• Home
  • About
  • Daftar Isi
  • Konten Kreatif
    • Penulisan Konten
    • Penulisan Buku
    • Kebahasaan
    • Visual
  • Internet
    • Blogging
    • Marketing
    • User
    • WordPress
  • Media Sosial
    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
  • Stories
    • My Stories
    • Featured
    • Freelancer
  • Guest Posts
Diberdayakan oleh Blogger.
facebook twitter instagram pinterest Email

Carolina Ratri



"Mbak, gimana cara menerbitkan buku?"

Pertanyaannya cukup simpel ya, kedengarannya? Gimana cara menerbitkan buku? Seharusnya saya bisa langsung menjawabnya dengan, "Ya, langsung kirim saja ke penerbit."
Dan selesai.

Tapi kok rasa-rasanya, itu bukan jawaban yang tepat ya?
Jiwa marketing saya mau nggak mau tergugah. Seharusnya saya bisa memberikan informasi lengkap pada si penanya, from A to Z. Sampai si penanya puas dan nggak ada lagi yang ditanyakan.

Tapi kok ya penyakit saya itu juga menyebalkan; saya suka malas menjelaskan. Huahahaha. Marketing macam apah sayah inih?!

Makanya, mendingan saya tulis sajalah. Kebetulan juga ada kategori baru di blog ini, yaitu tentang Penulisan Buku. Eciyeee. Baru nyadar kan, ada kategori ini? Dan baru satu juga isinya. Jadi, mari kita tambah deh isinya hari ini.

Baiklah, mari kita ulas sedikit mengenai cara menerbitkan buku.

Cara menerbitkan buku ini sebenarnya ada beberapa cara, tergantung tujuan kamu menerbitkan buku. Setelah beberapa lama saya bekerja di penerbitan, juga bolak-balik menerbitkan buku secara indie, masing-masing cara menerbitkan buku ini punya keunggulan dan kekurangan, yang seharusnya bisa kita manfaatkan dan pergunakan semaksimal mungkin sesuai dengan tujuan kita menerbitkan buku.

Nah, jadi, sebelum menanyakan bagaimana cara menerbitkan buku, ada baiknya kamu definisikan dulu apa tujuanmu menerbitkan buku, buku itu topiknya apa, dan siapa saja target marketnya nanti.

Kalau semua sudah terdefinisikan dengan jelas, maka kemudian kamu bisa memilih cara menerbitkan buku berikut ini.


4 Cara Menerbitkan Buku


1. Self Publishing


Self publishing berarti kita sebagai penulis juga bertindak sebagai produser.

Kita harus mengurusi buku kita sendiri mulai dari A - Z. Mulai dari menulis bukunya, lalu editing (kalau merasa kurang kompeten, kita bisa menyewa jasa seorang editor lepas). Setelah itu, kita harus mencari layouter untuk desain isi buku, atau kalau mau dilayout sendiri juga boleh.

Setelahnya, kita punya desain kaver yang juga harus dibuat atau setidaknya kita harus mencari sendiri desainer kaver buku yang cocok, hingga mencari percetakan yang bisa mencetak buku kamu tersebut.

Nah, kalau pengin bukunya ada di toko buku, kita juga bisa mencari distributor buku untuk membantu pendistribusiannya. Hasil penjualan biasanya bagi keuntungan dengan distributor.

Hmmm, kapan-kapan kayaknya oke juga nih kalau saya interview salah satu distributor buku supaya kasih gambaran lengkap mengenai hal ini ya. Let's see deh.

Self publishing ini cocok untuk kamu yang pengin menerbitkan buku yang "kamu banget", dan pengin memegang kendali semua aspek penerbitan sendirian.


2. Indie publishing


Indie publishing, atau penerbitan mandiri--saya pribadi menganggapnya sebagai--“setengah” self publishing.

Jadi, kita bisa meminta bantuan sebuah penerbit indie untuk membantu kita menerbitkan buku, dengan biaya kita. Biasanya sih, si penerbit indie ini akan juga menyediakan jasa editing, desain kaver, cetak, hingga juga bisa bantuin kita untuk mendistribusikan buku ke toko buku.

Semua biaya tentu saja ditanggung oleh penulis. Hasil penjualan akan dibagi dengan penerbit.

Nah, indie publishing ini cocok buat kamu, yang pengin bikin buku yang "kamu banget", tapi nggak mau repot urusin ini itu. Biasanya sih penerbit indie ini menyediakan berbagai macam paket penerbitan yang fasilitasnya beda-beda, dengan harga yang disesuaikan pula. Jadi, kamu bisa pilih yang sesuai dengan kantong kamu.

Untuk seluk beluk penerbitan indie, saya pernah membahasnya juga di blog ini. Silakan dibaca kalau memang tertarik lebih jauh.


3. Mayor publishing


Nah, kalau cara menerbitkan buku secara mayor sih A to Z-nya dipegang sepenuhnya oleh penerbit, sebagai pihak produser, pemasaran, hingga tetek bengeknya.

Kita sebagai penulis buku harus mengirimkan naskah ke penerbit buku mayor, sesuai dengan syarat dan ketentuan yang sudah mereka tentukan.

Penerbit mayor biasanya akan melakukan seleksi, apakah naskah kita layak diterbitkan dan cocok untuk pasar mereka. Kalau di Stiletto Book, lamanya review naskah itu 30 hari kerja, kurang lebih. Kalau lebih dari 30 hari kerja nggak ada tanggapan, maka anggaplah naskahmu nggak lolos. Penerbit mayor lain punya kebijakan sendiri-sendiri juga.

Maka, penting banget buat kamu untuk ngepoin dulu si penerbit mayor ini sebelum kamu mulai mengirimkan naskahnya. Coba cari tahu: buku-buku apa saja yang biasanya diterbitkan oleh si penerbit, pasarnya kurang lebih seperti apa, apa saja syarat dan ketentuan kirim naskah, dan berapa lama kamu bisa menunggu naskahmu di-review.

Please note: Jangan sekali-sekali mengirimkan satu naskah ke banyak penerbit sekaligus via email, apalagi dengan CC, BCC, atau rombongan. Please personalize it. Mostly penerbit mayor nggak suka diperlakukan pasaran begini. Perlakukanlah mereka dengan istimewa. Anggaplah mereka calon bos yang sedang meng-interview kamu sebagai karyawan baru.

Setelah dinyatakan lolos dan layak terbit, baru deh proses penerbitan dimulai. emua keputusan ada di tangan penerbit, mulai dari isi buku yang bisa saja minta direvisi sesuai dengan mau mereka, hingga keputusan pemilihan kaver, semua diatur oleh penerbit.

Kabar baiknya, kita nggak perlu membayar sepeser pun kalau naskah kita diterima untuk diterbitkan. Kita akan mendapatkan royalti yang besarnya menurut kesepakatan. Biasanya sih antara 8 - 10%, tergantung besar kecilnya penerbit dan juga jam terbang si penulis. Semakin best seller buku-bukumu sebelumnya, royalti bisa semakin besar.

Pankapan kita bahas mayor publishing ini lebih dalam ya. Karena so far, masih banyak yang nggak mudeng soal mayor publishing ini. Mau jadi penulis kok nggak tahu etika kirim naskah ke penerbit mayor tu ya gimana ya? Ke laut aja sono.

Sebagai seorang penulis juga, saya sering sedih kalau sempat ngintip kiriman-kiriman naskah ke email Redaksi tu. Entah orang-orang ini saking nggak mudengnya, atau ignorant? Entahlah.


4. Melalui agen


Di Indonesia juga masih jarang nih, agen naskah. Saya sendiri baru tahu 2 agen naskah yang cukup besar. Pengin juga sih main di sini. Hahaha, tapi belum bisa meraba sistemnya bagaimana.

Kalau di luar negeri, agen naskah ini banyak banget, dan masing-masing punya reputasi yang bisa dipertanggungjawabkan.

Penulis yang tergabung dalam agen naskah ini boleh mengirimkan draf naskah buku ke agen, lalu agenlah yang ngider ke penerbit. Atau agen naskah menerima pesanan dari penerbit, lalu ditawarkan ke penulis yang ada dalam database-nya.

Huhuhu. Beneran, saya pengin jadi agen naskah. Hahaha. Doain ya. Atau, ada yang sudah tertarik untuk saya agenin? #eakkk


Nah, itu dia beberapa cara menerbitkan buku yang perlu kamu tahu. Tentunya kamu bisa sesuaikan dengan kebutuhan, dan juga tujuan kamu menerbitkan buku.

Perlu kamu ingat, bahwa tidak ada cara menerbitkan buku yang lebih baik daripada yang lain. Masing-masing punya keuntungan sendiri-sendiri, yang bisa maksimal banget kamu manfaatkan kalau bisa kamu sesuaikan dengan tujuan dan target kamu menerbitkan buku.

Semoga bukumu laris ya!
Share
Tweet
Pin
Share
7 comments



Dih, judulnya bombastis bet. Tapi semoga nggak dianggap clickbait yah. Hehehe.

Yamonmaap, itu pertanyaan yang kemarin dimintakan jawaban pada saya di Quora Indonesia. Sudah gabung Quora Indonesia belum? Ya, masih versi beta sih, dan kalau signup mesti ada invite dulu.

Sayangnya invite saya sudah habis karena cuma dikasih 5. Mungkin, kalau kamu mau gabung, coba cari Quoran yang masih punya sisa invite.

Yep, ada yang menanyakan mengenai "Bagaimana cara menciptakan 100.000 pengunjung di website kita?" di Quora pada saya.

Yah, selama saya mengelola sebuah portal media untuk ibu-ibu muda kemarin, rekornya memang pas banget PV 100K dalam sehari. Tentunya ini nggak cuma karena usaha saya doang, tapi juga ada segerombolan tim yang jadi partner saya, yang lumayan lincah melakukan promosi off page.

Tapi, berikut ini adalah beberapa hal yang saya lakukan untuk menggelontor traffic ke web. Barangkali bisa juga dilakukan oleh teman-teman, terutama bloger.
Ya, kalau mau. Karena ini memang butuh kerja keras. Karena cara-cara yang saya lakukan ini adalah "cara yang bener". If you know what I mean. Cara yang safe. Jadi ya butuh sedikit kerja keras.


Beberapa langkah untuk menaikkan traffic secara signifikan ke situs/blog


1. Memilih keywords yang tepat


Nggak sekadar nembak, tapi lakukan riset. Karena pageview nggak akan bergerak signifikan kalau kita memilih keyword yang TIDAK dicari orang, atau cuma sedikit saja yang mencari.

Pernah saya menjumpai tip SEO yang menyarankan kita untuk mengambil keyword yang 'gue banget', yang khas dan unik, gitulah.
Misalnya seperti "review resto ala gue".

Untuk apa? Entahlah. Kalau nggak salah inget, demi mendapatkan traffic yang targeted, atau apalah. Saya lupa alasannya.

Di situ saya nggak tahu sih mesti berkomentar apa.
CMIIW. Logikanya kan orang yang sedang mencari informasi di Google akan memasukkan keyword yang mereka pikirkan kan? Kalau kita bikin keyword yang ala gue gitu, memangnya banyak orang yang kepikiran? Berapa banyak?

Banyakan mana dengan yang mencari dengan keyword "restoran di Jakarta", misalnya.

Mari kita lihat di Keyword Planner.





Jadi, kenapa memilih keyword yang "gue banget"? Ntar nggak ada yang nyari. Pilihlah keyword yang bakalan banyak dimasukkan orang ke dalam kotak pencarian.

Selain itu, saya juga sering mendengarkan curhat mengenai kegagalan menggelontor traffic, padahal sudah memasukkan keyword sesuai dengan kaidahnya. Biasanya sih saya tanya, "Keyword-nya ngecek jumlah pencarian dulu atau langsung nembak asal keyword?"

Ada yang jawab, asal ambil keyword.
Lha ya, terus, kalau nggak ada yang nyari ya gimana bisa menghasilkan traffic kalau kita cuma "ngawang" aja? Memangnya situ ahli nujum?

SEO bukan ilmu cenayang. Orang baca tarot aja ada ilmunya kok. Apalagi SEO.

Jadi, pastikan keyword-nya memang ramai dicari orang. Riset dulu!
Ya, kalau pakai Keyword Tool, biasanya saya pilih yang avg search-nya lebih dari 1K/month. Ini ngaruh banget deh. Dan, memprediksi keyword ini butuh pengalaman.


2. Monitor trending topic


Dulu, selama 2 tahun, setiap hari saya mantengin Google Trends untuk mengecek apa saja yang lagi ramai hari itu.

Kalau ada yang bisa dieksekusi menjadi tulisan, ya langsung eksekusi saat itu juga.
Hah? Saat itu juga?
Iyes, hari itu juga harus publish. Kalau bisa malah jam itu juga.

Karena trending topic ini lumayan cepat bergeraknya. Bisa dalam hitungan jam, sudah bukan hitungan hari lagi.

Kalau trending hari ini, baru mau tayang besok sih biasanya saya sudah menganggapnya agak terlambat. Tergantung topiknya juga sih. Kadang ya ada yang bisa agak di-extend. Tapi lebih banyak lagi yang enggak.

Salah satu artikel riding the wave. PVnya lumayan kan?


Lumayan sih, cara riding the wave ini cukup bisa menggelontor traffic. Meski kadang ya hanya sehari 2 hari.

Tapi, kalau trend ini bisa kita kombinasikan dengan keyword rame, ya bisa awet juga traffic-nya. Deadly banget dah, kalau pas bisa combine trending + keyword rame nih. Tapi ya kesempatannya cukup langka. Wkwkwkw.

Meski demikian, cara "menceburkan diri di keramaian" ini bisa jadi cara yang cukup efektif untuk sebar branding, bahwa ada website kita di tengah riuhnya dunia media digital.


3. Monitor media sosial


Cara ini seperti poin 2 di atas sih, yaitu untuk memonitor trend.
Saya biasanya mantengin Chirpstory. Kadang nemu harta karun juga di sana.

Salah satu artikel yang ceritanya saya temukan di Chirpstory.
Biasanya yang paling laris itu adalah yang trending di Instagram, sekarang ini. Nah, dari Instagram ini biasanya kebawa juga ke Twitter.

Facebook saya enggak terlalu sih.

Tapi ya, bisa jadi berbeda dengan kamu. Karena aktivitas orang kan beda-beda di media sosial kan yak?


4. Publish tiap hari, kalau perlu beberapa kali sehari


What?
Memangnya ada hubungannya antara kuantitas artikel yang dipublish dengan jumlah PV yang masuk?

Well, somehow, saya membuktikan sendiri, saat semakin banyak artikel saya publish, grafik PV juga meningkat. Kalau jumlah artikel menurun, ya PV juga turun meski nggak drastis sekali.

Ini juga enggak absolut sih. Lagi-lagi hanya berdasar pengalaman kemarin saja. Cuma kalau dilogika ya bener kok. Teorinya nih, katakanlah, 1 artikel mendapatkan 20.000 PV. Maka, kalau kita bisa publish 5 artikel dengan kualitas yang sama, bukan nggak mungkin kan mencapai 100.000 PV/hari?

Meski ya banyak faktor lain yang ikut menentukan juga.

Ya, kalau setiap hari dirasa berat, ya yang penting konsisten. Kadang juga akan lebih baik mem-publish lebih jarang tapi tetap konsisten dan dengan konten yang benar-benar berkualitas.

Ini kembali lagi ke topik blog yang diambil juga.


5. Bekerja sama dengan agregator aplikasi baca online


Sekarang banyak aplikasi baca di smartphone yang mencari partner untuk penyedia konten. Saya pernah bekerja sama dengan salah satu di antaranya, dan ternyata cukup signifikan kasih pageview yang bisa termonitor di Google Analytics. Istilahnya share pageview.

Beberapa waktu yang lalu sempat ramai juga di dunia perbloggingan. Ada aplikasi baca online yang "mengangkut" konten blog para bloger. Banyak yang protes kan ya?

Saya nggak tahu sih, permasalahannya di mana. Mungkin berbeda dengan jenis kerja sama yang pernah saya lakukan.

Kalau saya kemarin memang kerja samanya, si aplikasi baca ini mengambil konten di portal yang saya kelola lalu dipasang di agregator miliknya. Lalu portal saya juga mendapatkan share pageview.

Kena double content atau enggak?
Mmmm. Saya tadinya bertanya-tanya juga sih, berbahaya enggak buat portal?
Tapi di atas saya ada manajer pemasaran yang seorang jagoan SEO, dan sepertinya dia nggak mempermasalahkan. So, saya juga biarkan saja.

Kalau orang yang saya percaya dan lebih pinter aja seperti nggak ada masalah--sependek yang saya tahu--ya sudahlah. Toh, pageview juga meningkat. Hahaha. Lumayan lo. Bisa sampai 200% peningkatan pageviewnya dari agregator tersebut.


***


Nah, itu dia beberapa hal yang saya lakukan kemarin.
Meh, mentang-mentang udah lepas, jadi bocorin rahasia ya? Huahahaha.

Enggak, ini jadi catatan saya aja sih. Siapa tahu next ada proyek yang mirip atau sama. Jadi saya tinggal refresh aja di sini, terus ya diupdate dengan teknik yang baru.

Kalau ada yang mau nyontek ya monggo. Silakan. Tapi maaf, saya nggak bisa jamin, hasilnya bisa sama persis ya. Karena ada banyak faktor lain yang ikut menentukan, apakah pageview sebuah situs atau blog juga bisa sama meroketnya, jika dijalankan dengan cara yang sama. Lagian saya juga disuport oleh tim yang cukup solid.

Karena ternyata ngurusin konten kek gini itu ada seninya tersendiri. Bisa tergantung topik, tergantung target audience, dan tergantung kita juga yang mengelolanya. Saat formula antara ketiganya pas, maka ya traffic pun melejit.
Share
Tweet
Pin
Share
25 comments


Caution: Di postingan ini, kembali saya ngomenin orang lain, meskipun bukan bloger. Dan juga, saya menulis dengan bahasa sarkas. Kalau belum terbiasa dengan bahasa ini, sebaiknya skip saja.

Saya nggak pernah tahu siapa itu Gita Savitri sampai beberapa hari yang lalu.

Well, kalau kamu ketinggalan ghibah eh gosip berita, ya kamu bisa baca selengkapnya saja di sini. Saya mah cuma penonton, nggak berhak cerita. Ntar bisa saya tambah-tambahin juga, soalnya.

Sampai dengan artikel ini ditulis, sepertinya bola salju masih menggelinjang menggelinding, hingga melibatkan hampir seluruh netyjen mahatahu dan mahabenar di jagat maya, sepertinya. Bahkan, konon, sampai jajaran direksi bank tempat si lelaki bekerja juga ikut turun tangan.

Entah bener entah enggak.
Saya sebenarnya enggak terlalu peduli.

Cuma, saya merasa lucu, karena kejadian seperti ini tuh enggak sekali dua terjadi di media sosial yang bak panggung sandiwara ini.

*lalu nyanyik*
Dunia maya ... panggung sandiwaraaaa. Ceritaaaanya mudah berubah.
Kisah para selebgram atau tragedi social climberrrrr ...

*anak lama*

Selebgram, selebtwit, seleb-embuh ... itu nggak hanya bisa menginspirasi, tapi juga bisa menjadi para aktor-aktris panggung medsos, dengan mempersembahkan drama-drama sebabak dua babak banyak babak, yang asyik ditonton. Apalagi kalau sampai ada war, alias perang, alias perseteruan. Bak adegan sinetron Indosiar, makin klimaks, makin seru.

So, here is my take.

Saya lihat, banyak orang pengin jadi selebgram. Bisa dapat produk-produk gratis untuk diendorse, dapat bayaran untuk postingan yang captionnya dibikinin sama ahensi (yang lalu berakhir ditulis apa adanya, tanpa edit, tanpa menghilangkan "Captionnya di tulis begini ya, Mbak."), diundang ke event-event menarik, dan seterusnya.

Banyak orang pengin jadi influencer, meski blank mesti gimana dan mesti ber-attitude seperti apa hingga malah genggeus. Banyak orang pengin difollow, sampai ngemis-ngemis, juga pengin di-like dan di-komen.

Well, yeah, setiap orang berhak dan bisa saja menjadi selebgram. Mereka hanya perlu sangat menginspirasi, atau sebaliknya, menjadi sangat menyebalkan. Pilihan ada di kita sendiri.

So, berikut ini adalah pesan buat kamu-kamu yang pengin menjadi selebgram dan femes, dari seorang penggemar dan penonton drama media sosial.


Sebelum jadi selebgram, berikut beberapa hal yang harus diingat, menurut seorang penonton drama maya (alias eikeh!)


1. Watch your emotion


Emosi selalu bisa menjadi bumerang. Emosi bisa bikin kita hilang kendali atas diri kita, termasuk jempol.

Mari kita jadikan kasus Gita Savitri ini sebagai contoh.

Menurut penelusuran saya, ada yang bilang bahwa si mbake ini tadinya punya reputasi perempuan anggun dan smart serta penuh inspirasi. Ini katanya lo, ya. Maaf, saya nggak sempat stalking soalnya. Bukan tipe yang saya idolain, jadi saya nggak tahu mbaknya ngapain aja di Instagram atau media sosial lain.

Dalam waktu sekejap, hanya beberapa menit, reputasi itu hilang seketika hanya gara-gara mbaknya lepas kontrol saat menjawab DM si masnya.

Emosi seperti apa yang bisa bikin lost control? Emosi kan ada banyak?
Hmmm, menurut saya, baik emosi negatif (yang berupa amarah, kesedihan, kekecewaan dll) dan juga emosi positif (rasa senang, puas, bahagia dll) itu sama-sama bisa menjadi bumerang bagi diri kita kalau diungkapkan atau dilampiaskan secara berlebihan.

Terlalu senang atau terlalu puas akan sesuatu lalu dilampiaskan secara berlebihan itu juga nggak akan bagus efeknya. Begitu pun kalau kita terlalu marah atau terlalu sedih.

So, kalau saat ini kamu merasa sedang berada di puncak emosi, lagi seneng banget, lagi sedih banget atau lagi marah banget, jauhi dulu media sosial.

Beneran deh ini.

Ah, kan bisa dihapus ini!
Udah ngetweet bisa dihapus. Udah nyetatus juga bisa dihapus!

Really? Are you sure?
Coba ke poin kedua berikut.


2. Screen capture does EXIST!


Tahu kan ya, fasilitas screen capture? Yes, screen capture--atau kadang juga disebut dengan screenshot--adalah gambar tampilan layar yang diambil langsung dengan gadgetnya. Tahulah ya, apa itu screen capture atau screenshot atau biasa juga disingkat SS.

Tahu kapan, si mbak selebgram itu benar-benar apesnya?
Saat si mas lawannya menyebarkan screen capture DM mereka di media sosial. Katanya sih atas nama pembersihan diri juga sih.

Yang salah siapa, hayo?

Saya bilang dua-duanya salah.

DM--atau Direct Message--nama lainnya adalah Private Message. Pesan pribadi. Namanya pribadi ya seharusnya tetap berada di ranah pribadi. Ngapain pakai disebar ke sana sini?

Oke, kalau itu demi membersihkan namanya--apalagi katanya direksi bank tempat si masnya kerja juga menuntut penjelasan. Tapi coba lihat, ke mana saja DM itu menyebar.
Bahkan di Chirpstory saja ada.

Sungguh. Ini lebih berbahaya ketimbang data bocor Facebook tempo hari loh. :))))

Ingat kasus seorang perempuan pendatang di Jogja yang ngatain orang Jogja miskin dan pemalas, hanya karena ia disuruh ngantre BBM saat BBM langka kapan dulu itu nggak? Kasusnya, si mbak ini bikin status di Path, dan diprotect pula, soal kejengkelannya karena disuruh ikut antre BBM di salah satu pom bensin di Jogja.

I mean, Path adalah media sosial yang paling private. Ini aja discreen capture, dan menyebar ke mana-mana lo! Jangan kira kasusnya berhenti dengan perundungan terhadap si mbak ini. Ia bahkan diadili di pengadilan, dan menerima hukuman lo!

Screen capture does exist, and it's even meaner than people talking!
Tweet kamu bisa diapus, status Facebook kamu bisa diapus. Tapi siapa yang bisa jamin bahwa tweet atau status kamu enggak dicapture orang?

Orang saya aja pernah, nyinyirin Jokan tapi akhirnya saya hapus. Eh, salah seorang teman ternyata lihat dan ngecapture tweet saya itu. Untungnya cuma dibawa ke WAG, dan semuanya teman sendiri :)))) Jadi, saya aman. Nggak diserang penggemar Jokan. Hahaha.

Coba kalau saya selebtweet or selebgram. Wew. Udah, pasti ke mana-mana deh itu.
Nah, ada untungnya juga kan kita bukan seleb. Wkwkwkw.


3. People are mean!


Netyjen itu jahap, bosque. Selain tentunya mereka mahabenar dan mahatahu.

Kalau yang ini sudah pasti pada ngeh dan nyadar seharusnya ya.
Apa saja yang digelindingkan di media sosial--terutama kalau kamu adalah seorang selebgram, selebtweet, atau seleb embuhlah--pasti akan jadi semacam bola salju. Makin gede. Ditambah-tambahin soalnya.

Kemudian muncullah makhluk-makhluk yang bernama haters.
Haters biasanya muncul setelah ada fans. Haters adalah "buah" kefemesan kita. Udah pastilah itu.

And, haters gonna hate.
They never like anything on you.

Siapkan saja mentalmu menghadapi mereka.

Kalau masih belum yakin kalau people are mean, coba bertandang ke akun Instagram Syahrini atau Ayu Ting Ting. Lihat di kolom komen-komennya.


4. You DON'T know people


Kalau kamu belum pernah ketemu dengan seseorang secara langsung, atau kenal seseorang di dunia nyata, maka tanamkan pada diri sendiri, that you don't really know that person.

Kenapa?
Kita nggak pernah tahu gimana orang yang sedang bersembunyi di balik sebuah akun media sosial.

Saya pernah nih ditanya--eh bukan pernah lagi deng, sering!--begini, "Kok nggambar sketsa-sketsanya kek gitu melulu sih? Ngeri amat. Are you OK? Are you happy with your life? Atau, bisa "lihat" kek gituan ya?"

Bahkan ada yang nanya, "Kamu indigo ya?"

Haelah!
FYI. Saya cukup normal. Saya bahagia dengan hidup saya. Permasalahan hidup saya nggak pernah jauh beda dengan orang lain. Nggak, saya nggak bisa "lihat" kek gituan. PUJI TUHAN!
Dan, enggak, saya bukan indigo.

Saya tahu banget, orang-orang yang nanya gitu tuh, adalah orang-orang yang belum pernah ketemu sama saya secara langsung, yang "hanya" bisa menilai saya dari apa yang saya perlihatkan di media sosial.

Ada yang bilang, "Don't judge me, because I only show you what I want you to see."
Ya, ini ada benarnya juga. Tapi, saya pribadi sih dengan besar hati dan sadar betul menerima konsekuensi dari "apa yang saya perlihatkan". Yaitu di-judge sebagai orang aneh.

Nggak papa.
Lagi-lagi, untung saya bukan selebtweet atau selebgram. Jadi, nggak masalah.

Kita nggak bisa menghakimi orang lain hanya berdasar apa yang kita lihat di media sosial. Ya, kita boleh saja sih berasumsi atau berkesimpulan sendiri. Hal tersebut juga hak kita kok. Kadang bukan salah kita juga kalau kita berkesimpulan salah, karena memang hanya sebegitu yang diperlihatkan. Iya nggak sih?

Begitu juga dengan kasus mbak seleb dan mas bankir. Mbak seleb karena marah telah dilecehkan langsung deh pasang foto orang yang melecehkan di Instagram Story. Padahal itu foto yang dicolong dari akun lain.

Ya, memang. Gimana kita bisa tahu kalau itu adalah fake account?
Makanya saya bilang, we don't know people.

Terus kenapa?
Mari kita ke poin selanjutnya.


5. Karena nggak kenal, maka sopanlah


Dan, karena kita nggak bisa kenal betul dengan orang lain di media sosial, maka ya sebaiknya kita harus menjaga setiap kata yang kita keluarkan dan tetap sopan sama siapa pun. Termasuk pada penggemar, kalau kita nanti jadi selebgram.

Pernah kepoin komen-komen di Instagram Yuni Shara belum?
Kapan itu pernah viral, soal jawaban-jawaban Yuni Shara pada para hatersnya yang savage banget :))


Jawaban Yuni Shara pada haters. Demen deh waaaa =)) Image via Tribun Jambi

Tuh, jawaban perempuan pinter dan cerdas tuh gitu. Balikin deh ke komentatornya. Dan, tetap denga sopan.

Jangan malah nyebut "Nyet!"
*masih ngekek* Ya Allah. *shake my head*

Sekali lagi deh ya, jangan balas komen atau nyetatus saat emosi ya. Ya gitu tuh, hasil keluarannya. Nyat nyet nyat nyet.




Nah, itu cuma 5 hal yang mesti diperhatiin kalau kamu mau manjat sosial, terus pengin jadi selebgram. Tentu masih banyak hal lain juga yang mesti kamu persiapkan. Yang lebih teknis-teknis, kayak ratecard, grafik demografi, email dan nomor WhatsApp untuk dihubungi, dan lain-lainnya.

Semoga ini bisa jadi bekalmu untuk menjadi seorang selebgram yang bermartabat.

Moral of the story.
Jangan pernah ganggu cewek yang lagi PMS!

Bahaya, cyin. Cewek PMS lagi jalan ketemu batu, yang pindah batunya!

Ya sudah, saya pamit dulu.
Mau cari selebgram berpengikut 600K++ untuk diajak ribut. Biar follower IG saya nambah 3000an lagi.

Kan mayan.
Share
Tweet
Pin
Share
14 comments
Newer Posts
Older Posts

Cari Blog Ini

About me





Content & Marketing Strategist. Copy & Ghost Writer. Editor. Illustrator. Visual Communicator. Graphic Designer. | Email for business: mommycarra@yahoo.com

Terbaru!

Cara Mengedit Tulisan Hasil AI agar Tidak Terlihat Kaku dan Generik

Mengedit tulisan hasil AI sering bikin orang bingung karena hasil awalnya kadang terasa terlalu kaku dan datar. Banyak yang sudah mencoba me...

Postingan Populer

  • Teknik Bridging dalam Menulis Artikel
    Teknik bridging barangkali adalah teknik menulis yang cukup jarang dibahas. Padahal, ini cukup penting lo! Teknik bridging sering sekali say...
  • 15 Ide Style Feed Instagram yang Bisa Kamu Sontek Supaya Akunmu Lebih Stylish
    Hae! Kemarin saya sudah bahas mengenai do's and donts dalam mengelola akun Instagram , terus ada pertanyaan yang mampir, "Ka...
  • Lakukan 7 Langkah Enhancing Berikut Ini untuk Menghasilkan Image Blog yang Cantik
    Konten visual cantik untuk mempresentasikan konten tulisan yang juga asyik. Kurang menarik apa coba? Banyak blog dan web referensi...
  • Ngeblog itu Gampang! Tinggal Simsalabim, Uang pun Datang!
    Disclaimer: Artikel ini pertama kali tayang di web Kumpulan Emak Blogger , repost dengan modifikasi di beberapa tempat.  Blogger, buz...
  • Writing Preparation: 19 Jenis dan Tipe Konten untuk Blog Post Ini Bisa Jadi Ide Blog Kamu Biar Nggak Ngebosenin
    Hai! Sebelumnya, saya sekeluarga mengucapkan Selamat Idulfitri ya. Kalau saya pernah salah, atau mungkin saya terlalu sering menyakiti ...

Blog Archive

Portofolio

  • Buku Mayor
  • Portfolio Konten
  • Portfolio Grafis
  • Konten Web
  • Copywriting
  • E-book
  • Buku Fiksi
  • Ilustrasi

Follow Me

  • instagram
  • Threads

Created with by ThemeXpose