• Home
  • About
  • Daftar Isi
  • Konten Kreatif
    • Penulisan Konten
    • Penulisan Buku
    • Kebahasaan
    • Visual
  • Internet
    • Blogging
    • Marketing
    • User
    • WordPress
  • Media Sosial
    • Facebook
    • Twitter
    • Instagram
  • Stories
    • My Stories
    • Featured
    • Freelancer
  • Guest Posts
Diberdayakan oleh Blogger.
facebook twitter instagram pinterest Email

Carolina Ratri


Hai, saya datang lagi dengan analisis konten studi kasus terakhir nih.
Kali ini yang saya ubek-ubek adalah artikel dari Mbak Putu Sukartini yang berjudul Memaklumi Kekacauan?

Silakan dibaca dulu yah :) kalau pengin tahu.

So, lagi-lagi saya akan menggunakan 5W1H untuk melakukan analisis konten, demi bisa menelusur struktur yang runtut dan informatif. Tapi, selain itu, nanti di akhir saya juga mau sedikit menganalisis berdasar beberapa pakem viral content yang biasanya saya pakai :)


Analisis Konten "Memaklumi Kekacauan?"


Jadi, ini dia mindmapping yang sudah berhasil saya bikin untuk artikel Memaklumi Kekacauan? dari Mbak Putu Sukartini.




Seperti biasa, saya mengawali analisis konten ini dengan mencoba menebak tujuan Mbak Putu Sukartini menulis artikel ini.
Well, sepertinya tujuannya ada 2:

  1. Menyoroti kondisi rumah yang biasanya berantakan
  2. Mengajak pembaca untuk beres-beres rumah, dan melibatkan anak-anak

So, setiap elemennya sebenarnya sudah bisa dilihat pada mindmapping di atas ya.
Nah, saya mau langsung ke "WHY", karena "WHO", "WHERE", "WHEN" sudah checked semua dan sudah benar.

"WHY" pada artikel ini merupakan alasan Mbak Putu Sukartini menulis, yaitu mengenai kondisi rumah yang berisi anak-anak itu cenderung berantakan. Lalu apa akibat dari rumah yang berantakan ini?

Bayangkan bagaimana kita bisa tersenyum lebar jika rumah kotor, berantakan lalu bising. Rumah kotor yang saya maksud adalah ketika sampah sisa makanan dan sejenisnya berserakan, tumpahan sisa makanan ada dimana-mana, rumah berantakan ketika aneka barang asal taruh, menghalangi ruang gerak, bahkan bisa jadi berbahaya untuk anggota keluarga. Bising lebih parah lagi, ketika semua ingin berbicara berbarengan, teriak atau bahkan tak ada yang mengalah untuk memutar jenis musik sesuai selera masing-masing. Bayangkan, apakah itu nyaman?

Nah, itulah akibat yang ditimbulkan dari rumah yang berantakan.
Dari situ jadilah ada alasan mengapa kita sebisa mungkin tetap menjaga agar rumah tetap bersih dan rapi.

"HOW"?

Nah. Kan kemudian muncul pertanyaan, "Lalu gimana cara merapikan rumah?" Kan ada anak-anak yang bakalan bikin riweuh, dan akhirnya berantakan lagi.

Di sini kemudian Mbak Putu menawarkan beberapa solusi yang ada dalam rincian pada paragraf-paragraf berikutnya.
Berikut beberapa solusi yang ditawarkan:

  • Buat aturan bersama anak mengenai beres-beres rumah
  • Libatkan anak dalam aktivitas rumah tangga
  • Langsung bersihkan jika ada tumpahan (bebas dari kotoran)
  • ...
Dan, yes, nonton TV itu kok saya belum lihat korelasinya dengan beres-beres rumah ya :))) Maafkan saya, Mbak Putu. Barangkali nanti bisa dijelaskan di kolom komen jika berkenan ya, apa relasi dari nonton TV dan rumah yang selalu rapi.

Anyway, biasanya saya kalau menulis tips atau solusi begini minimal ada 5 poin. So, barangkali bisa ditambahkan lagi.

Nah, sampai di sini saya akan memberikan beberapa catatan saja dalam menulis artikel yang read-able.

Sebagai referensi, teman-teman bisa melihat dan membaca artikel mengenai anatomi viral content oleh Backlinko berdasarkan survei yang mereka lakukan. Ada juga infografisnya ya, silakan dicermati. Namun, jangan jadikan satu-satunya pakem dalam menulis viral content, karena ada banyak sekali faktor yang memengaruhi sebuah konten untuk bisa jadi viral.

Kalau mau diterapkan semuanya sih boleh saja. Tapi saya sendiri juga nggak semua saya pakai kok pakemnya. Pada dasarnya, nggak ada yang bersifat absolut. Karena ya itu tadi, banyak faktor yang menyebabkan satu konten bisa viral.

Namun, dari list Backlinko tersebut, saya biasanya menggunakan beberapa poin ini dalam "menjahit" konten sehingga lebih mudah dan lebih menarik dibaca.


1. Struktur artikel


Struktur artikel haruslah praktis dan scannable.
Maksudnya, dalam sekali pandang, orang bisa langsung scanning dan membaca dengan cepat, aka fast reading.

Mengapa begitu?

Ya, karena begitulah behavior-nya orang yang suka membaca artikel online. Mereka akan skimming dulu, dan jika memang benar tertarik maka mereka akan mengulang membaca dengan lebih detail.

Struktur artikel Mbak Putu Sukartini "Memaklumi Kekacauan?" ini kurang reader friendly.
Dalam sekali scanning, orang nggak akan mendapatkan gambaran mengenai isi dari artikel tersebut. Akibatnya?
Ya, barangkali hanya dibaca sekilas, dan pembaca pun akan pergi dan mencari informasi yang lain. Padahal bisa saja konten yang lain itu informasinya sama atau malah less quality, tapi karena strukturnya enak dibaca, jadilah yang dibaca beneran malah konten yang lain tersebut.

Saran saya, pecahlah dalam beberapa pointer.
Karena toh Mbak Putu Sukartini kan menawarkan beberapa macam solusi atas permasalahan yang diangkat kan?
Dengan menuliskannya dalam format storytelling, orang kurang bisa menemukan solusi yang mereka cari dengan cepat.

2. Judul harus catchy


Let me ask.
Jika teman-teman membaca judul "Memaklumi Kekacauan?", apakah langsung terbayang apa isi konten dan apa solusi yang coba ditawarkan?

Hmmm ... saya kok meragukan ya.
Pada kata kekacauan saja saya sudah bertanya-tanya, kekacauan apa?
Jika tujuannya untuk membuat pembaca penasaran dan mau membaca lebih lanjut, well, saya harus bilang, bahwa rasa penasarannya belum muncul sama sekali. Bahkan saya tak tahu apakah dengan membaca artikel ini akan membuat rasa ingin tahu atau rasa haus informasi saya akan terpuaskan.

Judul ibarat wajah, harus mempresentasikan isi.
So, barangkali judulnya bisa diutak atik kembali dengan formula ini.





Atau bisa juga intip tips saya untuk menulis judul yang lebih menarik di sebelah sini yah.

3. Gunakan hierarki


Dalam SEO, ada H2, H3, H4 dan seterusnya yang memang disarankan untuk dipergunakan demi performa konten kita yang lebih baik di Google.

Tapi selain itu saya juga melihat, bahwa dengan mempergunakan hierarki H2, H3, H4 itu akan membuat konten kita jadi scannable dan readable.
Iya, ini balik lagi sih ke poin 1 di atas, yaitu tentang struktur artikelnya.

Jadi, barangkali bisa mulai dipelajari bagaimana menggunakan H2, H3 dan seterusnya, agar kontennya lebih Google-friendly.
Sayang saja, isinya sudah bagus tapi yang baca hanya sedikit karena nggak teridentifikasi oleh Google ya.


Nah, untuk selebihnya barangkali bisa dicermati lagi artikel dari Backlinko di atas.
Saya pernah menulis mengenai anatomi konten viral ini untuk beberapa Arisan Ilmu KEB, tapi memang sepertinya belum pernah saya publikasikan di blog.
Nanti deh, saya unggah ke slideshare aja :)


Kesimpulan


Untuk konten, sebenarnya Mbak Putu Sukartini sudah baik secara umum. Tinggal menambahkan beberapa solusi lagi agar panjang tulisan juga cukup memadai bagi Google.

Yang menjadi PR adalah struktur artikelnya, bisa diperbaiki lagi supaya lebih menarik dan scannable hingga kemudian readable, likeable dan shareable.

Sampai di sini seri Analisis Konten Studi Kasus Artikel dari saya.
Kapan-kapan, kalau selo, saya barangkali akan menawarkan diri lagi untuk melakukan analisis konten terhadap artikel teman-teman yang lain ;)

Share
Tweet
Pin
Share
4 comments


Hari ini saya blogwalking ke beberapa blog. Iya, karena menjelang weekend, dan biasanya weekend itu memang jadwalnya saya belanja artikel untuk diadopsi di portal sebelah.

Dan hmmm ... wow!
Dari 10 artikel blog, hanya 1 yang nggak bersponsor.

Wow!
Yes, saya membuktikan sendiri tuh di Feedly saya. Karena dengan mudah memang saya membaca blog teman-teman dalam sekali jembrengan doang. Langsung kelihatan semua. :D

Another observation is ...
... dari 5 artikel blog, mungkin ada 2 - 3 artikel di antaranya berbentuk listicle. Ada yang ala portal, ada yang ala howto atau tips. Storytelling masih cukup banyak, terutama untuk reportase dan traveling.

Ya, itu berdasar data Feedly saya. Tapi memang Feedly saya hanya menampung sekitar 215 feed blog. Apalah artinya dengan jumlah blogger Indonesia seluruhnya kan? Barangkali juga hanya seper sejutanya. So, mungkin saja kurang valid.
Meski begitu, ada beberapa kesimpulan yang bisa saya dapatkan kali ini.

Sponsored vs Original


Sponsored vs Original



Dalam sekali scrolling, dari beberapa artikel terbaru yang ada di halaman depannya, semuanya bersponsor, baik itu job review maupun content placement. Postingan original-nya hanya nyempil, itu pun pendek, kurang lebih 300 kata.

So, is it a good thing or bad thing?
Subjektif dan relatif.

Kita bisa bilang itu pertanda baik. Pertanda para blogger mendapatkan job. Bahwa ada "mata pencaharian" yang bisa mungkin membantu mereka mengepulkan dapur. Mau bilang, itu "mengotori kesucian" kegiatan blogging? Nggak bisa juga.
Masa sih nggak senang kalau ada lapangan kerja baru?

Zaman sekarang makin susah, broh, cari uang yang halal.
Dan menulis artikel bersponsor halal kan?
Halal.
Jadi, apakah mereka salah?
Tentu saja enggak.

Pada prinsipnya kan gitu?
Let's get real!

Tinggal pembaca yang membutuhkan yang akan memutuskan. Dan kebutuhan informasi setiap pembaca blog itu berbeda. Saya sering juga tuh, mendapatkan informasi bagus dari job review atau content placement orang.

Kayak kemarin saya ketemu tulisan soal pengusir tikus yang merupakan sponsored article. Akhirnya saya ikutan nyobain. Hasilnya? Walah. Jangan tanya hasil dulu. Baru beberapa hari ini. Lagian ya, kalau dibahas di sini ya jadi gagal fokus.

But, however, saya juga masih suka baca artikel orisinil. Macam pada berbagi pengalaman mengasuh anak, mengatur rumah, mengatur hidup, curhat ini, curhat itu. Saya juga suka baca blog yang cerita hal-hal keseharian, macam lagi arisan, ketemu ini ketemu itu. Nggak cuma baca blog tutorial doang atau howto doang.

Pada dasarnya, saya suka tahu banyak hal dengan berbagai sudut pandang.

Tapi, sering banget saya merasa kehilangan citarasa orisinalitas tulisan para blogger untuk satu dua artikel. Dugaan saya sih, artikel tersebut pasti content placement.
Sedangkan artikel lain, meski bersponsor, tapi personality si blogger masih bisa dikenali. Dugaan saya, yang ini pasti job review.

Yang kehilangan citarasa orisinalitasnya, well, saya menyayangkan saja sih. Eman-eman punya blog, tapi nggak ada personality-nya. Sependek yang saya tahu, even itu adalah content placement, kita bisa kan mengeditnya supaya sesuai dengan gaya bahasa kita?
Beberapa kali saya mendapat tawaran content placement, selalu ada term bahwa kita diperbolehkan untuk melakukan editing agar sesuai dengan karakter blog tuh.
Apakah beda ya term and condition-nya dengan yang pernah saya dapatkan?

Apakah memang sulit melakukan editing ini, sekadar untuk memberikan sentuhan personal sedikiiit saja? Karena di beberapa blog, saya benar-benar menemukan artikel yang sangat beda tone-nya.
I don't know about the blogger sih, tapi saya sebagai pembaca kok merasa sayang :(

Karena blog is about personality. Dengan membiarkan personality nggak nampak dalam satu artikel saja, personal branding si blogger akan hilang lho.
Mungkin, kamu bisa mempertimbangkan untuk menyeimbangkan antara artikel original dan artikel bersponsor, demi personal branding kamu sebagai blogger tetap terjaga.

Tapi ya, kembali lagi ke si pemilik blog sih. Pembaca ya tinggal membaca saja. Blogwalker ya tinggal blogwalking saja. Suka ya baca terus. Nggak suka ya, skip. Gampang kan?
Iya dong, gampang. Hehehe. Nggak perlu sampai nyinyirin yang nulis. Yang nulis juga nggak perlu nyinyirin pembacanya, yahhh ... kok di-skip? Ya iyalah. Orang saya nggak butuh informasinya. Simpel aja. Hahaha. No baper please! :P

Iya kan? Saya sebagai pembaca tinggal bertanya pada diri sendiri saja, informasi mana yang dibutuhkan? Saya punya privilege untuk memilih artikel mana yang menarik, artikel mana yang saya butuhkan.

Dan saya pun memilah. Yang mana, yang saya baca untuk kebutuhan informasi pribadi. Yang mana, yang ingin saya adopsi untuk artikel portal sebelah. Yang mana, yang saya skip saja karena saya nggak butuh informasinya.
Yang berhak tahu yang mana yang mananya, ya saya sendiri.

Pada akhirnya semua tergantung pada user experience yang ditawarkan oleh para blogger sendiri. Yang nggak bersponsor tapi user experience nggak begitu baik, ya baibai juga.

Hanya saja (well, ini juga self reminder banget sih) kita sebagai blogger harus bijak, memilih job. Saya sendiri sekarang lebih memilih untuk berpikir dulu saat mendapatkan email penawaran kerja sama.

Apakah bermanfaat untuk pembaca blog saya? Apakah bermanfaat untuk orang yang belum pernah datang ke sini? Apakah baik untuk personal branding saya?

Makanya, kadang balas email penawaran kerja sama juga lama. Udah gitu pun, nggak jadi kerja sama pula. Hahahaha. Yaoloh, malah curcol.

Lanjut!

Storytelling vs Listicle


Storytelling vs listicle


Which one is better?
Tergantung kebutuhan juga.

Semakin ke sini, memang makin banyak yang menulis dengan gaya listicle, artikel berbentuk list dengan poin-poin.

Terusnya, barangkali ada yang komplain, kok jadi kayak portal ini blognya?

Memangnya nggak bolehkah?

Boleh dong.
Saya sendiri sering banget menulis dengan format listicle di blog ini. Kenapa? Ya, karena bentuknya roundup post, atau howto, atau tutorial.
Dengan berformat listicle, saya lebih mudah menuliskannya. Yang membaca pun juga lebih mudah memahami.

Tapi untuk artikel tertentu, ya saya storytelling aja. Kayak cerita proses perjalanan blogging saya pas Hari Blogger yang lalu, itu saya storytelling aja.
Memang jumlah artikel storytelling terbatas jumlahnya di blog ini. Hawong saya make blog ini sebagai catatan belajar saya nulis, marketing dan blogging. Yang mana pasti banyakan artikel howto sama tutorial.
Kecuali kalau blog saya ini blog traveling. Pasti banyak storytellingnya.
Atau blog fiksi. Ya, pasti storytelling-lah! Nggak mungkin listicle.

So, masing-masing sesuai kebutuhan menulis si penulisnya. Si penulislah yang harus jeli memilih format mana yang sesuai sebagai format penyampaian pesannya.

Yang membaca? Ya, sama. Pilih saja sesuai dengan kebutuhan. Mau baca yang kayak gimana. Pilihan ada banyak!

Memangnya ada ya, yang memilih membaca informasi atau artikel berdasarkan formatnya? Nggak ada kan? Pilihan pembaca ya berdasarkan topiknya pasti.
Masa mau baca mikirnya, "Eh, ini storytelling. Malas ah."
:))) Kayaknya enggak banget deh.

Yang pastinya sih, kalau saya pribadi ya, dari topiknya. Mau storytelling atau listicle, saya selalu lihat judul dulu, baru paragraf pertama. Kalau dua itu sudah menarik saya untuk terus baca, ya udah, baca terus sampai habis.

Bukankah begitu behavior pembaca tulisan online?

Masalah kok kayaknya listicle lebih banyak disuka, itu adalah data yang menyajikan. Data kan bisa berubah sesuai behavior pembaca tulisan online, yang mana juga berubah sesuai zaman. Sesuai tren. Bukan data yang membuat tren, tapi tren-lah yang menjadi data. See the difference kan?
Jangan dibalik :P

Banyak juga artikel storytelling yang viral, dan disuka orang.

Catatan aja sih. Meski storytelling, saya pribadi juga lebih nyaman membaca storytelling yang dibagi dalam beberapa subheading.
Kenapa?
Karena mata nggak terlalu lelah. Ada semacam jeda untuk bernapas kalau ada pembagian subheading begitu. Lebih nyaman, apalagi kalau panjang.

Itu saya, nggak tahu Mas Anang.

 

Kesimpulan


Jadi kesimpulan dari tulisan kali ini apa, Ra?

1. Menjadi bijak. 

Bijak dalam menulis, bijak dalam membaca. Pahami saja, bahwa orang punya kebutuhan dan kecenderungan berbeda. Bukankah kalau sama semua juga akan membosankan?

2. Fleksibel

Zaman itu berkembang, zaman berubah. Trend biasa terjadi. Pahami saja, dan maklumi.
Sekarang mungkin zamannya content placement. Zamannya listicle.

Bukankah menjadi fleksibel itu adalah salah satu survival skill manusia? Bukankah sejak zaman purba, ice age sampai kolonial berlalu pun, manusia berubah sesuai zamannya?
Akan tiba saatnya tren bergeser, atau malah balik lagi ke tren sebelumnya.

Yang mau mengikuti tren, harus siap-siap keep informed. Yang mau stay dengan gaya orisinilnya, keep the good work.

Yang baca, tinggal menerima yang baik-baik saja :D


3. Have fun!

Ya, bukankah kita ngeblog karena kita suka? Sebagian besar blogger yang bisa bertahan adalah orang-orang yang memang menikmati kegiatan bloggingnya sebagai passion dan melakukannya dengan fun.
So, why don't we just have fun?

Kalau mau menulis, tulislah hal yang membuatmu senang, apa pun motivasi di baliknya. Tulislah yang bisa kamu tulis dengan bahagia. Lalu, bijaklah menimbang, bahwa akan lebih baik juga kalau dengan menulis kita juga menyebarkan kebahagiaan itu pada orang lain. So, adalah penting juga untuk pikirkan efek dari tulisan kita.

Kalau mau membaca, bacalah hal-hal yang menarik minatmu. Yang membuatmu puas dan bahagia.

Nggak perlu saling mengotak-kotakkan. Buat apa sih?
Ada manfaatnyakah mengotakkan diri seperti itu?




Intinya, dunia maya itu bebas. Tapi akan lebih baik jika kita bebas dengan bertanggung jawab. Dan tanggung jawab adalah masalah pribadi.

Pada akhirnya, semua memang kembali pada pelaku masing-masing. Dan demi kebebasan berpendapat juga kebebasan mendapatkan informasi, bukankah kita akan lebih baik jika saling bersinergi?

Keep learning untuk yang pengin terus belajar menjadi lebih baik.
Keep writing untuk yang pengin terus menulis no matter what.
Keep sharing untuk yang pengin terus bagi-bagi hal yang bermanfaat.

Saya akan dengan senang hati membaca dan menerima informasi yang dibagikan yang sekiranya saya butuhkan. :)))

Well, selamat menikmati long weekend, fellas!
You have life, so have fun!
Share
Tweet
Pin
Share
59 comments


Hai, ketemu lagi di postingan Analisis Konten yang kedua, setelah kemarin saya bikin Analisis Konten dari artikel di blog Mbak Shanty Dewi Arifin.

Untuk Analisis Konten yang kedua ini, saya akan melakukan analisis terhadap artikel Tomoyo Rin aka Erin, yang berjudul Kolaborasi Orang Tua, Guru, & Pemerintah untuk Pendidikan yang Lebih Baik.

Lagi-lagi saya mengandalkan mindmap dan si 5W1H untuk bisa mengulas artikel Erin.


Yang pertama harus kita tahu lebih dulu, adalah tujuan kita menulis.
Kenapa sih, tujuan menulis ini harus diketahui lebih dulu?
Karena tujuan menulis ini nanti akan menentukan target audience atau target pembaca artikel kita. Tanpa ada tujuan menulis, yakin deh, nanti hasil tulisan kita akan kurang fokus, nggak jelas juga misinya mau apa. Akibatnya? Ntar pasti pas menulis dan setelah ditulis, artikel kita juga nggak jelas juntrungannya.

So, untuk artikel Erin ini, saya agak kurang bisa menebak sih. Apakah mau sekadar mengungkapkan argumentasinya ataukah mau secara persuasif mengajak pembaca untuk melakukan sesuatu.
Biasanya, artikel yang bisa menjejak di pikiran pembacanya adalah artikel yang bisa call pembaca to action. Jikapun bentuknya adalah artikel argumentatif, si penulis bisa memengaruhi pembaca untuk ikut setuju, atau malah justru bisa mengundang pembaca untuk berdiskusi (kalau nggak boleh dibilang mendebat).

Artikel pendidikan punya Erin, sepertinya sih, punya dua tujuan sebagai berikut:
  1. Memberi gambaran dan mungkin "kritik" akan sistem pendidikan Indonesia pada umumnya.
  2. Mengajak pembaca untuk menjalankan peran lebih baik
CMIIW ya, Rin, kalau kurang tepat.

Dengan catatan di atas, maka sudah ada satu hal yang harus diperhatikan oleh Erin next time menulis, yaitu tolong tentukan tujuan menulis artikel sejak awal kamu mulai mikirin ide. Mau apa nih? Mau mengajak pembaca melakukan sesuatu? Memperkenalkan sesuatu? Memberi informasi sehingga pembaca full updated atau full informed?
Jika tujuan menulis kamu jelas, maka target pembaca jelas, dan akan lebih mudah untuk menyampaikan pesan. Pun kita bisa menulis secara mendalam, secara in-depth. Nggak ngambang, dan lebih fokus.

Oke, kita lanjut ya.

Analisis Konten Kolaborasi Orang Tua, Guru, & Pemerintah untuk Pendidikan yang Lebih Baik


1. What


Topiknya adalah tentang pendidikan Indonesia.
Sebenarnya di sini, Erin bisa menggambarkan mengenai pendidikan Indonesia secara umum. Bisa juga cerita mengapa Erin pengin menuliskan artikel ini, apa yang menjadi tujuan Erin mengupas pendidikan Indonesia dari kacamata Erin.

Well, memang sudah disebutkan bahwa Erin menulis ini sebagai tanggapan terhadap artikel lain, tapi ada bagusnya juga cerita apa yang lebih memicu untuk menuliskannya.

2. Who


Menurut Erin, ada 3 pihak yang seharusnya berperan lebih baik dalam membangun sistem pendidikan Indonesia yang lebih baik, yaitu orangtua, guru, dan pemerintah.
Okei, bisa sih. Berarti para siswa yang menjadi pelaku langsung pendidikan Indonesia dianggap sebagai objek oleh Erin, sehingga nggak dimasukkan sebagai pelaku atau the heroes.
Tapi gimana dengan masyarakat umum ya? Apakah sudah bisa dibilang mewakili pemerintah?
Atau mungkin ini pendapat pribadi saya sebagai pembaca.
Bisa saja sih, karena menurut saya, masyarakat umum seharusnya juga berperan lebih baik dalam sistem pendidikan Indonesia.
Tapi saya nggak akan mendebat sih, tapi barangkali Erin bisa menjelaskan, mengapa hanya ada 3 pelaku sistem pendidikan Indonesia itu saja dalam uraiannya.

3. Where


Lokasi, berarti bisa di sekolah dan di rumah ya? Masing-masing diwakili oleh guru dan orangtua. Lalu bagaimana dengan di luar sekolah dan rumah?
Apakah anak-anak berarti tidak terdidik lagi begitu mereka keluar dari zona sekolah dan rumah?

4. When


Pastinya ya sehari-hari ya.
Barangkali bisa dijabarkan lagi dengan lebih detail.

5. Why


Why di sini lebih ke latar belakang masalah yang ingin dikupas oleh Erin, yaitu mengenai sistem pendidikan Indonesia yang masih kurang. Di antaranya:
  •  Bisa ditambahkan data
  • Bisa ditambahkan fakta
  • Bisa ditambahkan pengalaman Erin sendiri
Misalnya, sebagai pembukaan, Erin bisa menuliskan data seperti ini.

Dari 20juta anak-anak usia didik, ternyata yang sekolah baru 1/3-nya.  Dan yang sukses hanya 1/5 dari 1/3. Lalu kenapa yang lain belum sukses?

Nah, dari sini kan kemudian bisa diteruskan dengan dugaan, bahwa mungkin sistem pendidikan Indonesia masih kurang tepat sasaran. Lalu lanjutkan lagi dengan bukti-bukti yang lain.

Yes, dalam artikel Erin ini saya merasa masih kurang banget dukungan data dan faktanya. Erin sempat menyinggung pengalamannya sendiri di sekolah, tapi itu pun nggak ada penjelasan lebih lanjut. Jadi, kurang personal.

6. How


Apa yang bisa kita lakukan, sebagai orangtua? Sebagai guru? Ada usulan ke pemerintah? Pastinya masing-masing merupakan "jawaban" dari elemen-elemen who, what, when, where, dan why yang tadi ya.
Jadi, how ini sebagai langkah solusi barangkali.


Kesimpulan


Erin masih kurang jelas tujuan menulisnya. Mau menulis opini, namun masing-masing elemen terasa masih kurang mendalam. Memang ini bukan karya ilmiah sih, mungkin lebih ke pandangan pribadi Erin sebagai seseorang yang pernah mengenyam pendidikan di Indonesia. Tapi kan justru bagus, sebagai alumni pendidikan Indonesia, pastinya Erin punya uneg-uneg itu kan wajar sekali, dan harus disampaikan karena Erin adalah seorang penulis.

Uneg-uneg tersebutlah yang menjadi PESAN yang ingin disampaikan oleh Erin. Dan pastinya menyampaikan pesan dan uneg-uneg itu harus ada tujuannya kan? Tujuannya, mengajak pembaca untuk ikutan usul, misalnya. Agar pembaca ikut menyetujui pemikiran Erin, contohnya. Dan lain sebagainya.

So, next time jika Erin pengin menulis, ada baiknya untuk menentukan dulu tujuan tulisan Erin, apa pesan yang ingin disampaikan. Dengan begini, tone tulisan Erin akan lebih jelas.

Demikian, analisis konten kita kali ini.
Next kita lanjut ke analisis konten yang ketiga dan terakhir ya, artikel milik Mbak Putu Sukartini :)

Cya!

Share
Tweet
Pin
Share
8 comments


"Aku nggak ngerti opo keywords iku, opo pentinge, opo ngaruhe?"
(Saya nggak paham keywords itu apa, apa pentingnya juga apa pengaruhnya?)

Ada yang bertanya-tanya akan hal yang sama? Sini, gandengan dulu.
Well, pertanyaan yang sama banget, persis, pernah saya tanyakan juga pada diri sendiri.

Saya tahu keywords itu hubungannya mesra sama SEO, dan begitu dengar nama SEO, otak saya itu juga suka tiba-tiba udah lelah duluan. Perkara banget emang ya, riwil, rumit, printil-printil, belum lagi update si the Mighty Google soal algoritmanya yang hobi banget bikin baper.
Saya pun pernah memutuskan untuk bilang, "Go f*ck yourself, Google!"
Males banget apa-apa kok mesti sesuai apa yang dimau sama Google. Nggak bisa berekspresi bebas, nulis bebas semau gue.

Tapi, makin ke sini, kayaknya saya malah kena karma sama Google ini. Punya kerjaan ini itu, akhirnya menuntut juga ke angka statistik di dunia maya. Dan semuanya standarnya cuma satu: Google.
(Masih ada yang search pake Yahoo! atau Bing enggak sih?)

Blaaah! Google karma is real!
Akhirnya mau nggak mau sedikit demi sedikit, kayak lagi pedekate ke gebetan, saya pun mulai kenalan sama si Mbah lebih dekat.

Ya gimana enggak, harus mau nggak mau. Say, saya tiap kali nyari apa-apa ya nanyanya ke blio, terus nggak ngarepin orang lain untuk melakukan hal yang sama?
Kan enggak.
Behavior kita ini kan sebenarnya sudah bisa mewakili behavior pada umumnya kan?
Saat kita nanya ke Mbah Google, "Service laptop terbaik di Jogja" maka begitu pula orang lain akan menanyakannya.

So, singkat cerita, saya akhirnya belajar. Tahu banget bahwa printilan SEO itu memang banyak. Namun, dari semua printilan itu, ternyata ada satu hal yang harus kita pahami dulu kalau mau menerapkan SEO di situs kita, yaitu keywords.
Kalau kita paham cara kerja keywords ini, selanjutnya kayaknya akan lebih mudah memahami yang lainnya.

Nah, keywords sendiri dalam SEO itu memang harus dipelajari secara runtut dan step by step. You can't ujug-ujug stuff keywords dalam artikelmu kalau kamu nggak paham keywords ini *yaoloh, maafkan bahasa saya yang campur aduk.* Ujung-ujungnya artikelmu akan cetek dan nggak berguna.

Jadi, saya akan tuangkan catatan saya dalam artikel ini, soal apa itu keywords, apa pentingnya, sebelum kemudian melakukan keywords research dan lalu keywords placement dalam artikel.

Apa itu keyword?

Keywords are words, phrases or a group of words. This is what you feed in a search engine, like Google, Yahoo, or Bing, to look for some particular information. Based on those key-words or keyword phrases, the search engine shows you the related pages.

Nah, itu definisi keywords dalam sebuah artikel di Steps to Make Your Own Website.

Keywords adalah kata-kata atau frase yang biasa kita masukkan ke dalam search engine, seperti Google, Yahoo, atau Bing, saat kita ingin mencari informasi tertentu. Berdasarkan kata-kata yang kita masukkan tadi, si search engine kemudian akan menyajikan data yang relevan dengan informasi yang kita cari.

Kayak kalau pengin beli buku di toko buku, dan sudah tahu pengin mencari buku tertentu, maka saya akan cenderung langsung menuju ke komputernya. Saya langsung masukkan judul buku yang saya cari. Ketemu datanya, ada nomor raknya. Maka saya pun langsung menuju ke rak yang ada buku itu untuk mengambilnya. Baru kemudian mungkin saya mencari alternatif-alternatif buku yang lain.

Lha, kalau saya belum tahu judulnya apa? Ya, biasanya saya masukkan topik bukunya. Misal, "belajar menulis". Nah, nanti kan akan muncul berderet buku yang barangkali punya judul yang kurang lebih sama dengan kata yang saya masukkan ke kotak search-nya.

Kalau bukunya nggak ada, ya nol pencarian.

Nah, simpel kan ya pengertiannya?

Kenapa keywords ini penting untuk dipikirin?

Nah, kalau melihat dari ilustrasi soal pencarian buku di atas, pasti kemudian nyadar kan, bahwa keywords is about demand, dan kemudian diberikan supply.

Kayak misal, kita punya toko baju. Sekali dua kali orang menanyakan, apakah kita juga menyediakan hijab, maka pastilah kemudian kita berpikir untuk juga menambah produk hijab ke toko kita. Kenapa? Ya, karena ada demand.

Karena ada demand "kata dalam pencarian", maka para content marketers (termasuk di dalamnya adalah para blogger) akhirnya menyediakan supply.

Inilah yang kemudian memicu adanya SEO. Untuk menyediakan supply, yang kemudian ujungnya mengarah ke mana-mana tapi sebenarnya sih intinya cuma satu, menangkap si "demand" untuk mengunjungi situsnya, yang kemudian akan memengaruhi pageviews.

Tentang keywords stuffing


Dan kemudian, di sini, saya pun maklum, kenapa ada keywords stuffing, atau "pemaksaan" penggunaan keywords hanya agar supaya situsnya berada di paling atas dalam pencarian.

Fakta bahwa orang cenderung hanya lihat hasil pencarian di halaman pertama doang, ikut andil dalam perilaku keywords stuffing ini. Males amat, ke halaman pencarian kedua, ketiga, dan seterusnya kan? Apalagi kita nyarinya via smartphone. Nggak akan mungkin ke halaman belakang. Lagipula, makin ke belakang, umumnya juga makin nggak relevan kok isinya.

Para penyedia supply kemudian berlomba-lomba menjadi yang teratas, hingga they do anything supaya menjadi yang pertama muncul di search engine, demi mendapatkan pageviews yang tinggi.

Hingga makin ke sini, hasil pencarian Google pun makin nyebelin. Sering kan kita nyari informasi di Google, klik hasil pencarian paling atas dan berharap menemukan jawaban dari permasalahan kita. Tapi ternyata, artikelnya yang paling atas di Google itu cetek, nggak memberi jawaban, yang ada malah iklan bejibun dan popup yang menjengkelkan.

Iya, saya mah sering banget gitu.
Barangkali itu juga yang bikin saya agak sedikit antipati sama SEO. Semacam, saya ini kebanyakan nemu artikel nggak bergunanya ketimbang yang bisa memuaskan pertanyaan saya. Dan kesimpulannya, malesin banget sih ini SEO.

Tapi, apakah cuma segini aja? Apakah berarti saya nggak perlu mikirin keywords buat SEO situs yang saya kelola?


Content writer (termasuk blogger) justru HARUS mikirin keywords


Iya, harus!
Saya mereasa, bahwa saya justru harus mulai bekerja dengan keywords, dan kemudian dilanjutkan dengan strategi-strategi SEO yang lain.

Kenapa?
Karena saya ingin supaya para "demand" menemukan supply yang dibutuhkannya. Saya ingin memastikan, bahwa orang yang mencari informasi bisa mendapatkan apa yang dibutuhkannya di situs saya.

Saya ingin, mereka tahu dan notice, bahwa informasi yang dihadirkan dalam situs tersebut relevan dan PASTI akan membantu mereka memecahkan permasalahan. Saya nggak mau membiarkan konten-konten cetek itu nangkring di halaman pertama, dan membuat pembaca jadi ilfil. Saya pribadi ingin memberikan user experience yang baik, sehingga orang akan dengan senang hati pula kembali lagi pada saya untuk mencari informasi lainnya yang relevan dengan topik situs saya.

Misalnya saja nih.
Saya bahas tentang parenting di portal sebelah. Kebetulan banget, keywords-nya pas dengan yang dicari. Kamulah yang kebetulan mencari informasi, datang, dan membacanya. Artikel parenting saya ternyata bisa menjawab pertanyaanmu, sehingga kamu pun puas dan senang karena terbantu.
Next time kamu ada masalah lagi, lalu nyari di search engine lagi, dan menemukan ada nama portal saya di situ. Pastinya kamu akan dengan senang hati ngeklik kan?
Itulah prinsip user experience.

Ndilalah, makin ke sini Google juga makin nyadar akan siasat-siasat "curang" ini yang kemudian memberikan user experience kurang baik, semacam keyword stuffing ini. Sehingga mereka pun mengeluarkan banyak update mengenai algoritma pencariannya.

Saya yang tadinya suka sebel karena selalu berubah-ubahnya dan rumitnya menaklukkan Google, sekarang jadi lebih sering excited-nya setiap kali ada update algoritma. Meski kadang ya bikin tambah mumet, tapi saya akhirnya mencoba menikmatinya.

Saya memang terpaksa mempelajari SEO dan segala printilannya, tapi semenjak mindset saya ubah, saya justru merasa bahwa SEO, khususnya soal keywords ini, penting dan harus saya pelajari lebih lanjut.

Nah, artikel ini barangkali adalah awal mengenai catatan pembelajaran saya mengenai keywords.

FYI, sebelumnya saya hanya mengandalkan media sosial untuk promosi konten yang sudah saya buat. Tapi, algoritma Facebook makin lama makin kurang bersahabat buat jualan. Angka reach-nya makin jeblok. Traffic ke situs saya menurun hingga 80% gara-gara algoritma yang baru itu.

It was so frustrating!!!
Media sosial makin kurang efektif dan efisien selain buat nyebar berita hoax dan provokasi juga buat ajang pamer, nampaknya ya. Hahaha.

Lagipula, memangnya sampai seberapa kuatkah saya share konten tiap hari di media sosial? Share ke grup-grup Facebook? Share sambil ngetag puluhan orang, minta dikunjungi, minta dishare? Sampai seberapa efektif?
Nggak ada hasil tuh. Hasil yang didapat nggak sepadan dengan usaha yang harus saya lakukan. Ngos-ngosan, tapi hasil segitu-segitu aja.
Sekali mungkin melejit, habis itu, langsung ngesot lagi.
Damn, it was so exhausting!

Akhirnya saya nyadar, nggak bisa lagi hanya mengandalkan media sosial.
Mau nggak mau, saya harus menjadikan Google sebagai staf pemasaran konten saya. Lagian saya nggak mau kalah dari para keywords stuffer yang merajai Google.
Maka mau nggak mau lagi, akhirnya saya harus belajar SEO, dan belajar SEO itu harus step by step supaya nggak terasa rumitnya dan riwilnya. Jadi saya sekarang masih sampai tahap mastering (halah) memilih keywords yang tepat untuk setiap artikel yang saya publish. Belum semua berhasil dengan baik, but I'm trying.

Hasilnya?
Traffic meningkat 2x lipat setelah saya bekerja kurang lebih sebulan.
Pastinya nggak cuma karena targeting keywords yang saya lakukan saja yang bisa mendongkrak ini, tapi juga ada strategi lain yang dilakukan oleh tim di sana (yang pasti lebih banyak).
Tapi setidaknya, saya tahu dan berhasil membuktikan, bahwa saya nggak bisa mengabaikan SEO, khususnya keywords.

Pemilihan keywords yang  tepat dan diramu dengan konten yang berkualitas pastinya akan memberi hasil yang lebih baik.


Nah, kalau kamu pengin artikel kamu yang sudah kamu buat dengan sepenuh hati, kamu yakini kualitasnya, kamu yakin pasti bermanfaat buat orang lain, so ini saatnya kamu menggeser artikel abal-abal itu dari peringkat Google.
Pastinya kamu harus bekerja keras, tapi kamu bisa memulai dari memilih keywords yang tepat sesuai dengan demand. Bukan yang sesuai untukmu sendiri ya.

Terus, kali ada yang nanya.

"Lo ngomongin SEO. Tapi kenapa blognya nggak di-SEO-in juga?"

Lahiya, biar begini juga nggak bikin saya lantas membabi buta SEO-minded. Saya pribadi mah nyantai sebenarnya, tapi nggak menutup diri untuk belajar hal lain yang bisa bikin saya tambah pinter. Jangan sampai saya malas mikir. Blog yang ini sengaja banget saya bebaskan dari segala macam aturan, but my own. Soalnya saya sudah mblenger ngubek-ubek SEO di lain tempat. Hahahaha. Puyeeeng!
Ada tempat buat belajarnya, ada tempat buat nyatatnya. Biar tetep waras. Gitu aja sih, simpel kan otak saya? Hahaha.

So, ini juga tergantung kamu juga sih. Saya mah bukannya maksa atau bilang yang nggak di-SEO-in itu salah. Semua tergantung masing-masing blogger juga. Hanya saja, saya sedih kalau ada yang bilang, males ah mikirinnya, ruwet. Udahlah, gini aja. Tapi terusnya dia sedih karena visitor atau pageview blognya kurang.
*sigh* Ngeluh, tapi nggak mau usaha.
It's not smart blogging.

Next, akan ada catatan saya mengenai keywords research, placement endebre endebre, hasil eksperimen saya. Eh tapi saya masih pengin ngomongin soal Idea Mining, terusannya Buzzsumo sama Quora kemarin, dan juga masih ada Studi Kasus Analisis Konten lagi sih.
Gantian ya :D
Share
Tweet
Pin
Share
62 comments


Jadi sebenarnya ini saya juga yang cari perkara sih.
Beberapa waktu yang lalu, saya nyetatus di Facebook. Awalnya karena dipicu blogwalking ke suatu blog dan ngepoin komen. Hingga akhirnya, saya kepikiran untuk membuat studi kasus dan analisis konten artikel dari teman-teman.

Kalau eikeh bikin semacam telaah, kayak yang pernah dilakukan Mas Febriyan Lukito terhadap beberapa artikel SEO teman-teman, tapi aku lebih ke kontennya, apakah ada yang mau dengan sukarela merelakan tulisannya eikeh analisis? 

Ternyata masih buanyak sekali teman-teman yang salah mengartikan kalimat saya di atas.
Mereka ngehnya saya akan kasih kritik terhadap tulisannya. Mungkin juga karena "pengantar"-nya soal kritik seseorang terhadap tulisan orang lain ya. Nggak tahu juga.
Yang pasti, banyak yang takut. Hahahaha.

Saya pengin ngejelasin, bahwa telaah dan analisis itu bukan berarti kritik atau celaan.Tapi ah, saya lagi kumat jail. Jadi saya biarkan saja yang takut ditelaah. Hahahaha. Nggak maksa.

But, sorry ya. Saya nggak akan kasih kritik, apalagi celaan.
Telaah ya telaah. Nge-breakdown tulisan dan kemudian dicocokkan dengan struktur yang bener.
Kenapa ya, masih pada takut dengan kata "kritik"? Lagian, apa saya pakai kata kritik ya? Saya bener kan ya, menggunakan kata "analisis" dan "telaah". Hahaha.

So, sekali lagi. Saya hanya mau studi kasus aja, menganalisis tulisan. Lalu menyatakan opini saya mengenai tulisan tersebut. Gitu aja.

So, saya memilih 3 orang blogger yang bersedia tulisannya saya jadikan studi kasus. Nanti hasilnya gimana, entah. Apakah penuh dengan "celaan" karena tulisannya kurang tepat strukturnya setelah dianalisis, ya embuh. Nggak tahu. Atau tulisannya justru dapat pujian, karena sudah oke semua, ya bisa jadi juga. Anything can happen dalam sebuah analisis.

Mari kita mulai dengan tulisan Mbak Shanty Dewi Arifin.

Mbak Shanty adalah seorang blogger berdomisili Bandung. So far, saya sudah memasukkan blog Mbak Shanty dalam Feedly saya.

Sebenarnya bahasa tulis Mbak Shanty itu sudah berkarakter. Saat saya nggak lihat nama Mbak Shanty, tapi kalau baca tulisannya bisa jadi saya langsung mengenalinya.

Setelah saya ubek-ubek blognya untuk mencari artikel yang bisa saya analisis, saya pun ... bingung, mau bahas yang mana. Hahaha. Saya nggak mau ambil tulisan yang terlalu argumentatif ya, karena takutnya nanti malah bukannya nganalisis, malah cenderung ndebat kan, kalau ada yang nggak cocok.

So, saya akan ambil artikel tentang Konmaring.

Artikel aslinya ada di sini ya. Silakan dibaca dulu, karena saya nggak akan nulis ulang. Ntar kepanjangan. :D


Analisis Konten Artikel KonMaring your home, KonMaring your life


Saya akan langsung ke analisis kontennya, dengan menggunakan senjata andalan saya. Yes, si 5W1H.

Saya berusaha menyarikan tulisan Mbak Shanty ke dalam bentuk mindmapping, dan beginilah hasilnya.




Mari kita lihat satu per satu.

Saya mengambil artikel ini karena beberapa alasan:
  1. tulisan Mbak Shanty ini pernah saya rombak dan muat di Rocking Mama.
  2. tulisan ini tone-nya netral,
  3. tulisan ini mengandung informasi "baru", dalam artian saya mengasumsikan belum semua orang mengerti tentang Konmari. So, Mbak Shanty "bertanggung jawab" kalau pembaca nggak paham juga soal Konmari setelah selesai membaca artikel ini. Hahaha. Dalam tanda petik ya ;)
  4. ada tutorial dalam tulisan ini, sehingga memudahkan kita untuk menganalisis dan mengecek apakah sudah cukup informatif atau belum. Karena tutorial seharusnya ditulis step by step dengan jelas.
Nah, sebelum mulai menulis, kita kan harus tahu tujuan menulis.
So, saya mencoba "menerawang" tujuan Mbak Shanty menuliskan artikel Konmari ini. Kalau nggak salah, Mbak Shanty punya 2 tujuan, yaitu memperkenalkan Konmari dan membuat(mu) untuk ikutan Konmaring.

Bertolak dari tujuan itu, selanjutnya kita akan lebih mudah mengecek, apakah tulisan kita tepat sasaran atau enggak.
Sekarang, mari kita lihat satu per satu ya, unsur 5W1H-nya.


1. What


Unsur 'what' di sini adalah Konmari, lebih spesifik lagi mengenai mengorganisir isi rumah dengan metode Konmari.

Yang saya garis bawahi di atas merupakan topik utama tulisan yang diangkat oleh Mbak Shanty. Dari kalimat yang digarisbawahi itu, kemudian ada beberapa pertanyaan yang bisa digunakan sebagai bahan pengembangan tulisan.

Misalnya:
  • Apa itu Konmari?
  • Siapa penggagasnya?
  • Oh, ternyata ada bukunya?
  • Dari mana sih ini berasal?
Intinya, di sinilah kita harus menyebutkan identitas si topik.

Mbak Shanty menjelaskan "identitas" si Konmari ini saat membahas buku Maria Kondo, Life-changing magic of tidying up, the japanese art of the cluttering and organizing, dalam paragraf-paragraf awal.


Checked.


2. Who


Who adalah the heroes, si tokoh yang melakukan sesuatu.
Dalam Konmaring, tentu saja, tokoh pelaku adalah para ibu rumah tangga, dalam hal ini terwakilkan oleh Mbak Shanty sendiri.

Checked.


3. Where


Di mana lokasinya? Rumah. Sudah terjawab pula oleh Mbak Shanty. Checked.

Tapi pertanyaan lain lantas timbul. Inilah mengapa satu artikel harus di-breakdown dengan bantuan 5W1H ini, supaya kita bisa mem-prevent pertanyaan yang bisa muncul di benak pembaca. Dan sampai di sini pun, terbukti kan. Tiba-tiba muncul pertanyaan di benak saya.

Apakah hanya bisa dilakukan di rumah saja?
Bisakah dilakukan di kantor?
Bisakah dilakukan di kos?
Bisakah dilakukan di apartemen?

Kalau nggak bisa, kenapa?
Kalau bisa, berarti bukan mengorganisir RUMAH saja, melainkan mengorganisir ruang. Ruang apa pun.

Ini bukannya lantas artikelnya salah sama sekali. Nope. Namun, bisa saja di bagian akhir ditambahkan, kalau metode Konmari ini juga bisa dilakukan di kantor, kos, apartemen dan ruang lainnya. Lalu persilakan pembaca mencobanya juga di ruang-ruang selain rumah tersebut, minta pembaca untuk share jika mereka sudah melakukannya.

It's one way to engage, hm? :)


4. When


When, adalah tentang waktu. Misalnya, ada beberapa pertanyaan yang barangkali bisa menjadi panduan untuk pengembangan.
  • Kapan sebaiknya melakukan Konmari? Apakah ada waktu spesifik yang disarankan oleh Marie Kondo? Jika ya, kapan?
  • Jika tidak, barangkali Mbak Shanty bisa memberi saran, kapan waktu yang tepat untuk melakukan Konmari. Checked. Di artikelnya, Mbak Shanty sudah menuliskan bahwa beliau melakukan Konmari saat nggak ada yang lihat. Well, it's a good suggestion. Alasannya apa, ada dalam artikel. Lagian, kalau beres-beres rumah sambil direcokin anak-anak juga kapan selesainya kan? Nah, ini barangkali bisa ditambahkan atau diperjelas lagi.
  • Kira-kira apakah cukup hanya dilakukan sekali saja?
  • Atau harus dilakukan secara teratur? Jika ya, kapan?
  • Seberapa lama melakukan Konmari? (yang ini sudah ada dalam artikel. Checked.)
Kadang memang pertanyaannya remeh temeh ya, seperti harus sekali atau teratur? Kalau memang terserah kita, ya tuliskan bahwa tergantung kondisi misal.
Pertanyaan sejenis ini ada peluang untuk muncul, makanya seharus di-prevent timbulnya sejak dalam artikel.


5.  Why


Mengapa harus Konmari?
Ini lebih pengin nanya ke Mbak Shanty sih, kok tertarik untuk nyobain Konmari?

Dalam artikel Mbak Shanty, ada kalimat seperti ini.

Apa hubungannya beberes rumah dengan mengubah hidup? Percaya deh, harus dicoba sendiri dan mari bergabung dengan para KonMari-ers dari seluruh dunia.

Ini bisa jadi merupakan jawaban dari pertanyaan 'why', jawaban dari "Kok Mbak Shanty mau nyobain Konmari?".
Kata lainnya, rumah Mbak Shanty bisa jadi sangat berantakan, banyak barang keselip, dan itu bikin stres. Hehehe. Yakali ya, Mbak. Kalau memang ini yang menjadi alasannya, justru ini bagus untuk diekspos. Karena di luar sana pasti banyak banget yang senasib. Iya, termasuk saya. Dan memang butuh banget tuh, cara buat ngerapiin rumah. Karena siapa sih yang nggak pengin rumah rapi? Kualitas hidup meningkat? Sudah pastilah. Lebih enak!

Maka kemudian, saya tambahkan beberapa kalimat penegas pada artikelnya yang dimuat di Rocking Mama.

Menata rumah menjadi PR besar bagi sebagian mama, apalagi kalau rumah sudah penuh dengan timbunan barang. Tapi dengan metode KonMari, menata rumah bukan lagi soal sekadar kerapian, tapi meningkatkan kualitas hidup.
Apa hubungan antara menata rumah dengan perubahan hidup?
Banyak! Apalagi kalau kita menata rumah demi kenyamanan hidup. Kebayang kan, Ma, kita hidup dalam rumah yang teratur, rapi, semua barang ada di tempatnya masing-masing, gampang ditemukan dan gampang disimpan?

Jadi semakin jelas, bahwa Konmari ini patut dicoba karena hasilnya bisa bikin hidup kita lebih nyaman, karena barang-barang jadi lebih mudah penyimpanannya pun gampang ditemukan.


 6. How


Nah, kalau lebih sistematisnya, saya menarik poin-poin berikut ini untuk 'how'-nya. Sebenarnya hanya 4 sih. Karena yang ke-5 yaitu 'nikmati!' itu sebenarnya harus diletakkan pada konklusi, bukan pada 'how'.

  • Kumpulkan barang per kategori
  • Sortir per sub kategori
  • Singkirkan
  • Atur kembali sesuai kategori
Dan, kayak udah bisa dilihat dalam mindmapping di atas, per kategori ada beberapa pertanyaan yang bisa memandu Mbak Shanty untuk mengembangkannya.

Pada dasarnya, yang ditulis juga sudah pas. Tinggal ada satu pertanyaan, how do we keep it tidy ya? Any idea? Secara, rumah kan nggak kita sendiri yang ada. Ada anak-anak, ada bapaknya anak-anak. Yang yah, pengalaman sih, kalau menuntut mereka untuk bisa selalu rapi itu malah jadi bikin kita stres sendiri. Hahaha. Iya, ini mah pengalaman pribadi eikeh sih. Pfffft.
So, sepertinya sih, Konmari ini harus dilakukan secara teratur sih. Karena ya itu tadi. Susah banget kalau menuntut seisi rumah ikutan Konmari. Bisa ngomel 24/7. What do you think, Mbak Shanty?

Kesimpulan


Pada dasarnya Mbak Shanty sudah oke sistem penulisannya. Sudah runtut, dan step by step-nya juga jelas. Hanya saja, pada opening, menurut saya masih kurang 'bang!', masih terlalu flat yang mana belum menimbulkan rasa penasaran bagi pembaca untuk lanjut.
Karena awalnya, semacam mau review buku. Padahal di belakang, ada ajakan untuk meningkatkan kualitas hidup.

Jadi semacam, missed the point.

Sehingga pada artikel yang saya edit, saya agak mengubah susunan strukturnya dengan menaruh 'why' pada awal artikel.

Mengapa 'why' yang saya taruh di awal sebagai 'bang' opening?
Ya, karena seperti yang sudah saya jelaskan di atas. Bahwa ada banyak orang barangkali bingung dan stres banget karena rumah atau ruang hidupnya berantakan. Ini menjadi PAIN atau sesuatu yang mengganggu mereka.
Mereka butuh 'pencerahan' dari 'pain' yang mereka punya ini. Nah, ini cocok kan dengan tujuan Mbak Shanty menuliskan Konmari, yaitu membuat(mu) tertarik untuk ikutan Konmari.
Maka, PAIN ini harus ditaruh di awal, untuk menarik orang mau membaca hingga akhir.

Semacam, seperti ini.

Rumah kamu berantakan? Rumah saya enggak tuh. Dan karena nggak berantakan, saya jadi nyaman banget dan makin betah tinggal di rumah.
Kok bisa? Ya bisa dong, kan saya sudah praktikkan Konmari.
Apa tuh Konmari?

Konmari adalah ... blablabla ... *teruskan dengan 'what'.

What, who, where, when, why dan how ini bisa ditukar-tukar tempatnya, tergantung kekuatan masing-masing. Makanya saya selalu menggunakan outline lebih dulu, sehingga kemudian saya gampang menukar-nukar tempatnya sesuai mana yang lebih kuat elemennya.

Hasil akhir editannya bisa dibaca di sebelah sini.

Nah, demikian studi kasus kita kali ini. Sampai ketemu lagi di studi kasus berikutnya ya :)

Share
Tweet
Pin
Share
11 comments
Newer Posts
Older Posts

Cari Blog Ini

About me





Content & Marketing Strategist. Copy & Ghost Writer. Editor. Illustrator. Visual Communicator. Graphic Designer. | Email for business: mommycarra@yahoo.com

Terbaru!

Apa Itu Review Blog dan Kenapa Penting untuk Blogger yang Ingin Naik Level?

Review blog sering kali dianggap pekerjaan sepele, padahal justru ini salah satu kunci untuk membawa blog ke level berikutnya. Banyak blogge...

Postingan Populer

  • Lakukan 7 Langkah Enhancing Berikut Ini untuk Menghasilkan Image Blog yang Cantik
    Konten visual cantik untuk mempresentasikan konten tulisan yang juga asyik. Kurang menarik apa coba? Banyak blog dan web referensi...
  • 15 Ide Style Feed Instagram yang Bisa Kamu Sontek Supaya Akunmu Lebih Stylish
    Hae! Kemarin saya sudah bahas mengenai do's and donts dalam mengelola akun Instagram , terus ada pertanyaan yang mampir, "Ka...
  • Teknik Bridging dalam Menulis Artikel
    Teknik bridging barangkali adalah teknik menulis yang cukup jarang dibahas. Padahal, ini cukup penting lo! Teknik bridging sering sekali say...
  • 8 Langkah Self Editing bagi Para Blogger untuk Menghasilkan Artikel yang Bersih dan Rapi
    Editing perlu juga dilakukan oleh seorang blogger Kadang, saat kita sudah susah-susah menggali ide, dan kemudian menuliskannya di ...
  • Bagaimana Mencari Topik atau Niche Paling Cocok untuk Blog Kamu
    Barangkali hampir semua blogger Indonesia memulai "karier" ngeblognya dengan menulis segala hal tentang kehidupan sehari-hari....

Blog Archive

Portofolio

  • Buku Mayor
  • Portfolio Konten
  • Portfolio Grafis
  • Konten Web
  • Copywriting
  • E-book
  • Buku Fiksi
  • Ilustrasi

Follow Me

  • instagram
  • Threads

Created with by ThemeXpose