi 2 syarat di atas saja sudah cukup menarik. Mau ditambah supaya lebih engaging lagi? Boleh. Lebih bagus.


4. Apakah artikel sudah dalam format yang tepat?

Ada beberapa jenis format yang bisa kamu gunakan:

  • Artikel storytelling, yaitu artikel yang formatnya bercerita gitu. Nah, format ini lebih rentan untuk membosankan. Jadi, saran sih, kalau memang mau bikin artikel storytelling panjang, pecahlah dalam beberapa subjudul atau 'episode'. Dengan memecahnya, maka pembaca seperti diberi jeda di antar bagian. Apalagi kalau ada visual yang  menarik per subbab-nya. 
  • Artikel listicle, yaitu artikel yang berbentuk list atau daftar atau step-by-step. Kayak artikel ini, termasuknya listicle. Round up juga listicle. Itu lebih mudah ditulis sih buat saya, sepertinya buat dibaca juga nggak terlalu melelahkan. Karena terbagi ke dalam beberapa poin, maka nggak kerasa panjangnya karena ada semacam jeda di masing-masing perpindahan poin.


5. Berikan penjeda setiap 200 – 300 kata

Nah, karena dipecah dalam subbab atau per poin, maka harus ada penjeda di setiap bagiannya. Penjeda ini bisa berupa foto, image, gif, atau video. Atau bisa juga infografis.

Silakan berkreasi. Gimana supaya pembaca nggak bosan.

Namun, kadang, saya sendiri dengan pedenya juga nggak ngasih penjeda :))))


6. "Talk" to your reader


Yeah, talk to your readers.

Yes, talk to your readers. Bukan sekadar nulis doang. Apalagi hanya "pokoknya memenuhi utang nulis".

Kadang kita memang nggak kerasa ya. Nulis terus, mengeluarkan apa yang ada di pikiran kita sampai puas dan tuntas. Atau, pokoknya tugas sudah selesai. Pembaca mau ngerti apa enggak, bodo amat.

Pokoknya selesai. Abis ini bisa kirim invoice #eh

Lupa, kalau ada pembaca yang mesti diajak berinteraksi.

Iya apa iya? Hehehe. Hasilnya ya, kayak monolog. Apa ciri tulisan yang "melupakan" pembaca ini? Ada satu ciri paling kelihatan dari tulisan yang "melupakan" pembaca ini, yaitu tulisan yang menggurui, atau yang sok.

Biasanya sih, habis baca tulisan tersebut, kita bukan tercerahkan. Tapi malah makin mumet. Wkwkwk.

Coba deh. Setiap kali menulis, bayangkan ada pembaca blogmu sedang duduk di depan tempat kamu menulis, siap untuk diajak ngobrol. Tutup matamu sebentar, rasakan kehadirannya. Lalu mulailah menulis, seakan-akan kamu sedang berdialog dengannya.

Setelah jadi, coba dibaca ulang. Rasakan, ada bedanya nggak dengan kamu yang biasanya sekadar nulis apa yang kamu pikirkan, atau yang sekadar nulis apa yang di-brief-kan oleh klien.

Kasih tahu saya ya, nanti, kalau kamu rasa ada bedanya.


7. Pastikan kamu menggunakan kalimat dan paragraf yang pendek


Jika satu paragraf terdiri atas 10 baris atau lebih, saya lebih suka memecahnya dalam 2 paragraf. Kadang saya juga suka ada paragraf yang hanya terdiri dari satu kalimat atau satu kata. Biasanya sih karena ada maksud yang ingin ditekankan dalam paragraf satu kalimat tersebut.

Dengan menggunakan paragraf-paragraf pendek, rasanya kita akan lagi ngobrol (refers to step #6 above), alih-alih diceramahin.

Coba deh dirasain.

Lalu, yang penting lagi, kalimatmu juga harus pendek-pendek, sekitar 8 – 10 kata maksimal dalam satu kalimat. Setiap kalimat, akhiri tanda baca “titik” ya. Kalau koma, itu berarti kalimatnya belum selesai.

Apalagi kalau sampai ada lebih dari 2 koma dalam satu kalimat. Itu biasanya kalimatnya udah mbulet.

Fine, kalau kamu masih nggak bisa membedakan "di" yang sebagai kata depan, dan "di" yang merupakan awalan. Nulis "diluar" sama "di keluarkan" kebalik ... well ...


Serah lo deh!


Tapi, kalau penggunaan tanda titik dan koma saja kebolak-balik, well ... kayaknya kamu mesti belajar bahasa Indonesia aja dulu deh.

Seriusan ini.
Karena ini berhubungan dengan ketahanan pembaca untuk mau membaca sampai akhir.
Sepele, namun penting banget.


8. Cek ulang, variasi!


Yang sudah dibahas di satu bagian, jangan lagi diulang di bagian yang lain. Ini nih gunanya outline. Supaya kita nggak terlalu banyak mengulang apa yang sudah dibahas.

Nggak cuma bahasan yang diulang.
Saya sendiri memantangkan diri untuk mengulang kata yang sama dalam satu paragraf. Apalagi dalam satu kalimat.

Jangan sampai deh.

Ini hubungannya sama variasi.
Man, eue aja perlu variasi. Ini tulisan in-depth, udahlah panjang, masa nggak pakai variasi? Bosanlah!
*dikeplakin dari segala penjuru*

So, kamu bisa mengatasi variasi kata ini dengan:

  • Mencari sinonim katanya
  • Mengubah susunan kalimatnya
  • Mengubah struktur kalimatnya, dari pasif jadi aktif, misalnya.
Lalu baca kembali dengan bersuara, agar bisa merasakan apakah ada bagian yang berulang. Tempatkan dirimu sendiri sebagai pembaca.



9. Cek 5W 1H

What, who, when, where, why dan how, merupakan prinsip penulisan jurnalisme yang baik. 

Nggak ada salahnya juga prinsip tersebut kamu pakai dalam menulis artikel blog, terutama yang panjang. Cukup membantu juga sih kalau di saya.

  • What: topik apa yang akan dibahas?
  • Who: siapa subjeknya? Siapa objeknya?
  • When: kapan permasalahan topik akan timbul, misalnya. Atau kapan kejadian berlangsung?
  • Where: di mana sering terjadi atau kejadiannya di mana? Deskripsikan.
  • Why: alasan-alasan yang dapat menimbulkan satu peristiwa yang terjadi.
  • How: bagaimana cara mengatasinya permasalahan?

Dengan memenuhi prinsip tersebut, diharapkan sih artikel kita bisa tuntas dalam membahas suatu topik. Meski dalam storytelling pun, prinsip ini akan baik juga kalau dipakai. Tinggal nanti luwesnya saja.



Nah, satu catatan penting ya.
Kita nggak bisa dengan mudah mengubah kebiasaan. Kalau biasanya hanya bisa menulis 300 kata, ya nggak perlu maksain langsung bisa nulis 2000 kata.

Mulai saja secara bertahap, dari 500 ke 600 kata, lalu jadi 800 kata. Nanti lama-lama pasti bisa deh ke 1.000 kata lebih.

Saya juga gitu kok. Pertama saya juga nulis ngos-ngosan banget ke 700 kata. Lama-lama bisa nulis 30.000 kata, alias nulis buku. *dikeplakin lagi*

Well, menyajikan informasi yang lengkap dan detail, serta bermanfaat bagi pembaca, sepertinya itu adalah yang menjadi tujuan dari setiap tulisan yang ada kan?

Adalah hak pembaca untuk mendapatkan semua informasi tersebut secara lengkap. Maka, kita harus memenuhinya, dan mereka pun akan datang lagi dengan ikhlas dan senang hati.

Semoga langkah-langkah menulis artikel panjang informatif tapi nggak membosankan di atas bermanfaat ya. Kalau ada tambahan, boleh ditulis aja di kolom komen.

Nanti akan saya tambahkan.

Happy writing and blogging, everyone!
Share
Tweet
Pin
Share
18 comments
Newer Posts
Older Posts

Cari Blog Ini

About me





Content & Marketing Strategist. Copy & Ghost Writer. Editor. Illustrator. Visual Communicator. Graphic Designer. | Email for business: mommycarra@yahoo.com

Terbaru!

Apa Itu Review Blog dan Kenapa Penting untuk Blogger yang Ingin Naik Level?

Review blog sering kali dianggap pekerjaan sepele, padahal justru ini salah satu kunci untuk membawa blog ke level berikutnya. Banyak blogge...

Postingan Populer

  • Lakukan 7 Langkah Enhancing Berikut Ini untuk Menghasilkan Image Blog yang Cantik
    Konten visual cantik untuk mempresentasikan konten tulisan yang juga asyik. Kurang menarik apa coba? Banyak blog dan web referensi...
  • 15 Ide Style Feed Instagram yang Bisa Kamu Sontek Supaya Akunmu Lebih Stylish
    Hae! Kemarin saya sudah bahas mengenai do's and donts dalam mengelola akun Instagram , terus ada pertanyaan yang mampir, "Ka...
  • Teknik Bridging dalam Menulis Artikel
    Teknik bridging barangkali adalah teknik menulis yang cukup jarang dibahas. Padahal, ini cukup penting lo! Teknik bridging sering sekali say...
  • 8 Langkah Self Editing bagi Para Blogger untuk Menghasilkan Artikel yang Bersih dan Rapi
    Editing perlu juga dilakukan oleh seorang blogger Kadang, saat kita sudah susah-susah menggali ide, dan kemudian menuliskannya di ...
  • Bagaimana Mencari Topik atau Niche Paling Cocok untuk Blog Kamu
    Barangkali hampir semua blogger Indonesia memulai "karier" ngeblognya dengan menulis segala hal tentang kehidupan sehari-hari....

Blog Archive

Portofolio

  • Buku Mayor
  • Portfolio Konten
  • Portfolio Grafis
  • Konten Web
  • Copywriting
  • E-book
  • Buku Fiksi
  • Ilustrasi

Follow Me

  • instagram
  • Threads

Created with by ThemeXpose